"Tanti auguri,
Silvio. Saya akan berikan kado istimewa berupa scudetto pada akhir musim 2001-2002."
Demikian janji penuh makna dari seorang pria Turki bernama Fatih Terim pada perayaan ulang tahun ke-65 presiden Milan, Silvio Berlusconi, satu setengah dekade silam.
Demikian janji penuh makna dari seorang pria Turki bernama Fatih Terim pada perayaan ulang tahun ke-65 presiden Milan, Silvio Berlusconi, satu setengah dekade silam.
Terim, yang oleh Berlusconi ditarik ke Milan berkat racikan
sepak bola menyerang yang memukau di Fiorentina pada musim sebelumnya, lantas
gagal total mewujudkan janji kepada Berlusconi. Rangkaian hasil buruk
membuatnya dipecat meskipun baru lima bulan bertugas. Berlusconi sendiri
rupanya sudah kehilangan harapan pada pelatih yang juga pernah menangani timnas
Turki ini. Dengan membawa serta Manuel Rui Costa dari Fiorentina, juga membeli
Filippo Inzaghi dari Juventus dan duo penggawa Deportivo Alaves, Javi Moreno dan Cosmin
Contra, kegagalan sungguh tak termaafkan.
Pelatih underdog
bernama Carlo Ancelotti akhirnya ditunjuk Berlusconi untuk menukangi Milan.
Ancelotti memang pantas disebut sebagai pelatih underdog saat itu, lantaran dua musim berturut-turut hanya membawa
Juventus sebagai runner-up kompetisi
Seri A Italia. Juventus pun memberhentikannya dengan kurang hormat pada saat
itu.
Lantas, Ancelotti yang juga mantan gelandang Milan ini
kembali ke Milanello dengan sambutan dan pengharapan yang biasa saja. Sebelum
dilatihnya, Milan memang sedang mengalami stagnansi prestasi, di mana mereka
sudah delapan tahun tidak memenangi Liga Champions dan dua tahun tidak
memenangi liga. Apakah pilihan Berlusconi kali ini tepat?
Ancelotti menjawabnya dengan penuh gaya. Ia berhasil membawa Milan ke peringkat 4, dan menyelamatkan musim dengan baik sepeninggal Terim. Semusim selanjutnya, meski harus tertatih memasuki babak kualifikasi terlebih dahulu, Ancelotti berhasil membawa Milan ke babak final Liga Champions menghadapi Juventus, klub yang pernah mendepaknya. Kita semua tahu, Ancelotti berhasil memberi pembalasan yang manis ketika skuat Milan-nya berhasil mengalahkan sang rival senegara lewat adu penalti.
Apakah rahasia kesuksesan pria yang mengawali karir
kepelatihannya di Reggiana ini? Ternyata sederhana. Sikap akomodatif dan
dinamis Ancelotti inilah yang menjadi kunci. Maksudnya? Tentu saja akomodatif
dalam memenuhi permintaan pemilik klub dan mendengarkan para pemainnya, dan
juga dinamis alias tidak memiliki taktik dan sistem baku dalam menyiapkan
timnya. Kedinamisan ini memang buah dari karya tulisnya semasa mengecap pendidikan
kepelatihan di Coverviano yang berjudul The
Future of Football: More Dynamism. Namun, bukan berarti ia tidak memiliki
karakter yang lantas membuatnya tidak memiliki wibawa di mata pemain, karena
nyatanya ia adalah sosok yang amat dikagumi oleh banyak pemain besar yang
pernah dilatihnya seperti Cristiano Ronaldo, John Terry, Gennaro Gattuso atau
Paolo Maldini.
Memiliki Rui Costa, Seedorf dan Pirlo dalam satu tim cukup
memusingkan jika dilihat oleh pelatih pada umumnya. Namun Ancelotti bukanlah
orang itu. Sebaliknya, ia mampu menyatukan figur-figur bertipe playmaker ini
dalam satu tim, tentunya dengan peran yang dibaginya dengan tepat. Ia belajar
dari Carlo Mazzone untuk menempatkan Pirlo di posisi gelandang bertahan, dan
hasilnya Pirlo kini dipandang sebagai salah satu regista terbaik sepanjang masa. Ia juga mampu membagi peran untuk
Seedorf dan Rui Costa, di mana keduanya tetap berfungsi sebagai gelandang
tengah tanpa harus menutup ruang kreativitas.
Satu trofi Liga Champions kembali diboyongnya ke San Siro
tahun 2007, sekaligus membalaskan dendam atas Liverpool, tim yang mengalahkan
Milan dalam laga epik bertajuk Battle of
Istanbul tahun 2005. Pada era ini, pelatih yang akrab disapa Carletto ini
juga berhasil mengeluarkan permainan terbaik dari seorang rising star bernama Ricardo Kaka.
