"Di Jakarta, mau kencing aja bayar" Begitulah kata orang-orang yang menggambarkan betapa mahalnya hidup di Jakarta, dan di Jakarta ini mau ngapain aja harus bayar. Menjamurnya lapangan futsal di Jakarta tentu bukan barang baru di 2012, malah sekarang bisa dibilang gaung futsal gak semeriah dua-tiga tahun lalu. Gak usahlah kita bahas kenapa bisa begitu, karena saya gak kompeten untuk menjelaskan masalah perfutsalan Indonesia, yang katanya sih selalu dianaktirikan sama PSSI.
Sebagai kaum pekerja, saya ngerasa butuh pelarian. Pelarian dari kepenatan kerjaan dikantor membuat saya selalu mencari-cari kegiatan lain supaya gak jadi stress dan ujung-ujungnya jadi gila. Futsal, buat saya adalah jawabannya. Saya menikmati setiap detik berada dilapangan. Adrenalinnya adalah a simple happiness.
"Footballer is the best job in the world. Menyenangkan bisa melakukan apa yang kita suka, dan kita dibayar untuk itu." Demikian kata-kata dari Robert Pires, ex-winger stylish Arsenal dan Villareal. Dengan skala yang jauh lebih kecil, buat saya bermain futsal adalah saat menjadi orang lain, tepatnya menjadi seorang superstar sepakbola. Di lapangan, saya seolah menjadi bukan diri yang biasanya.
Salah seorang atasan saya bilang "Elo orang pada maen futsal aja kadang-kadang bela-belain balik lagi ke kantor abis maen. Kalo jadi pemain bola, lo malah dipaksa maen bola. Quite a dream job kan?" Yah memang begitulah kenyataannya. Tapi sebagai kaum pekerja yang memiliki ketergantungan mutlak sama pemilik modal, bisa futsalan dua minggu sekali aja udah surga, ibarat keberadaan Gugun Blues Shelter ditengah boyband.
Dan setiap dua minggu sekali yang ditunggu-tunggu itu, saya dan semua teman-teman saya yang gila futsal jadi mendadak rajin. Kerjaan buru-buru diselesaikan, kalo perlu sehari sebelumnya lembur dulu supaya di hari latihan bisa pergi ke lapangan dengan tenang tanpa diuber-uber kerjaan. Ya, itulah kami. Butuh perjuangan ekstra untuk menuju ke lapangan futsal yang tempat parkirnya sempit dan rumput sintetisnya udah mulai botak itu. Jarak yang gak terlalu jauh dari kantor ke lapangan sekarang jadi seolah jarak Depok ke Bogor yang memakan waktu satu jam. Kami sering telat gara-gara macet kampret buntut dari pembangunan fly over yang gak kelar-kelar.
Sebagai penghuni Jakarta di siang hari, tentu saya berharap banyak lapangan sepakbola atau futsal di Jakarta, minimal dari 10 gedung, 1 gedung itu ada lapangan futsal buat umum deh, jadi gak cuma mengandalkan lapangan futsal yang berlokasi di daerah macet yang bikin masalah terus buat kami yang pengen olahraga. Tapi harapan itu kian utopis seiring pembangunan membabibuta dari perumahan dan perkantoran yang menggusur sarana olahraga. Lahan bermain futsal, sepakbola ataupun olahraga lainnya makin langka, makanya sekalipun ada, bayar sewanya super mahal. Saya gak tau juga sih mahalan mana futsal sejam atau main golf, tapi yang jelas bisnis lapangan futsal udah bisa bikin orang hidup. Dan ini cukup luar biasa bahwa bisnis olahraga mampu mendapat tempat, yang walaupun kecil di masyarakat Jakarta.
Mungkin ada juga hubungan fenomena ini dengan keringnya prestasi olahraga Indonesia di event internasional, karena masalah olahraga kurang diperhatikan yang ditunjukkan dengan minimnya sarana dan pembinaan olahraga. Mungkin aja lho, saya juga gak tau pasti. Jika dibandingkan sama bangsa Cina, pas nonton film Karate Kid yang settingnya di Beijing, Drew Parker si tokoh utama terlihat kalah main tenis meja lawan seorang bapak-bapak paruh baya. Di lokasi itu pula, pas sore hari orang-orang Cina ramai-ramai berolahraga di lapangan, dari anak kecil sampai orang tua. Gak heran kalo Cina merajai Olimpiade. Keseharian mereka udah terbiasa dengan olahraga, beda dengan disini. Yah kalo ngebahas bagaimana Cina sekarang yang superior gak cuma di dunia olahraga sih gak ada habisnya ya.
Mau olahraga aja kok susah!
No comments:
Post a Comment