Cina dan India adalah dua negara
Asia yang akan segera menggeser kiblat perekonomian dari dunia barat. Dengan potensi
berupa penduduk yang jumlahnya miliaran –terbanyak pertama dan kedua di dunia-
mereka akan menjadi raja perekonomian dunia tidak lama lagi. Hal ini tentu erat
hubungannya dengan sepak bola, yang turut terpengaruh dengan segala kemajuan
tersebut.
Made
in India
Sebagai negara dengan
perekonomian yang tengah meningkat pesat dan terkenal sangat bangga menggunakan
produksi dalam negeri Made in India, negara ini sekarang tidak sekadar hanya
ingin menjadi penonton dalam dunia internasional, khususnya di dunia olahraga.
Jika sebelumnya mereka hanya memiliki kriket sebagai “agama” mereka, kini
mereka mulai melirik olahraga paling populer sejagat, sepak bola.
Jika berbicara tentang India,
yang sering kita dengar adalah industri film mereka yaitu Bollywood yang kian
serius penggarapannya demi menghasilkan film-film bermutu, yang kini lebih dari sekadar kejar-kejaran dan ngumpet di pohon. Selain Bollywood, India lebih dikenal
sebagai negara yang memainkan olahraga “asing” yaitu kriket. Olahraga kriket
dimainkan nyaris oleh seluruh pemuda India. Siaran langsung maupun highlight
yang terus menerus dijejalkan oleh media makin mendoktrin orang India untuk
terus menonton kriket, sekaligus mendarahdagingkan olahraga ini.
Fakta tersebut membuat sepak
bola sulit berkembang. Bagaimana mau berkembang jika olahraga yang sebenarnya
merupakan pertemuan komunal ini terus disesaki oleh olahraga lainnya yang juga
menghimpun komunitas besar macam kriket. Sebagai contoh sederhana, lapangan
yang semula diperuntukkan untuk bermain sepak bola, selalu dijadikan lapangan
kriket. Sepak bola disuruh mengalah dan anak-anak yang sebelumnya menggilai sepak
bola akan terpaksa beralih hobi ke permainan kriket.
Stagnansi persepakbolaan ini
bukannya didiamkan saja oleh semua kalangan. Penyelenggaraan I-League atau
Indian Football Premier League sejak tahun 2007 membawa hasil menggembirakan
dengan kelolosan India ke Piala Asia 2011, ajang dimana Indonesia absen sebagai
partisipan. Walaupun selalu kalah dalam tiga partai penyisihan grup, namun hal
ini turut menggairahkan persepak bolaan negara berpenduduk satu miliar jiwa
ini.
Belum berhenti disitu saja,
kapten mereka yaitu Sunil Chhetri ditarik oleh klub Major League Soccer, yaitu
Sporting Kansas City. Perkembangan belakangan, pemain berusia 27 tahun ini kini
bermain untuk tim B Sporting Lisbon. Selain Chhetri, dua pemain nasional India
mengikuti trial di klub eropa.
Subrata Pal mengikuti trial di Red Bull Leipzig, dan Gurpreet Singh Sandhu sedang
mengikuti trial bersama klub English
Premier League, Wigan Athletic.
Namun demikian, keberadaan
India Football Premier Leagua (I-League) sebagai liga sepak bola profesional
India dianggap kurang memadai untuk memajukan sepak bola India, khususnya tim nasionalnya.
Sebagai parameter, rataan penonton yang berkisar hanya dibawah 5000an cukup
jelas menggambarkan bahwa sepak bola adalah olahraga yang terisolasi ditengah
kepadatan penduduk India. Sebuah realita paradoks yang sayangnya membuat sepak
bola harus mengaku kalah sementara ini.
Euforia tim nasional
seklaigus kurang mulusnya perjalanan I-League ini dimanfaatkan oleh sebuah
badan investor. Salah satu investor dalam negeri mereka yaitu Celebrity
Management Group (CMG) kemudian melakukan kerjasama dalam bentuk joint venture dengan Asosiasi Sepak bola
India. CMG menginisiasi pembentukan Premiere League Soccer (PLS), sebuah
kompetisi berbasis di West Bengal –negara bagian yang dianggap memiliki fanbase
sepak bola terkuat di India- yang turut mendatangkan pemain veteran bereputasi
dunia. Fabio Cannavaro, Robert Pires, Robbie Fowler, Jayjay Okocha, Juan Pablo
Sorin, dan Hernan Crespo didatangkan untuk mengikuti kompetisi beranggotakan 6
tim dimana masing-masing tim mendapatkan satu orang pemain.
