Hasil buruk yang dialami tim favorit di lapangan memang
menyebalkan, dan memang sudah lazim bahwa selalu ada pihak yang
dikambinghitamkan atas segala problema yang timbul. Sosok pelatih atau manajer
klub, dalam hal ini akan lebih mudah untuk dipersalahkan.
Penggemar Milan mungkin sudah terlalu lelah menyalahkan tiga
pelatih terakhir mereka yaitu Massimiliano Allegri, Clarence Seedorf dan
Filippo Inzaghi. Ketiga orang ini dipandang sebagai aktor besar kemunduran
Milan. Ada saja yang dijadikan bahan untuk menyalahkan tiga pelatih ini. Pola
latihan Allegri yang menyebabkan cedera para pemain, ketidakmampuan Seedorf
menangani ruang ganti pemain hingga ketidakjelasan taktik dari Inzaghi.
Namun jangan lupa bahwa ketiga pelatih ini juga bekerja untuk
manajemen klub yang sama. Mereka mengikuti perintah, memaksimalkan sumber yang
ada, lalu ditargetkan prestasi tinggi. Malu dong,
masak sih klub dengan sejarah panjang
berkubang di papan tengah.
Tidak perlu membicarakan lagi perihal pemecatan Allegri dan Seedorf, toh semua itu sudah berlalu. Di saat klub asuhan Allegri sekarang yaitu Juventus tengah bersiap tampil di final Liga Champions, Milanisti masih saja mempermasalahkan siapa yang dahulunya pro dan siapa yang kontra Allegri.
Kini, manajemen Milan nampaknya hanya tinggal menunggu
anggukan pelatih-pelatih incaran seperti Carlo Ancelotti, Unai Emery, Vincenzo
Montella atau Antonio Conte sebelum akhirnya melengserkan Inzaghi. Ancelotti
bahkan sudah tiga kali ditraktir makan oleh CEO Milan, Adriano Galliani selagi
Inzaghi masih menangani tim. Don Carletto akan memberi jawaban pada Galliani Rabu
(3/6) pekan depan. Namun sebelum keputusan tersebut diambil, patut untuk
dinilai terlebih dahulu apakah Pippo memang sama sekali bukan orang yang tepat
untuk menukangi Milan?
I.
Filippo Inzaghi adalah legenda hidup Milan. Selama bermain, ia banyak menghabiskan karirnya di klub merah-hitam dengan gelimang gelar dan rekor gol. Setelah pensiun dari lapangan hijau tiga tahun lalu, Pippo pun merintis karir sebagai pelatih di tim yunior Milan.
I.
Filippo Inzaghi adalah legenda hidup Milan. Selama bermain, ia banyak menghabiskan karirnya di klub merah-hitam dengan gelimang gelar dan rekor gol. Setelah pensiun dari lapangan hijau tiga tahun lalu, Pippo pun merintis karir sebagai pelatih di tim yunior Milan.
Prestasi Pippo amat baik di tim yunior Milan. Ia membawa
skuat Milan Primavera pada capaian titel Viareggio Cup tahun 2014 lalu, sebuah
turnamen yunior bergengsi yang juga diikuti beberapa tim di luar Italia.
Berbekal kisah sukses inilah, ditambah contoh cerita sukses Pep Guardiola yang
langsung memberi gelar treble winners
untuk Barcelona pada tahun pertamanya melatih tim senior, Milan pun menawari
Pippo sesuatu yang sulit ditolak: melatih tim senior Milan.
Beberapa bulan sebelumnya, Pippo sebetulnya ditawari untuk
Sassuolo, klub papan tengah Italia yang kerap tampil mengejutkan. Namun Pippo
(dan Galliani) saat itu menolaknya. Mungkin juga Pippo memang telah ditawari
kontrak oleh Galliani ketika tawaran Sassuolo datang.
Banyak pihak menyayangkan keputusan Pippo. Dengan belajar
terlebih dahulu di klub yang lebih ringan ekspektasinya seperti Sassuolo, Pippo
dapat belajar bagaimana menangani sebuah tim senior. Pippo disebut terlalu
cepat menerima tawaran dari klub sebesar Milan. Akibatnya amat terasa, kini
belum genap setahun Pippo memimpin Milan dari bangku cadangan, klub berjuluk
Rossoneri kembali gagal lolos ke kejuaraan antarklub Eropa musim depan.