Sekeluarnya dari Milan, Ancelotti berkelana ke Inggris dan
Prancis untuk menukangi dua klub kaya, Chelsea dan PSG. Di dua klub yang
bermarkas di ibukota Inggris dan Prancis ini, Ancelotti kemudian sukses memberi
titel domestik meskipun gagal memberi titel kontinental. Namun sekali lagi,
Ancelotti menunjukkan kemampuan adaptasinya dan mengendalikan ruang ganti yang
dihuni para superstar.
Kejayaan di kompetisi-kompetisi berbeda membawanya ke klub
dengan reputasi paling mentereng sedunia, Real Madrid. Pada awal kedatangannya,
presiden Florentino Perez memberi titah untuk membawa pulang trofi Si Kuping
Besar Liga Champipns ke-10 untuk El Real, atau dikenal dengan pencapaian La Decima.
Lagi-lagi, Ancelotti dihadiahi skuat yang banjir talenta
untuk mewujudkan impian itu. Dua pemain termahal dunia, Gareth Bale dan
Cristiano Ronaldo bercokol di skuat, membuat Angel Di Maria dipandang sebagai
surplus. Namun apa yang dilakukan Ancelotti ketika Di Maria tidak jadi dijual?
Ia menggeser posisi sang pemain dari penyerang sayap kanan ke gelandang kiri
untuk membentuk trio bersama Xabi Alonso dan Luka Modric. Hasilnya? Di Maria
muncul sebagai pemberi assist
terbanyak di Eropa sekaligus berperan krusial menghadirkan La Decima, obsesi sekaligus rasa penasaran terbesar Perez selama ia
menjadi presiden Madrid. Secara individu, pencapaian ini membawa Don Carlo pada pemecahan rekor pelatih pemegang gelar Liga Champions terbanyak yang selama ini dipegang pelatih legendaris Liverpool, Bob Paisley.
Apakah Perez terpuaskan begitu saja setelah itu? Well, ternyata tidak. La Decima adalah
sebuah epos yang sudah lewat, dan bagi Perez, tidak ada artinya raihan La
Decima tanpa kelanjutan superioritas dan glamoritas. Perez memiliki ide sendiri
soal Madrid, dan tentu saja trofi dan kemenangan bukan satu-satunya yang ia
inginkan. Tidak cukup hanya menang, ia ingin mendominasi dan bermain cantik. Aspek
luar lapangan yaitu finansial dan brand juga tidak kalah penting. Di bawah Perez, Madrid memang begitu makmur secara finansial, sebagaimana tercermin dalam laporan Deloitte dan majalah Forbes. Meminjam kata-kata Jonathan Wilson dalam artikelnya di Sports
Illustrated baru-baru ini, Real Madrid di bawah kepemimpinan Perez tidak hanya
menginginkan kesuksesan biasa, melainkan kesuksesan dengan tipe berbeda.
Tipe
berbeda yang dimaksud, lanjut Wilson, merefleksi pada kesuksesan yang terjadi pada klub
ini di era 50-an. Kala itu, Madrid berhasil merebut lima gelar Liga Champions
dengan tulang punggung pemain-pemain seperti Alfredo Di Stefano, Raymond Kopa,
Ferenc Puskas, Paco Gento. Sebuah kekuatan tak tertahankan yang disajikan oleh
pemain-pemain kelas atas yang mempertontonkan sepak bola glamor.
Sepak
bola zaman sekarang tentu saja berbeda jauh dengan era 50an. Sulit bagi klub
manapun mempertahankan hegemoni dalam waktu lama, karena peta kekuatan (finansial)
yang semakin merata, dan taktik yang terus berevolusi dengan cepat, sehingga
tidak ada satupun sistem permainan yang tidak bisa ditangkal.
Bagaimanapun, Perez tetap bertahan dengan idenya yang utopis. Pemecatan pelatih
sekaliber Ancelotti adalah sebuah bukti nyata.
Pemecatan pelatih yang tidak mampu memberi gelar memang bukan
hal aneh terjadi pada era Perez sebagai presiden. Namun kali ini Perez memecat Ancelotti,
seorang pelatih yang telah memberi empat trofi dalam dua musim dan memiliki
hubungan baik dengan pemain serta fans. Tanpa mengurangi rasa hormat pada
pelatih lain, amat sulit menemukan pelatih di luar sana yang memiliki atribut
prestasi sekaligus kemampuan manajerial sebaik Carletto. Lagipula, kegagalan
Madrid memboyong trofi musim ini bukanlah karena permainan buruk, melainkan
begitu perkasanya Barcelona di Liga BBVA, dan begitu alotnya Juventus di Liga
Champions.
No comments:
Post a Comment