Pages

Wednesday, May 27, 2015

Antara Ancelotti dan Sang CEO

"Tanti auguri, Silvio. Saya akan berikan kado istimewa berupa scudetto pada akhir musim 2001-2002."

Demikian janji penuh makna dari seorang pria Turki bernama Fatih Terim pada perayaan ulang tahun ke-65 presiden Milan, Silvio Berlusconi, satu setengah dekade silam.

Terim, yang oleh Berlusconi ditarik ke Milan berkat racikan sepak bola menyerang yang memukau di Fiorentina pada musim sebelumnya, lantas gagal total mewujudkan janji kepada Berlusconi. Rangkaian hasil buruk membuatnya dipecat meskipun baru lima bulan bertugas. Berlusconi sendiri rupanya sudah kehilangan harapan pada pelatih yang juga pernah menangani timnas Turki ini. Dengan membawa serta Manuel Rui Costa dari Fiorentina, juga membeli Filippo Inzaghi dari Juventus dan duo penggawa Deportivo Alaves, Javi Moreno dan Cosmin Contra, kegagalan sungguh tak termaafkan.

Pelatih underdog bernama Carlo Ancelotti akhirnya ditunjuk Berlusconi untuk menukangi Milan. Ancelotti memang pantas disebut sebagai pelatih underdog saat itu, lantaran dua musim berturut-turut hanya membawa Juventus sebagai runner-up kompetisi Seri A Italia. Juventus pun memberhentikannya dengan kurang hormat pada saat itu.

Lantas, Ancelotti yang juga mantan gelandang Milan ini kembali ke Milanello dengan sambutan dan pengharapan yang biasa saja. Sebelum dilatihnya, Milan memang sedang mengalami stagnansi prestasi, di mana mereka sudah delapan tahun tidak memenangi Liga Champions dan dua tahun tidak memenangi liga. Apakah pilihan Berlusconi kali ini tepat?

Ancelotti menjawabnya dengan penuh gaya. Ia berhasil membawa Milan ke peringkat 4, dan menyelamatkan musim dengan baik sepeninggal Terim. Semusim selanjutnya, meski harus tertatih memasuki babak kualifikasi terlebih dahulu, Ancelotti berhasil membawa Milan ke babak final Liga Champions menghadapi Juventus, klub yang pernah mendepaknya. Kita semua tahu, Ancelotti berhasil memberi pembalasan yang manis ketika skuat Milan-nya berhasil mengalahkan sang rival senegara lewat adu penalti.

Apakah rahasia kesuksesan pria yang mengawali karir kepelatihannya di Reggiana ini? Ternyata sederhana. Sikap akomodatif dan dinamis Ancelotti inilah yang menjadi kunci. Maksudnya? Tentu saja akomodatif dalam memenuhi permintaan pemilik klub dan mendengarkan para pemainnya, dan juga dinamis alias tidak memiliki taktik dan sistem baku dalam menyiapkan timnya. Kedinamisan ini memang buah dari karya tulisnya semasa mengecap pendidikan kepelatihan di Coverviano yang berjudul The Future of Football: More Dynamism. Namun, bukan berarti ia tidak memiliki karakter yang lantas membuatnya tidak memiliki wibawa di mata pemain, karena nyatanya ia adalah sosok yang amat dikagumi oleh banyak pemain besar yang pernah dilatihnya seperti Cristiano Ronaldo, John Terry, Gennaro Gattuso atau Paolo Maldini.

Memiliki Rui Costa, Seedorf dan Pirlo dalam satu tim cukup memusingkan jika dilihat oleh pelatih pada umumnya. Namun Ancelotti bukanlah orang itu. Sebaliknya, ia mampu menyatukan figur-figur bertipe playmaker ini dalam satu tim, tentunya dengan peran yang dibaginya dengan tepat. Ia belajar dari Carlo Mazzone untuk menempatkan Pirlo di posisi gelandang bertahan, dan hasilnya Pirlo kini dipandang sebagai salah satu regista terbaik sepanjang masa. Ia juga mampu membagi peran untuk Seedorf dan Rui Costa, di mana keduanya tetap berfungsi sebagai gelandang tengah tanpa harus menutup ruang kreativitas.

Satu trofi Liga Champions kembali diboyongnya ke San Siro tahun 2007, sekaligus membalaskan dendam atas Liverpool, tim yang mengalahkan Milan dalam laga epik bertajuk Battle of Istanbul tahun 2005. Pada era ini, pelatih yang akrab disapa Carletto ini juga berhasil mengeluarkan permainan terbaik dari seorang rising star bernama Ricardo Kaka.

Sekeluarnya dari Milan, Ancelotti berkelana ke Inggris dan Prancis untuk menukangi dua klub kaya, Chelsea dan PSG. Di dua klub yang bermarkas di ibukota Inggris dan Prancis ini, Ancelotti kemudian sukses memberi titel domestik meskipun gagal memberi titel kontinental. Namun sekali lagi, Ancelotti menunjukkan kemampuan adaptasinya dan mengendalikan ruang ganti yang dihuni para superstar.

