"Sepuluh atau lima belas tahun silam, kompetisi Seri A
Italia mungkin masih menjadi destinasi utama para bintang sepak bola dunia. Namun
saat berada di puncak kejayaan tersebut, mereka tidak banyak berpikir akan masa depan."
Begitulah ucapan James Palotta, presiden klub AS Roma,
sekaligus pemilik asing pertama bagi klub Seri A Italia pada awal jabatannya. Perkataan pria asal
Amerika Serikat ini memang menyimpulkan bahwa Seri A adalah simbol dari dua
hal, yaitu kejayaan era 90an hingga awal milenium dan potret dari rangkaian mismanagement yang akhirnya menggerus
reputasi mereka sendiri. Dalam laporan Deloitte
Football Money League 2015, posisi klub-klub Italia semakin tertinggal saja
dibandingkan klub-klub Inggris dan Jerman.
Meski perbaikan sudah tampak pada musim ini dengan performa menawan
klub-klub Italia di kompetisi antarklub Eropa, namun secara percepatan, mereka
sudah lebih dulu tertinggal dan tentu saja harus bekerja lebih keras lagi.
Dari Simbol
Kejayaan Menjadi Raksasa Terluka
Berbicara tentang kejayaan Seri A pada masa 90an tersebut, nama
AC Milan sangat identik dengannya. Sebagai klub yang pertama kali
memperkenalkan model bisnis 'beli pemain bintang, bermain atraktif lalu meraih
gelar dengan gaya', langkah revolusioner Milan kemudian ditiru oleh para rival
mereka di negeri Peninsula, dan bahkan menular hingga ke ranah Britania. Model
pengelolaan klub seperti ini -meski dapat diperdebatkan- kemudian diadopsi oleh
sebagian klub Liga Primer Inggris saat mereka mulai membangun reputasi global.
Milan saat itu mencontohkan cara untuk menjadi pemenang
sejati yang melegenda. Bahwa untuk menjadi klub yang namanya tidak lekang
zaman, dibutuhkan kemenangan yang kontinyu dan menyeluruh. Bukan tahun ini
juara lalu tahun depan melempem, bukan pula sekadar juara domestik tapi tak
berdaya di kancah Eropa. Kejayaan Milan saat itu berupa gelar back to
back Eropa 1989-1990 dan juara liga domestik tiga musim beruntun 1992-1994
seakan menjadi contoh terbaik.
Jika periode ditarik lebih panjang lagi hingga tahun 2011
-tahun terakhir kali Milan meraih trofi- akan terpampang total 15 trofi
domestik dan 14 trofi kontinental dan intetnasional. 29 trofi bergengsi itulah
yang didapat pada masa kepemimpinan seorang raja media, politisi sekaligus
sosok pria flamboyan dengan total kekayaan sebesar 8,2 US$ bernama
Silvio Berlusconi.
Dengan koleksi trofi sebanyak itu, yang turut menjadikan
Milan sebagai salah satu pemegang Badge
of Honour Liga Champions yang merupakan simbol kejayaan kontinental,
sekaligus menempatkan Milan sebagai salah satu klub dengan koleksi trofi
internasional terbanyak di dunia, Berlusconi jelas merupakan salah satu
presiden klub tersukses sepanjang sejarah sepak bola.
Maka sudah teramat wajar jika apapun langkah Milan akan
didasari keinginan Berlusconi. Seleranya yang tinggi dan kehidupannya yang
glamor senantiasa dinapaktilasi Milan di lapangan. Dari helikopternya, ia
mampir kapanpun ia suka ke Milanello, kompleks latihan Milan. Pada jeda
pertandingan, ia dapat menuju ruang ganti untuk berbicara pada pelatihnya
perihal keinginan bermain dengan dua penyerang, lalu di tribun kehormatan
stadion San Siro membisiki Adriano Galliani dan (dulu) Ariedo Braida terkait
keinginannya menggaet seorang pemuda berbakat besar dari Brasil.
