Pages

Wednesday, October 10, 2012

Genoa, The Italian Trading Club



Salah satu peristiwa menarik sekaligus memalukan yang terjadi di seri A musim lalu adalah peristiwa yang terjadi pada pertandingan giornata 34 seri A antara Genoa melawan Siena, di stadion Luigi Ferraris. Saat tuan rumah tertinggal 0-4 di menit ke 53, kerumunan tifosi memasuki lapangan dan memaksa para pemain il grifone menanggalkan kaus mereka seraya berteriak bahwa para pemain tersebut tidak pantas memakai kostum merah biru Genoa. Kejadian pedukung melucuti pakaian pemain-pemainnya biasa terjadi kalau tim yang mereka dukung merebut gelar juara. Layaknya pemandangan di stadion Olimpico, mei 2000, saat Lazio memastikan gelar seri A mereka. Tapi yang terjadi di Luigi Ferraris beberapa bulan lalu itu sama sekali bukan perayaan, namun sebuah pertunjukan klimaks frustasinya para pendukung melihat prestasi tim kesayangannya.

Klub yang pernah diperkuat oleh Kazuyoshi Miura, bomber legendaris Jepang ini adalah klub dengan sejarah masa lalu yang besar dengan 9 gelar scudetto. Kejayaan mereka memang hanya di masa lalu, karena terakhir meraihnya pada tahun 1924. Mempersempit pembahasan, dalam lima tahun belakangan ini mereka didukung materi pemain yang mentereng, serta presiden klub yang ambisius, Enrico Preziosi. Jelas, kekalahan demi kekalahan yang melanda il grifone musim lalu dan rekor kebobolan 69 gol –terbanyak di seri A musim 2011/2012- adalah sesuatu yang unforgiven bagi tifosi.

Preziosi mengambil alih Genoa tahun 2003 saat klub ini masih berada di seri C1. Dengan kemampuan finansial perusahaan mainan anak yang dimilikinya, Preziosi telah membawa Genoa ke seri A hanya dalam waktu 4 tahun meski dalam perjalanannya diterpa berbagai skandal pengaturan pertandingan ataupun pemalsuan laporan keuangan. Preziosi telah melakukan investasi yang tidak sedikit guna mengembalikan kejayaan Genoa menjadi klub besar seri a. Serangkaian pemain bagus didatangkan dan dengan harga yang juga tidak murah, dan tidak sedikit juga pemain yang mereka jual. Sejak era kembali ke seri A musim 2007/2008, mereka telah mengeluarkan dana transfer sebesar 250 juta euro, dengan penerimaan sebesar 240 juta. Dengan perputaran uang sebanyak 50 juta euro per musim di bursa transfer jika dipukul rata, rasanya mereka sah disebut sebagai trading football club.

Genoa memiliki model bisnis yang mirip dengan Udinese, atau Arsenal di Inggris. Mereka melakukan trading pemain untuk meningkatkan keuntungan klub. Untuk kasus Arsenal, hal ini memang agak aneh karena mereka adalah klub dengan pendapatan yang sudah besar tanpa harus menjual pemain-pemain bintang mereka setiap tahun lalu menjadikan klub tanpa gelar selama tujuh tahun. Tapi untuk klub seperti Genoa dan Udinese, bisnis semacam inilah yang mereka harapkan untuk bisa mengatrol keuntungan secara finansial maupun performa tim di lapangan.

Kerjasama dalam bentuk kepemilikan bersama juga acap mereka lakukan seperti halnya yang jamak terjadi pada klub seri A lainnya. Mereka banyak melakukan kerjasama transfer dengan klub besar seperti Milan dalam hal ini. Milan dan Genoa telah banyak bekerjasama dalam skema ini dengan melibatkan pemain seperti Kevin-Prince Boateng dan Stephan El Shaarawy.

Genoa melakukan banyak trading pemain karena pendapatan mereka memang kecil jika dibandingkan klub-klub besar seri a. Preziosi memang tajir, tapi yang menjadi ukuran adalah perputaran uang yang dihasilkan dari bisnis murni klub sepak bola, bukan semata-mata kucuran dana dari sang pemilik. Seperti telah dibahas dengan rinci oleh Swiss Ramble, blogger football finance asal Inggris yang berbasis di Swiss, pendapatan Genoa hanya sebesar 48 juta euro tahun 2011 lalu, hanya seperempatnya dibanding klub seperti Inter maupun Milan. Mereka juga hanya memiliki rataan 21 ribu penonton, atau hanya 60% dari 35 ribu kapasitas stadion Luigi Ferraris.

Potensi mereka berprestasi sebenarnya tercapai pada musim 2008/2009 saat mereka menduduki posisi kelima klasemen seri a, dimana saat itu mereka masih diperkuat Diego Milito, Thiago Motta dan Domenico Criscito serta dilatih oleh Gian Piero “Gasperson” Gasperini. Namun dijualnya Milito dan Motta dengan total nilai transfer 31 juta euro ke Inter semusim setelahnya membuat prestasi rossoblu kembali terlempar ke papan tengah. Kepergian dua pemain penting itu memang coba diatasi dengan transfer jor-joran dalam bentuk Robert Acquafresca (13 juta euro), Sergio Floccari (9 juta euro), Rodrigo Palacio (4 juta euro) hingga Alberto Zapater (4 juta euro). Namun heavy rotation dalam skuad tersebut menjadi kontraproduktif karena terjadi permasalahan dalam kekompakan tim. Sehebat apapun materi pemain, mereka tentu butuh waktu untuk menjadi solid.

Musim lalu adalah titik terendah pencapaian Genoa sejak promosi ke seri A lima tahun lalu. Meskipun neraca perdagangan mereka dalam dua musim terakhir menunjukkan tren positif berupa keuntungan bersih lebih dari 40 juta euro menurut situs transfermarkt.co.uk, mereka harus berjuang untuk salvezza hingga pekan-pekan akhir. Kekecewaan tifosi akhirnya meledak dengan insiden pelucutan pakaian pemain itu.

Buntut dari performa buruk para pemain, Preziosi menjual sebagian besar mereka. Tidak kurang nama-nama tenar seperti Alberto Gilardino, Miguel Veloso, Rodrigo Palacio, Mattia Destro, Chico, Panagiotis Tachtidis dan lainnya dijual dengan total penerimaan nyaris 50 juta euro. Pelatih Alberto Malesani dipecat dan diganti oleh Luigi De Canio. Preziosi melakukan hal diluar kebiasaannya membeli pemain-pemain mahal. Kini pemain potensial seperti Ciro Immobile dan eks anak emas mereka, Marco Borriello menjadi andalan baru il grifone.

Era baru siap dimulai. Entah era renaissance atau dark ages.

No comments:

Post a Comment