Kejayaan di kompetisi-kompetisi berbeda membawanya ke klub dengan reputasi paling mentereng sedunia, Real Madrid. Pada awal kedatangannya, presiden Florentino Perez memberi titah untuk membawa pulang trofi Si Kuping Besar Liga Champipns ke-10 untuk El Real, atau dikenal dengan pencapaian La Decima.

Lagi-lagi, Ancelotti dihadiahi skuat yang banjir talenta untuk mewujudkan impian itu. Dua pemain termahal dunia, Gareth Bale dan Cristiano Ronaldo bercokol di skuat, membuat Angel Di Maria dipandang sebagai surplus. Namun apa yang dilakukan Ancelotti ketika Di Maria tidak jadi dijual? Ia menggeser posisi sang pemain dari penyerang sayap kanan ke gelandang kiri untuk membentuk trio bersama Xabi Alonso dan Luka Modric. Hasilnya? Di Maria muncul sebagai pemberi assist terbanyak di Eropa sekaligus berperan krusial menghadirkan La Decima, obsesi sekaligus rasa penasaran terbesar Perez selama ia menjadi presiden Madrid. Secara individu, pencapaian ini membawa Don Carlo pada pemecahan rekor pelatih pemegang gelar Liga Champions terbanyak yang selama ini dipegang pelatih legendaris Liverpool, Bob Paisley.

Apakah Perez terpuaskan begitu saja setelah itu? Well, ternyata tidak. La Decima adalah sebuah epos yang sudah lewat, dan bagi Perez, tidak ada artinya raihan La Decima tanpa kelanjutan superioritas dan glamoritas. Perez memiliki ide sendiri soal Madrid, dan tentu saja trofi dan kemenangan bukan satu-satunya yang ia inginkan. Tidak cukup hanya menang, ia ingin mendominasi dan bermain cantik. Aspek luar lapangan yaitu finansial dan brand juga tidak kalah penting. Di bawah Perez, Madrid memang begitu makmur secara finansial, sebagaimana tercermin dalam laporan Deloitte dan majalah Forbes. Meminjam kata-kata Jonathan Wilson dalam artikelnya di Sports Illustrated baru-baru ini, Real Madrid di bawah kepemimpinan Perez tidak hanya menginginkan kesuksesan biasa, melainkan kesuksesan dengan tipe berbeda.

Tipe berbeda yang dimaksud, lanjut Wilson, merefleksi pada kesuksesan yang terjadi pada klub ini di era 50-an. Kala itu, Madrid berhasil merebut lima gelar Liga Champions dengan tulang punggung pemain-pemain seperti Alfredo Di Stefano, Raymond Kopa, Ferenc Puskas, Paco Gento. Sebuah kekuatan tak tertahankan yang disajikan oleh pemain-pemain kelas atas yang mempertontonkan sepak bola glamor.

Sepak bola zaman sekarang tentu saja berbeda jauh dengan era 50an. Sulit bagi klub manapun mempertahankan hegemoni dalam waktu lama, karena peta kekuatan (finansial) yang semakin merata, dan taktik yang terus berevolusi dengan cepat, sehingga tidak ada satupun sistem permainan yang tidak bisa ditangkal.

Bagaimanapun, Perez tetap bertahan dengan idenya yang utopis. Pemecatan pelatih sekaliber Ancelotti adalah sebuah bukti nyata.  

Pemecatan pelatih yang tidak mampu memberi gelar memang bukan hal aneh terjadi pada era Perez sebagai presiden. Namun kali ini Perez memecat Ancelotti, seorang pelatih yang telah memberi empat trofi dalam dua musim dan memiliki hubungan baik dengan pemain serta fans. Tanpa mengurangi rasa hormat pada pelatih lain, amat sulit menemukan pelatih di luar sana yang memiliki atribut prestasi sekaligus kemampuan manajerial sebaik Carletto. Lagipula, kegagalan Madrid memboyong trofi musim ini bukanlah karena permainan buruk, melainkan begitu perkasanya Barcelona di Liga BBVA, dan begitu alotnya Juventus di Liga Champions.

Berbicara soal Barcelona, Perez memang amat tidak suka jika Blaugrana berada di atas Madrid. Musim ini, Barca memang tampil luar biasa hingga berpeluang meraih treble winners. Kontrasnya prestasi Madrid terkini jika dibandingkan dengan Barcelona inilah yang semakin meyakinkan Perez bahwa klubnya tidak berada di trek yang benar. Perez tidak memiliki kesabaran untuk menunggu perbaikan kinerja musim depan, karena ia memang menilai pelatihnya musim demi musim. Hal ini semata menunjukkan bahwa Perez mengendalikan klub sepak bola layaknya seorang CEO perusahaan dalam menilai kinerja direktur-direkturnya. Tidak ada jaminan posisi di Madrid, sekalipun anda memberi gelar treble dalam sebuah musim, atau bahkan La Decima sekalipun.

No comments:

Post a Comment