Kegagalan Milan musim ini bahkan disebut pihak merupakan
andil terbesar Pippo. Tidak sedikit yang menilai bahwa Milan telah bergerak
positif di bursa transfer dengan mendatangkan nama-nama tenar seperti Fernando
Torres, Jack Bonaventura dan Jeremy Menez, yang kemudian disusul aksi borong
pada winter market di antaranya atas
Alessio Cerci, Gabriel Paletta, Salvatore Bocchetti dan Luca Antonelli.
II.
Milan memang mendatangkan banyak pemain baru di berbagai posisi. Namun apakah lantas memecahkan problem? Ternyata tidak, jika melihat pemain-pemain yang didatangkan berkualitas rata-rata air dan telah melewati performa terbaik. Biaya gaji juga dikelola dengan amat buruk. Amat aneh melihat sebuah klub yang tidak bermain di kompetisi Eropa menumpuk 27 orang pemain di tim senior dengan total pengeluaran gaji hingga 98 juta euro, atau hanya kalah besar dari Juventus yang mengeluarkan 117 juta.
II.
Milan memang mendatangkan banyak pemain baru di berbagai posisi. Namun apakah lantas memecahkan problem? Ternyata tidak, jika melihat pemain-pemain yang didatangkan berkualitas rata-rata air dan telah melewati performa terbaik. Biaya gaji juga dikelola dengan amat buruk. Amat aneh melihat sebuah klub yang tidak bermain di kompetisi Eropa menumpuk 27 orang pemain di tim senior dengan total pengeluaran gaji hingga 98 juta euro, atau hanya kalah besar dari Juventus yang mengeluarkan 117 juta.
Milan seperti terlalu sibuk mendatangkan pemain-pemain
incaran, hingga tidak memiliki waktu untuk melepas mereka yang berkontribusi
kecil namun bergaji besar. Robinho, yang pada awalnya ditawari kontrak baru
supaya bisa dijual, nyatanya dibiarkan juga untuk memutus kontraknya pada akhir
musim ini dan pergi dengan bebas transfer.
Banyak pula pemain yang masih berada di skuat namun
performanya buruk musim ini, seperti Michael Essien, Sulley Muntari bahkan
Riccardo Montolivo. Kondisi ini jelas menggambarkan bahwa roster yang dimiliki Milan boleh jadi tidak sesuai dengan keinginan
(dan kebutuhan) Inzaghi.
III.
Inzaghi disebut menunjukkan banyak kekurangannya sebagai pelatih. Yang pertama disoroti adalah keengganannya menurunkan pemain muda. Pippo baru menurunkan gelandang muda Andrea Mastalli pada 20 menit terakhir laga melawan Torino pekan lalu. Pippo sendiri memiliki jawabannya. "Ada saat yang tepat untuk menurunkan pemain-pemain muda di pertandingan senior," ujarnya. Hal ini memang cukup mengherankan, karena sebagai ekspelatih yunior, Pippo semestinya paham bahwa memberikan jam terbang, walaupun sedikit saja, kepada pemain-pemain muda tentu akan berguna bagi perkembangan sang pemain.
III.
Inzaghi disebut menunjukkan banyak kekurangannya sebagai pelatih. Yang pertama disoroti adalah keengganannya menurunkan pemain muda. Pippo baru menurunkan gelandang muda Andrea Mastalli pada 20 menit terakhir laga melawan Torino pekan lalu. Pippo sendiri memiliki jawabannya. "Ada saat yang tepat untuk menurunkan pemain-pemain muda di pertandingan senior," ujarnya. Hal ini memang cukup mengherankan, karena sebagai ekspelatih yunior, Pippo semestinya paham bahwa memberikan jam terbang, walaupun sedikit saja, kepada pemain-pemain muda tentu akan berguna bagi perkembangan sang pemain.
Pippo sepertinya tertekan oleh rangkaian hasil buruk yang
didapat Milan. Seiring upayanya untuk perbaikan posisi di klasemen, Pippo
berpendapat bahwa menurunkan pemain muda adalah resiko besar. Memang tidak ada
yang berhak menunjuk Pippo salah atau benar dalam hal ini, namun satu yang
disayangkan, jika memang Pippo pergi, tidak ada pemain muda asuhannya yang
berhasil mengalami peningkatan level ke tim senior. Allegri dan Leonardo, dua
ekspelatih Milan, bahkan dapat dikatakan memiliki warisan dengan keberaniannya
banyak menurunkan Mattia De Sciglio dan Ignazio Abate.