Namun tanpa berita yang
jelas, kompetisi yang semula akan bergulir hanya 10 pekan –dari Februari hingga
April 2012- tidak ada kejelasannya. Berita yang beredar mengatakan bahwa
kesulitan infrastruktur membuat kompetisi ini gagal digelar. Terlihat jelas
bahwa perencanaan yang kurang matang akan mengakibatkan sebuah proyek besar
yang semula digaungkan untuk meningkatkan popularitas sepak bola ini mentah.
Ketersediaan infrastruktur yang memadai, keberadaan fans dan kultur yang kuat
adalah hal mutlak dalam sepak bola.
Rasanya, sepak bola terus di
nina bobokan di negeri yang kaya budaya ini.
Once Upon a Time in China
Sebagai negara yang hanya
tinggal menunggu waktu untuk menguasai perekonomian dunia, Cina ironisnya masih
memiliki kekeringan prestasi pada olahraga terpopuler di dunia bernama sepak
bola. Terakhir mengikuti Piala Dunia 2002, mereka hingga kini belum kembali ke
ajang terbesar sepak bola itu dan malah bergelut dengan berbagai skandal dan
korupsi di sepak bola dalam negeri mereka.
Skandal terkenal “Chip-shot gate”
sudah cukup mencoreng persepak bolaan negeri tirai bambu itu. Skandal yang
melibatkan sebuah kub Divisi dua Liga Cina ini menggambarkan kejadian memalukan
sekaligus menggelikan, mungkin terparah sepanjang sejarah sepak bola.
Saat itu memasuki menit 90,
tim Qingdao Hailifeng FC bertanding lawan Sichuan FC. Skor masih 0-3 untuk
Sichuan, namun tiba-tiba asisten pelatih Qingdao memberi instruksi kepada
pemainnya untuk membuat gol bunuh diri. Sang pemain belakang mencoba melakukan back pass melambung hingga melampaui
kepala penjaga gawang, namun bola urung masuk ke gawangnya sendiri.
Setelah diusut, ternyata bos
dari klub memang bertaruh bahwa klubnya akan menyerah 0-4. Sang bos marah besar
kepada anak asuhannya, yang bahkan tidak bisa mengatur pertandingan.
Sikap-sikap seperti itulah
yang turut menghancurkan sepak bola di negeri ini, menjadikannya titik nadir
bagi persepak bolaan negeri berpenduduk paling banyak di dunia. Rangkaian kejadian
semacam itu menyeret ketua federasi sepak bola negeri itu ke hukuman penjara
selama 10 tahun.
Selain kecurangan dan
mafia-mafia tersebut, kemunduran sepak bola di negeri ini juga disebabkan fokus
badan olahraga mereka untuk menciptakan atlet-atlet nomor individu alih-alih beregu
macam pesepak bola. Lapangan yang terbatas karena kurangnya lahan juga jadi
permasalahan lainnya. Keseriusan pemerintah mereka terlihat dari banyaknya
anak-anak yang sudah dilatih keras sejak mereka masih kecil. Tujuan mereka, apa
lagi jika bukan merajai Olimpiade.
Prestise dan prestasi yang
selama ini mereka raih di ajang multi-event Olimpiade membuat fokus mereka teralihkan dari sepak
bola, yang hanya mendapat jatah satu medali emas saja di Olimpiade, dua jika
ditambah tim sepak bola putri. Secara kultur, masyarakat Cina menyukai sepak bola,
namun keadaan tidak mendukung mereka. Bagaimana dengan bola basket? Itu kan
juga permainan beregu. Ya memang beregu, tapi bola basket membutuhkan lapangan
yang lebih sempit, dan jumlah pemain yang lebih sedikit, makanya Cina bisa
mengekspor Yao Ming ke NBA, yang hingga akhir karirnya dianggap sebagai
pebasket Asia yang cukup sukses dan dihormati disana.
Yao Ming? Hmm. Itulah salah
satu yang tidak dimiliki dunia sepak bola Cina. Mereka tidak punya pemain panutan yang diidolai oleh sebagian remaja
layaknya Yao di dunia basket. Atau bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga
seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka kalah jauh. Jepang dan Korea memiliki pesepak bola hingga beberapa
angkatan yang melanglang buana di Eropa. Jepang punya Hidetoshi Nakata dan kini
Shinji Kagawa, Korea Selatan memiliki Park Ji Sung dan lainnya. Cina? Berapa
banyak pemain negeri itu yang Anda kenal? Dong Fangzhuo? Hao Haidong? Li Tie? Shao
Jiayi? Dimanakah mereka saat ini?
Belum lagi berbicara masalah
kependudukan. Kebijakan satu keluarga satu anak disana membuat para orang tua menjadi lebih
protektif terhadap anaknya. Jika memang ingin menjadikan anaknya sebagai atlet,
tentu atlet olahraga perorangan yang memiliki tradisi emas Olimpiade yang
menjadi pilihan, atau mendorong sang anak untuk menjadi penerus jejak Yao Ming,
ketimbang menjadikan anak mereka pesepak bola, yang kurang berprospek itu.