Namun
di samping sumbangan berbagai gelar, kealpaan
Berlusconi dalam mengikuti tuntutan perkembangan sepak bola modern dan
serangkaian kasus hukum yang dideritanya lah yang kemudian menggerus kejayaan
Milan. Pria kelahiran 1936 ini, entah dengan sadar atau tidak, terus
menggunakan formula suksesnya yang sudah ketinggalan zaman ketika klub-klub
pesaing telah melangkah lebih jauh tentang bagaimana meningkatkan pendapatan
klub dengan membangun stadion baru dan ketika UEFA melalui Financial Fair Play
telah mengatur batasan kerugian yang bisa ditolerir agar diperbolehkan
mengikuti kompetisi di bawah bendera mereka.
Milan pun berangsur melemah. Terkini, sudah dua musim
berturut-turut Milan gagal lolos ke Eropa, plus dibarengi suguhan penampilan
menyedihkan di lapangan, kebijakan pembelian pemain gratisan yang telah
melewati masa terbaik, pemain-pemain yang kebingungan dan tidak bersemangat di lapangan, tidak
jelasnya hirarki kapten tim, dan imbasnya membuat para tifosi dengan
mudah menunjuk tiga pelatih terkini mereka sebagai sosok yang tidak kompeten.
Harapan Baru Atau Harapan
Palsu?
Lalu secercah cahaya datang dari arah timur. Dari benua Asia, rencana pembelian Milan oleh sekelompok investor yang diwakili oleh seseorang yang bernama Bee Taechaubol mau tidak mau memenuhi agenda rapat Berlusconi. Pria asli Milan ini pun pasang mata, telinga, lalu menggunakan kepalanya untuk berpikir, sekaligus hati kecilnya untuk mempertanyakan.
Lalu secercah cahaya datang dari arah timur. Dari benua Asia, rencana pembelian Milan oleh sekelompok investor yang diwakili oleh seseorang yang bernama Bee Taechaubol mau tidak mau memenuhi agenda rapat Berlusconi. Pria asli Milan ini pun pasang mata, telinga, lalu menggunakan kepalanya untuk berpikir, sekaligus hati kecilnya untuk mempertanyakan.
"Apakah mereka benar-benar memiliki uang dan komitmen
untuk menjadikan Milan kembali berjaya, atau hanya sekadar mencari popularitas
sesaat?”
"Milan memang sudah mengalir dalam darah saya, namun
saya rela terlepas dari klub ini andai benar-benar ada pihak yang mampu membeli
dan berniat mengembalikan kejayaan Milan."
Berlusconi menolak keras penjualan Milan kepada pihak yang
tidak tepat.
Untuk itulah ia memberi syarat berat baik dari segi materi
maupun non-materi. Secara materi, syarat yang diajukan Berlusconi sebagai mahar
bagi siapapun yang ingin membeli Milan adalah uang sebesar 1 miliar euro, plus
pelunasan hutang-hutang yang seperti dikutip dari Forbes, kini berjumlah 278
juta US$. Sekadar perspektif, dengan uang sebanyak ini, 650 ribu penganggur di
Eropa dapat tertampung untuk bekerja. Sementara dari sisi non-materi,
Berlusconi menginginkan Galliani dan Barbara Berlusconi, anaknya, untuk tetap
berada di jajaran direksi dan turut memegang kendali. Sedikit terdengar
megalomania memang, namun ia memang merasa paling tahu bagaimana mengelola klub
Italia.
Para Milanisti yang sudah merindukan kejayaan akhirnya lelah
dengan era Berlusconi, dan mereka tentu senang dengan kemunculan sosok pria Thailand yang kemudian akrab disapa dengan sebutan Mr. Bee. Namun sebelum terjebak dalam euforia, jawablah terlebih dahulu
pertanyaan yang amat mendasar, yaitu apakah Mr. Bee benar memiliki uang
sebanyak itu untuk menjadi pengendali baru klub merah-hitam? Kita lihat satu
persatu.
Menurut Bloomberg, Mr. Bee memiliki perusahaan keluarga bernama
Landmark Development Group Co. Ltd dengan penyertaan saham 5% atas perusahaan
properti tersebut. Sementara menurut data dari Forbes, kekayaan Mr. Bee dari
perusahaan-perusahaan lain yang dimilikinya termasuk Landmark Development Group
Co. Ltd tadi berjumlah 261 juta US$, dengan profit sebesar 100 juta US$ pada
tahun 2013. Hal ini mengundang Forbes untuk bertanya, lewat akun twitternya,
bagaimana Mr. Bee dapat membeli sepertiga dari saham Milan dengan jumlah
kekayaan yang tidak memenuhi price tag
yang ditetapkan Berlusconi?
