Pages

Wednesday, October 10, 2012

The River Plate Rises



“What we do, does not define who we are. What defines us is how well we raise after falling.” Itu adalah quotes singkat inspiratif dari sebuah film percintaan yang menjual mimpi, Maid in Manhattan, saat Lionel, seorang kepala pelayan dipecat gara-gara melindungi Marisa Ventura, salah seorang stafnya yang terlibat romansa dengan salah satu tamu penting hotel. Quotes yang tentunya lebih lengkap dan lebih bermakna dalam daripada quotes milik Rachel Dawes di The Dark Knight.

River Plate, salah satu klub tersukses Argentina dan benua Amerika Latin dengan koleksi 34 gelar liga domestik dan dua gelar Copa Libertadores membuktikan bahwa mereka adalah klub yang cepat bangkit dari keterpurukan. Setelah terdegradasi untuk kali pertama dan bayang-bayang kehancuran melanda, mereka kini sudah kembali ke divisi utama Liga Argentina.

Tahun lalu, River Plate mengalami kehancuran sebagai akumulasi dari berbagai mismanagement. Presiden sebelum Daniel Pasarella, Jose Maria Aguilar dituding sebagai biang kehancuran tim karena berbagai keputusan buruk semasa kepemimpinannya. Buruknya standar kepelatihan, menumpuknya utang hingga 190 juta peso (sekitar 33 juta euro) termasuk utang gaji pemain, dan banyaknya ”permainan” dengan barra atau hooligan adalah bencana bagi klub sebesar ini. Passarella berada pada posisi sulit saat mengambil alih klub, PR terbesarnya adalah membersihkan kotoran-kotoran hasil rezim sebelumnya.

Passarella, kapten Argentina di Piala Dunia 1978 mencoba cara yang diluar kebiasaan. Melihat kelesuan performa tim, ia membeli banyak pemain dari luar. Nilai transfernya memang tidak besar, mereka hanya merugi lima juta pound saja, terbanyak dari pembelian Adalberto Roman (2,4 juta), Jonathan Maidana dan Walter Acevedo (1 juta). Mereka juga memulangkan eks anak emas mereka, kiper Juan Pablo Carizzo dari petualangan singkatnya di Eropa dan eks striker Real Betis, Mariano Pavone.

River Plate memiliki akademi pemain muda yang mampu menghasilkan pemain terkenal yang melegenda di Eropa dari era Alfredo Di Stefano, Hernan Crespo, Ariel Ortega, Marcelo Gallardo, Pablo Aimar hingga sekarang ini Gonzalo Higuain Radamel Falcao dan Erik Lamela. Namun keberadaan akademi ini seperti mengalami kelesuan akibat buruknya kepengurusan itu.

Meski kebijakan transfer pemain sudah dilakukan, River tidak bisa mengelak dari krisis yang memang sudah parah. Pemain yang diambil tidaklah berkualitas bagus, malah membuat permainan mereka menurun dan kekalahan demi kekalahan melanda. River memanggil kembali Ortega, namun El Burrito bukanlah pemain yang sama ketika dia lebih muda 10 tahun. Si nomor 10 klasik itu tidak bisa terus-terusan bermain bagus sepanjang tahun.

Performa buruk sepanjang musim membawa mereka pada pertandingan play-off hidup mati melawan Belgrano de Cordoba, namun siapa sangka dalam dua leg pertandingan terpenting sepanjang sejarah itu mereka menyerah dalam agragat 1-3. Pavone bahkan menjadi salah satu pesakitan karena kegagalannya mengeksekusi penalti saat pertandingan play-off leg kedua melawan Belgrano, padahal jika sukses, hasilnya mungkin berbeda.

Sudah terdegradasi, hutang menumpuk pula. Pemain bintang tersisa, Erik Lamela, terpaksa dia lego ke AS Roma. Habiskah River Plate? Ternyata belum. Passarella, seperti permainan pantang menyerah dan tanpa komprominya saat masih bermain mengambil langkah-langkah strategis. Kebijakan transfer dihilangkan, karena keselamatan finansial adalah prioritas utama jika masih ingin bertahan. Matias Almeyda, mantan pemain yang juga produk akademi klub ditunjuk sebagai pelatih.

Almeyda, yang kenyang pengalaman bermain di Eropa baru saja mengakhiri karirnya sebagai pemain ketika River terdegradasi. Ia mengandalkan pemain-pemain akademi seperti si kembar Rodrigo dan Ramiro Funes Mori. Rodrigo pernah nyaris hengkang ke Benfica beberapa tahun lalu, namun Passarella menolak melepasnya. Selain mereka, River kemudian mendatangkan eks pemain mereka Leonardo Ponzio dan striker gaek Prancis yang memiliki darah Argentina, David Trezeguet untuk menyuntikkan pengalaman dalam skuadnya. Mereka berdua didatangkan dengan free transfer. Hasilnya manjur, River Plate kembali promosi ke divisi utama liga Argentina hanya dalam waktu setahun.

Snowball effect yang dikhawatirkan penggemar akan semakin menenggelamkan nama besar klub urung terjadi. Sebaliknya, River menikmati bouncing effect dengan diperpanjangnya kontrak sponsorship peralatan olah raga mereka oleh produk raksasa Jerman, Adidas hingga tahun 2018 kedepan. Dengan perpanjangan ini, Adidas mempertahankan salah satu partnership terlama mereka. Mereka telah bekerja sama dengan River Plate selama 30 tahun, jumlah yang hanya kalah oleh lamanya kerja sama mereka dengan tim nasional Jerman dan klub Bayern Muenchen. River juga berhasil menggaet BBVA, Bank terbesar Spanyol untuk menjadi sponsor mereka bersama Tramontina. The sun is rising.

Jauh sebelum julukan Los Galacticos tersemat di Real Madrid, River Plate sudah mendapatkannya. River Plate memiliki julukan borju, yaitu Los Millionarios. Kebalikan dari River, Boca Juniors dianggap sebagai perwakilan dari para kaum pekerja. Perbedaan historis ini kelak melahirkan salah satu rivalitas paling sengit sepanjang sejarah klub sepak bola.

Bagaimanapun, ketiadaan Tom akan membuat Jerry hidup dalam zona nyaman, begitupun sebaliknya. Hidup menjadi tidak seru. Degradasinya River pastinya dirindukan oleh Boca, seberapapun besarnya kebencian diantara mereka. Sepak bola Argentina butuh superclassico yang sudah mendarah daging itu.

The working class and the upper-class akan kembali bentrok 28 oktober nanti di Estadio Monumental Antonio Vespucio Liberti. Salah satu tontonan olah raga yang wajib anda saksikan sebelum mati ini sudah kembali, mencoba mengalihkan perhatian para bolamania sejenak dari hingar bingar sepak bola Eropa.


No comments:

Post a Comment