Pages

Monday, October 15, 2012

Salary Cap Dan Balance Of Power


Beberapa hari belakangan, media Inggris sibuk memberitakan tingkah badung yang kesekian kali dari Ashley Cole. Kali ini tweet-nya mengenai FA menuai kontroversi. Cerita mundurnya John Terry dari timnas juga masih hangat diperbincangkan. Namun wacana pengenaan salary cap pada kompetisi English Premier League (EPL) cukup menarik perhatian banyak pihak, karena efeknya lebih dari sekadar dampak yang ditimbulkan oleh Cole maupun Terry. Richard Scudamore, sang bos EPL, mengungkapkan keseriusannya untuk menerapkan pembatasan gaji tersebut dalam kompetisi glamor yang berisi bintang-bintang kelas dunia itu.

Sebenarnya apa sih salary cap? Well, sudah banyak yang membahas definisinya secara mendetail, yang intinya adalah pembatasan anggaran gaji pemain-pemain dalam tim dalam jumlah tertentu. Salary cap ini bisa ditetapkan per pemain, bisa juga per tim. Tujuannya jelas untuk mengerem biaya gaji klub yang sudah sedemikian besarnya. Salary cap ini juga dinilai akan membuat kompetisi semakin seru karena setiap tim memiliki kemampuan yang lebih merata dalam  hal negosiasi dengan pemain incaran. Dengan demikian, klub-klub kecil memiliki kesempatan lebih besar untuk menggeser kemapanan klub-klub papan atas.

Urgensi penerapan salary cap ini makin mendesak setelah EPL dikabarkan telah mencapai kesepakatan hak siar baru mulai musim depan. Jumlah yang dikabarkan mencapai 3 miliar pounds ini dikhawatirkan makin menjerumuskan klub-klub EPL kedalam efek delusional yang malah akan membuat mereka semakin banyak melakukan pemborosan. Sekarang saja, 4 dari 10 pemain berpenghasilan terbesar dunia bermain di EPL.

Klub-klub EPL menghabiskan angka 1,8 miliar pounds untuk biaya gaji pemain, atau 70% dari pendapatan klub. Belum lagi melihat fakta total utang klub-klub EPL yang berjumlah total 3.3miliar seperti dilansir telegraph. Rangkaian situasi ini menjadi alarm tanda bahaya bagi pengurus EPL.

Jika anda bertanya kepada anak-anak yang baru menggemari sepak bola setahun atau dua tahun belakangan, jangan heran jika klub favoritnya adalah salah satu klub EPL, jika bukan Real Madrid atau Barcelona. Hal ini menunjukkan peningkatan popularitas dan mutu EPL secara keseluruhan. Meski demikian, tercatat hanya 8 dari 20 klub EPL yang mampu membuat profit berdasarkan data di tahun 2010-2011. Perkembangan yang tidak sehat ini akhirnya membuat para pemangku kebijakan mempertimbangkan salary cap demi menyelamatkan klub-klub dari perilaku over-spending dan terlebih, selamat dari kebangkrutan sanksi UEFA.

Klub seperti Manchester City jelas paling disorot dalam hal ini. Mengalami kerugian 197 juta pound, atau terbesar sepanjang sejarah klub sepak bola, City berargumen bahwa inilah harga dari sebuah kesuksesan baik secara komersial maupun di lapangan. Meskipun mengeluarkan biaya gaji besar, City juga berinvestasi pada akademi dan pusat latihan pemain. Investasi pada pos ini tidak dihitung sebagai kerugian oleh UEFA.

EPL bercermin pada olahraga-olahraga Amerika Serikat yang memang menerapkan salary cap. NBA, NFL dan MLS menggunakan salary cap untuk melindungi klub-klubnya dari ancaman kebangkrutan akibat over-spending. Bagaimanapun, EPL tidak dapat dibandingkan dengan NBA maupun NFL, karena pemain-pemain bola basket maupun American Football terbaik dunia memang berkumpul disana, sementara pemain sepak bola terbaik lebih merata penyebarannya.

Klub-klub EPL perlu mengeluarkan gaji tinggi guna bersaing dengan klub tradisional juara seperti Real Madrid, Barcelona dan klub kaya raya baru Zenit St Petersburg, Anzhi Makhachkala, bahkan Shanghai Shenhua dan Guangzhou Evergrande dalam merekrut pemain-pemain bintang. Salary cap tidak berpengaruh pada mutu dan reputasi NBA atau NFL, berbeda dengan kasus EPL. Pengenaan salary cap disaat kebangkitan ekonomi dari timur ini dikhawatirkan banyak pihak malah justru akan mengurangi daya saing EPL dalam bursa transfer.

Lalu, apakah EPL dapat mempertahankan reputasi sebagai liga terbaik dunia dengan adanya salary cap? Para pemain dan agen pemain yang pemasukannya terancam karena aturan ini boleh jadi tidak setuju, dan EPL harus menghadapi kemungkinan-kemungkinan terburuk, dari eksodus bintang, menurunnya daya tarik sebagai tujuan para bintang, hingga ancaman pemogokan.

Apa boleh bikin, EPL melakukan ini demi menekan biaya. Hal serupa tapi tak sama sebenarnya sudah dilakukan liga lain. Spanyol telah terlebih dahulu mengamandemen fasilitas pajak Beckham Law sejak dua tahun lalu, dan kini Prancis dibawah pemerintahan sosialis Francois Hollande dikabarkan akan menaikkan tarif pajak hingga 75% untuk orang yang berpenghasilan diatas 1 juta euro setahun. Pesepakbola jelas banyak berada di kelompok ini. Italia pun demikian, penghematan klub-klubnya mengakibatkan eksodus para bintang. Semuanya demi penghematan dan menyelamatkan klub-klub sepak bola dari ancaman gulung tikar.

Pengenaan salary cap ini boleh jadi memang akan menurunkan daya saing kompetisi, namun spirit penghematan yang sudah diteriakkan berkali-kali oleh Uni Eropa sudah sepatutnya turut menyentuh dunia sepak bola, tempat dimana pelaku-pelakunya selama ini terkesan kebal terhadap krisis ekonomi. Hal yang sangat ironis bahwa meski mampu menggaji mahal pemain, klub terlilit utang besar dan terancam bangkrut.

Setiap kebijakan yang diambil tentu ada pro dan kontra, ada positif dan negatifnya. Dikabarkan 14 dari 20 klub telah menyatakan setuju tentang keberadaan aturan ini. Terlepas dari itu, para pemain maupun agennya tidak peduli akan kondisi klub karena pada dasarnya mereka akan bermain di klub yang mampu membayar mereka lebih besar. Walaupun mungkin tidak semuanya, tapi pada umumnya footballers follow the money. Para pesepakbola itu tidak hanya bertindak atas dasar keputusan sendiri. Mereka tentu punya keluarga, pasangan, sponsor atau agen yang terkadang punya pengaruh besar dalam pengambilan keputusan mereka.

Harus diakui, kebangkitan klub-klub Rusia maupun Cina seiring dengan peningkatan ekonomi dan ditambah sistem perpajakan yang masih bersahabat bagi ekspatriat kaya membuat para pemain bintang kini memiliki destinasi baru. Kepindahan Hulk dan Axel Witsel ke Liga Rusia maupun Dario Conca dan Lucas Barrios ke Liga Cina saat masih berada di usia produktifnya mengonfirmasi gejala balance of power di dunia yang kini turut menyentuh sepak bola. Inilah tantangan bagi EPL dan liga-liga utama Eropa secara umum.

No comments:

Post a Comment