"Saya memang tidak memiliki (uang) sebanyak itu, tapi
saya bisa mencarikannya." Mr. Bee, dalam sebuah wawancara dengan Wordfolio
setelah menginjeksi modal kepada sektor SME (Small Medium Entrepreneur) dua
tahun lalu di Thailand.
Berita kemudian berseliweran. Bahwa Mr. Bee adalah sosok yang
ditunjuk untuk menggolkan perjanjian ini oleh para investor di belakangnya. Sentuhan
Raja Midas yang menaikkan reputasi Mr. Bee disebut berhasil meggiring banyak
nama tycoon untuk menjadi sponsornya
dalam mengakuisisi Milan. Mengenai siapa saja investor tersebut, spekulasi
kemudian bergerak liar. Doyen Sports, perusahaan pemilik hak ekonomi banyak
pemain dunia disebut menjadi salah satu sponsor Mr. Bee, yang kemudian
dikampanyekan akan turut menggiring para pemain-pemain terkenal yang
dimilikinya ke San Siro, sesuatu yang amat seksi dan menyejukkan bagi Milanisti.
Begitu pula beberapa nama yang kemudian muncul seperti dua pengusaha Turki
bernama Fettah Temince dan Tevfik Arif, bahkan keluarga Rothschild.
Apakah berita-berita tersebut benar adanya? Entahlah. Namun
yang jelas hal ini masih belum mampu membuat kubu Berlusconi bergeming. Pihak
sponsor Mr. Bee bisa saja menggoreng berita apapun yang ia mau, dan menggiring
opini bahwa pihaknya telah siap membeli Milan. Namun selama belum ada klaim
tanggapan yang valid dari pihak Berlusconi, maka realisasi proses
pengambilalihan ini pantas untuk dipertanyakan.
Harga Milan sesuai valuasi dari Forbes tahun 2015
ini adalah 755 juta US$, tergerus 100 juta US$ dibanding tahun lalu dan menjadikan
mereka sebagai klub urutan 10 dengan nilai tertinggi di dunia setelah
sebelumnya menempati posisi 8. Jauh dibandingkan Real Madrid di posisi teratas
yang bernilai 3,2 miliar US$. Jika Berlusconi memasang harga 1 miliar euro plus
pelunasan hutang, yang jika ditotal akan menunjukkan nilai 1,3 miliar euro atau
sekitar 1,6 miliar US$, maka jumlah uang yang tengah dikumpulkan Mr. Bee jelas
masih jauh dari cukup. Meskipun nilai yang disyaratkan tersebut jauh lebih
besar ketimbang hasil valuasi Forbes, Berlusconi sebagai pemilik, tentu saja
memiliki hak penuh untuk menerima atau menolak segala tawaran. Berlusconi jelas
tahu dengan siapa ia berurusan, dan baginya, nilai tersebut sebanding dengan
apa yang sejak tiga dekade lalu dibangunnya.
Maka tidak mengherankan jika negosiasi belum mencapai kata
sepakat, meski hal ini dikabarkan hanyalah ditunda. Bisa jadi cerita ini hanya
mengulangi penolakan Berlusconi pada tawaran seorang pengusaha Singapura,
Peter Lim, yang pada awal tahun menawarkan 970 juta euro, juga calon pembeli lain dari Tiongkok, Richard Lee. Untuk saat ini,
harapan Milan untuk memiliki presiden baru plus diperkuat para pemain yang
terkoneksi dengan Doyen Sport seperti Radamel Falcao, Geoffrey Kondogbia atau
Gabriel Barbosa, praktis perlahan menguap.
Menjual klub tidaklah semudah menjual mobil atau rumah.
Terlebih bagi seorang Berlusconi, Milan adalah hasil karyanya yang paling
agung, dan andai terealisasi, deal penjualan Milan adalah deal terbesar sepanjang hidupnya.
No comments:
Post a Comment