"It is better to fail with your own vision than to fail with another man's vision." Itu adalah kata-kata dari Johan Cruyff, seorang legenda sepakbola dunia. Sang juara tanpa mahkota yang telah menciptakan sebuah evolusi dari sebuah permainan sepakbola. Saya disini bukannya mau membicarakan Johan Cruyff, banyak media lain yang sudah panjang lebar membahasnya.
Sepenggal kata-kata dari sang pelaku Totaal Voetbaal itu benar-benar menampar saya telak. Saya adalah seorang yang gagal. Kegagalan saya mewujudkan cita-cita menjadi seorang pesepakbola profesional sudah cukup melukai, dan buat saya itu adalah kekalahan terbesar dalam hidup saya. Awalnya saya berpikir kalau mau menggeluti sepakbola, satu-satunya jalan ya hanya dengan menjadi seorang pesepakbola. Ternyata saya salah, dan saya baru menyadari kesalahan saya belakangan ini.
Mencintai sepakbola bukan berarti harus jadi pesepakbola, walaupun menjadi pesepakbola adalah sebuah titik kulminasi dari pengaplikasian kecintaan terhadap si kulit bundar. Di Indonesia, walaupun keberadaan sepakbola berada ditengah carut marut perebutan kekuasaan, stagnansi pembinaan dan kering prestasi, nyatanya kecintaan masyarakat Indonesia terhadap sepakbola tidaklah pernah luntur.
Coba liat saat timnas Indonesia bertanding. Hampir seluruh lapisan masyarakat kita mengikuti sepak terjang timnas. Menonton langsung di stadion, menggelar nonton bareng sekampung, menonton dirumah bersama keluarga, atau pergi ke coffee shop sepulang kerja bersama kolega bisa dilakukan. Semua orangpun jadi mendadak dilanda "soccer fever" kalau bicara timnas. Nasionalisme yang biasanya adalah hal yang normatif dibicarakan dan diterapkan, mendadak membara dan semua menjadi satu dibelakang sebelas patriot kita, yang berjibaku di lapangan hijau, berkeringat, berdarah dan berseragam merah putih. Disitulah bangsa kita bersatu. 90 menit yang ajaib dan mampu melebur segala perbedaan.
Saya, walaupun bukan pemain bola dan bahkan gagal menembus tim sepakbola kampus, berani bilang kalo saya cinta setengah mati sama olahraga ini. Dari kecil sejak jaman Italia masih mengandalkan Roberto Baggio seorang diri menuju final Piala Dunia 1994 hingga kini ada bocah ajaib bernama Neymar saya terus mengikuti sepakbola, bukannya meluntur justru malah menguat. Tidak peduli saya sibuk, saya selalu menyempatkan diri menonton sepakbola, menulis blog sepakbola, dan kadang-kadang sekedar bermain futsal demi memuaskan jiwa saya, dan melupakan penat sehari-hari. Tidak peduli orang bilang saya lebay dan rata-rata menganggap sikap saya sebagai sikap dan perbuatan dan tidak berguna.
Impian saya yang sudah lewat sudah saya relakan dan saya kubur dalam-dalam, seraya berharap anak saya kelak meneruskan cita-cita saya. Walaupun begitu, saya kini menemukan gairah baru di sepakbola, yaitu menulis. Saya bukanlah seorang pencerita dan pembicara yang handal, tapi kalau bicara sepakbola, saya selalu antusias. Mencari tau sepakbola dari sisi lain, sejarah, kisah sukses dan apapun sangat menyenangkan buat saya.
Membaca blog sepakbola orang lain juga membuat saya happy. Menyenangkan bertemu orang yang memiliki kesamaan ketertarikan dan visi. Apalagi jika orang-orang itu membahas sepakbola bukan sekedar olahraga sebelas lawan sebelas, tapi membahas olahraga ini dari sisi terdalam dan tidak terpikirkan sebelumnya. Saya mengambil contoh 2 orang yang menjadi inspirasi saya dalam menulis, yaitu Bang Andi Bachtiar Yusuf dan Pangeran Siahaan. Tanpa mengecilkan penulis lain, tulisan-tulisan mereka telah banyak membuka wawasan saya, dan makin membuat saya makin dalam tenggelam dalam surga dunia bernama sepakbola.
Yah walaupun jam terbang mereka jauh diatas saya, dan pengalaman mereka bersinggungan dengan sepakbola tanah air sudah banyak, dan mereka juga belum tentu mau berurusan dengan "pemain baru" seperti saya, tapi buat saya itu sama sekali gak masalah. Saya yakin when there is a will, there is a way. Tidak ada istilah kompetitor buat saya bagi sesama penggemar bola. Semua yang menyukai sepakbola secara utuh dan tidak mengotori nilai-nilai kemurnian sepakbola sebagai olahraga, saya anggap sebagai teman.
Orang-orang seperti mereka membuka mata saya bahwa tidak harus menjadi pesepakbola jika ingin terus berkecimpung didalam sepakbola. Tidak juga harus menjadi pelatih, pengurus klub atau bekerja di PSSI untuk berkontribusi di sepakbola. Menjadi film maker, jurnalis, penulis, bahkan blogger sepakbola sekalipun bisa dijadikan pengepul dapur dirumah. Mereka, saya sebut adalah orang-orang yang berani memperjuangkan impian mereka, dan tidak menyerah saat impian tersebut menabrak realita.
Agak terlambat mungkin buat saya menyadari hal ini. Simple aja, kalau saya gak punya uang, ya gimana mau makan? Tapi setidaknya sekarang saya mulai mantap menyadari satu hal, bahwa jika kita bekerja sesuai dengan passion, pasti ada jalan. Setidaknya, kita tidak akan penasaran dan kalaupun gagal, kita gagal terhormat karena perjuangan atas apa yang kita cintai dan yakini. Ini sesuai dengan quotes dari Johan Cruyff diawal tulisan ini, dimana kita lebih baik gagal karena memperjuangkan visi sendiri, daripada gagal karena memperjuangkan visi orang lain.
Saya sudah salah langkah karena mengambil jurusan yang jauh dari sepakbola. Untuk menjadi penulispun, saya tidak ada latar belakang jurnalistik ataupun ilmu komunikasi. Untuk itu, saya tidak akan dengan gegabah secara drastis meninggalkan dunia yang selama ini memberikan penopang berupa materi, tapi saya akan pelan-pelan menggeluti dunia sepakbola secara utuh, dan jika saatnya tiba, saya akan total banting setir. Enough of being a corporate slave.
Lalu apa yang saya akan lakukan? Saya akan tetap menulis. Hanya itulah yang saya mampu dan bisa saat ini. Walaupun kualitas tulisan saya bukanlah yang terbaik, setidaknya inilah yang membuat saya bahagia. Saya akan menulis, tidak perlu orang mencibir atau meng-ignore. Saya menulis bukanlah untuk dipuji orang atau ingin menjadi orang terkenal, saya menulis untuk kesenangan dan kepuasan jiwa. Tidak ada lagi tortured and tired soul. Saya ingin membuktikan kepada para pencibir dan peragu, bahwa visi sepakbola saya bisa menghasilkan sesuatu. Yang jelas sesuatu itu adalah karya. Karya apa dan bagaimana, entahlah. Yang jelas: sepakbola.
@aditchenko