Sebagai pelatih, Pippo memang terlihat tidak menonjol dalam
taktik. Ia lebih mengutamakan mentalitas pemain di lapangan, sesuai dengan
tesisnya ketika bersekolah di Coverciano yang berjudul A Mentality to Be Winners. Semestinya, pelatih seperti Pippo cocok untuk
klub seperti Milan, di mana pemain-pemain berada dalam kondisi mental yang kurang
baik. Kehadiran Pippo, apalagi dengan statusnya sebagai legenda Milan,
semestinya dapat melecut semangat para pemain.
Namun sayangnya, Milan juga diwarnai hasil-hasil buruk kala
menghadapi tim-tim yang semestinya mampu mereka kalahkan. Instabilitas melanda
tim ini pada pertengahan paruh pertama di mana klub-klub seperti Palermo mampu
mencuri 3 poin dan klub seperti Empoli, Cagliari, dan Cesena mampu mencuri satu
poin. Dalam kekalahan dan hasil-hasil imbang itu, Pippo juga banyak
dipersalahkan terkait taktik counter
attack yang digunakannya.
IV.
Namun apakah yang dapat disimpulkan dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki Pippo? Adalah fakta bahwa ia masih terlalu hijau untuk menangani klub dengan tekanan menang yang besar seperti Milan. Milan harus sadar bahwa seperti inilah akibat yang timbul dari menunjuk pelatih tak berpengalaman seperti Pippo (dan juga Seedorf pada tahun lalu). Kekurangan dalam hal taktik, kemampuan membaca permainan dan menurunkan pemain pengganti tentunya tidak terlepas dari intuisi seorang pelatih yang tentunya akan menajam seiring pengalaman. Pippo hanya butuh waktu belajar, namun Milan bukanlah klub yang akan dengan sabar memberi waktu bagi pelatihnya untuk belajar.
Namun apakah yang dapat disimpulkan dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki Pippo? Adalah fakta bahwa ia masih terlalu hijau untuk menangani klub dengan tekanan menang yang besar seperti Milan. Milan harus sadar bahwa seperti inilah akibat yang timbul dari menunjuk pelatih tak berpengalaman seperti Pippo (dan juga Seedorf pada tahun lalu). Kekurangan dalam hal taktik, kemampuan membaca permainan dan menurunkan pemain pengganti tentunya tidak terlepas dari intuisi seorang pelatih yang tentunya akan menajam seiring pengalaman. Pippo hanya butuh waktu belajar, namun Milan bukanlah klub yang akan dengan sabar memberi waktu bagi pelatihnya untuk belajar.
Winning
mentality Pippo sebenarnya terlihat jelas dalam beberapa laga di mana
Milan benar-benar tampil impresif. Pada derby pertamanya melawan Inter,
November lalu, Milan begitu menguasai laga dan nyaris menang andai tendangan
Stephan El Shaarawy tidak membentur mistar gawang pada menit-menit akhir.
Selanjutnya, Milan juga dengan impresif berhasil mengalahkan Napoli di San Siro
dan menahan imbang Roma di Olimpico jelang pergantian tahun. Belum lagi
kemenangan mereka dalam laga uji coba melawan Real Madrid pada winter break. Ini adalah Milan versi
Pippo dalam wajah terbaiknya.
Namun sayangnya wajah terbaik itu tidak dapat mereka
tampakkan dengan konsisten. Mereka lalu membuka tahun 2015 dengan kekalahan di
San Siro atas tim yang memang selalu menjadi jinx, Sassuolo. Kekalahan ini amat menjatuhkan mental Milan karena
setelah itu Atalanta, Lazio, dan Juventus berhasil memukul mereka. Milan baru
kembali lagi ke trek setelah mengalahkan Cagliari pada pekan ke-28 yang membawa
kemenangan beruntun atas Palermo di Renzo Barbera sepekan setelahnya. Namun
penyakit Milan kembali kambuh setelah ditahan imbang Sampdoria di San Siro, dan
gagal menundukkan Inter pada derby kedua. Periode buruk kembali menghampiri
dengan tiga kekalahan beruntun atas Udinese, Napoli dan Genoa. Dapat
disimpulkan bahwa Milan begitu mudah terjebak pada periode negatif setelah
sekali mendapat hasil buruk. Mentalitas menang ala Inzaghi jelas belum tertanam
sempurna.
No comments:
Post a Comment