Tapi,
lihatlah keadaan sekarang.
Dua buah klub bernama
Shanghai Shenhua dan Guangzhou Evergrande mencuri spot light dunia dengan
menarik bintang-bintang sepak bola Eropa maupun Amerika Latin. Shenhua, yang
sudah diperkuat Nicolas Anelka dan dilatih Jean Tigana, kini menarik rekan
Anelka di Chelsea, Didier Drogba. Mereka bergabung bersama playmaker asal
Kolombia Giovanni Moreno.
Setelah dipegang oleh
miliarder pemilik perusahaan operator dan pemegang lisensi Game Online, Zhu
Jun, Shenhua makin merekah sesuai arti namanya yaitu “Flower in Shanghai”. Shenhua menjadi pencipta sejarah dengan
mempekerjakan dua orang asing di posisi direksi klub, yaitu Osvaldo Gimenez sebagai
C.E.O. dan mantan Direktur Teknik PSV Eindhoven dan pemain nasional tim
nasional Belanda, Stan Valckx untuk posisi yang sama dengan posisinya di PSV.
Sementara Evergrande kini
dimiliki oleh perusahaan Evergrande Real Estate yang mengambil alih kepemilikan
setelah membayar 100 juta Yuan kepada perusahaan farmasi, Guangzhou
Pharmaceutical. Klub asal kota Guangzhou ini sebetulnya terdegradasi tahun 2010
akibat terlibat pengaturan pertandingan.
Kini selain dilatih Marcelo
Lippi, yang membawa serta Michelangelo Rampulla sebagai pelatih kiper dan rombongan staf pelatih dari negaranya, mereka juga
mendatangkan gelandang asal Argentina, Dario Conca dan juga bintang lokal Gao
Lin dan Sun Xiang. Sebelum ini, Evergrande sudah diperkuat tiga legiun asing
asal Brasil, salah satunya Muriqui, yang setahun sebelumnya memborong gelar
topskor dan pemain terbaik Liga Super Cina. Perkembangan terakhir, striker asal
Paraguay Lucas Barrios didatangkan dari Borrusia Dortmund.
Awan hitam yang menyelubungi
persepak bolaan negeri pimpinan Presiden Hu Jintao ini sudah berlalu. Perbaikan
ini adalah andil dari semakin majunya ekonomi Cina belakangan ini. Namun apakah
berlalunya awan gelap sudah pasti menjadikan hari esok yang lebih terang bagi
negeri tempat terdapatnya The Great Wall ini? Nanti dulu.
Investasi besar-besaran
tentu tidak ada artinya jika bisnis yang berjalan tidak menguntungkan. Evergrande
misalnya, mereka kerap membagikan 10 ribu lembar tiket kepada para pendukungnya
di hari pertandingan, hanya untuk memastikan stadion mereka terisi penuh. Gaji selangit
para pemain dan pelatih asing mereka tidaklah cukup untuk ditutupi dari
penghasilan klub berupa pemasukan tiket, sponsor, penjualan merchandise maupun penerimaan hak siar televisi.
Bisnis sepak bola galactico ini belum sustainable bagi klub sepak bola Cina, yang pangsa pasar mereka
tidaklah seluas negara dan sebanyak jumlah penduduknya. Sepak bola mereka masih
berada pada tahap pengenalan kembali kepada pasar setelah kejatuhan skandal dan
keringnya prestasi tim nasional yang terjadi sebelumnya. Terlalu naif jika mereka menggunakan pola pikir instan meniru klub-klub besar Eropa dan berharap memiliki pertumbuhan penerimaan seperti yang diterima oleh Real Madrid dan Barcelona.
Beberapa pihak menyatakan
bahwa pembinaan pemain muda melalui akar rumput alias grassroots tetaplah lebih
penting, mengingat pembentukan kompetisi dan tim nasional tangguh berasal dari
sini. Namun para investor flamboyan itu tentu tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan mereka untuk angkat nama melalui sepak bola. Jika berinvestasi pada
pembinaan pemain muda, tentu nama mereka akan kurang nyaring terdengar,
ketimbang jika mereka berinvestasi kepada klub-klub Liga Super yang gaungnya
sudah terdengar kini hingga ke Eropa.
Investasi, tanpa memiliki
model yang mampu membuat bisnis itu bertahan sendiri (self-sustaining) hanya akan menjadi investasi yang rapuh. Para penggemar
dan pelaku sepak bola kini mungkin dapat berharap pada kemurahan hati para
investor saja untuk terus menerus menginjeksi pundi-pundi kekayaannya karena ketidakmandirian para klubnya. Jika hal
ini menemui kegagalan dan klub malah menjadi bangkrut, sepak bola Cina akan
semakin mengalami kemunduran.