Poros BRIC (Brasil, Rusia,
India, Cina) adalah poros baru kekuatan ekonomi dunia. Poros yang berisi
negara-negara yang memiliki kesamaan dalam hal banyaknya jumlah penduduk dan
kebijakan perekonomian ini juga turut melirik sepak bola sebagai salah satu alat
akselerasi pertumbuhan ekonomi mereka sekaligus semakin memperdengarkan nama
mereka kepada dunia.
Brazilian Supremacy
Brasil adalah negara
sepak bola yang merebut 5 gelar Piala Dunia, hanya bisa didekati Italia dengan 4
gelar. Brasil juga adalah negara penyimpan trofi Jules Rimet setelah tahun 1970
mengalahkan Italia dengan skor 4-1 di final penahbisan penguasa sepak bola era
modern.
Sepak bola sudah menjadi
seperti budaya di satu-satunya negara Amerika Latin berbahasa Portugis ini.
Sebagian besar malah sudah menganggapnya seperti agama. Penunjukan mereka
sebagai tuan rumah Piala Dunia 2014 –kedua setelah terakhir mereka
menyelenggarakan Piala Dunia 1950- hanyalah akan semakin mengukuhkan kepada
dunia kebesaran mereka di dunia si kulit bundar.
Brasil dapat dikatakan sudah
dikudeta Spanyol jika kita berbicara peta kekuatan sepakbola lima tahun ke
belakang. Saat mereka menjadi tuan rumah di 2014 menjadi saat yang tepat untuk
merebut kembali singgasana sepak bola yang sebelumnya mereka duduki.
Tidak usah berbicara
mengenai talenta di Brasil karena di jalan-jalan, di lapangan kecil ditengah
favelas, pinggir pantai dan dimanapun di negara yang dipimpin oleh presiden
wanita bernama Dilma Roussef ini kita bisa akan melihat anak-anak bermain
sepak bola dengan gembira. Sepak bola adalah alasan bagi jutaan anak-anak itu
untuk lepas dari jeratan kemiskinan serta melarikan diri dari dunia kejahatan.
Tidak hanya sepak bola
konvensional, di olahraga turunannya seperti
futsal, indoor soccer, mini soccer, atau sepak bola pantai, Brasil juga
merajainya. Namun kejayaan tim nasional berseragam kuning ini tidak serta merta
menular pada klub-klub mereka, terutama dari aspek finansial. Klub-klub
sepak bola Brasil sebenarnya memiliki basis penonton fanatik dengan jumlah yang
besar. Kenyataan bahwa Brasil kini menggeliat di kancah perekonomian –baru-baru
ini menggeser Inggris di posisi 6 negara dengan ukuran ekonomi terbesar di
dunia- belum sepenuhnya menular ke dunia sepak bola mereka, khususnya sehubungan
dengan antusiasme penonton mereka untuk berbondong-bondong hadir ke stadion.
Rataan penonton di tahun 2011
yang berjumlah hanya 14.897 saja menunjukkan hal tersebut. Jumlah itu bahkan
lebih rendah daripada penonton sepak bola Amerika Serikat, Negara tempat
sepak bola dianggap kurang populer. Penonton pertandingan Sao Paulo vs Flamengo maupun
derby “Fla-Flu” alias Flamengo vs Fluminense sajalah yang mampu menyedot animo
hingga lebih dari 50 ribu ribuan penonton.
Kurangnya pendapatan dari
sektor penonton langsung di stadion ini turut memengaruhi penerimaan klub
secara keseluruhan. Klub-klub Brasil sangat sedikit pendapatannya jika
dibandingkan dengan klub-klub di Eropa. Klub seperti Corinthians dan Sao Paulo
–keduanya terkaya di Brasil- hanya akan menempati urutan ke 50an pada Deloitte
Money League.
Kurangnya minat penonton ini
juga disebabkan bintang-bintang potensial Brasil kerap hijrah ke Eropa di usia
matang mereka. Para klub pemilik pemain berbakat seperti Santos, Sao Paulo
maupun Internacional tidak mampu menahan kibasan fulus dari para klub kaya
Eropa. Si pemain seperti Neymar sendiri juga tidak kuasa menolak tawaran gaji
besar yang akan semakin menambah pundi-pundi kekayaan sekaligus mencicipi
kompetisi terbaik dunia.
Klub-klub Brasil bukannya
berpangku tangan dalam masalah ini. Selain mencoba menahan bintang potensialnya
selama mungkin hingga harganya melambung, mereka juga berusaha meningkatkan
penerimaan mereka melalui pemanggilan pulang pemain-pemain eks bintang Eropa.
Pemain seperti Deco, Luis Fabiano, Ronaldinho, maupun Adriano akan turut
meningkatkan animo penonton dan juga meningkatkan motivasi para pemain berbakat
mereka untuk belajar langsung dari sang idola.
From Russia With Love
Jauh dipisahkan Samudera
Pasifik, terbentanglah negara paling luas di dunia dengan luas 17 juta
kilometer persegi bernama Rusia. Semifinalis Piala Eropa 2008 ini makin menggeliat
dalam persepakbolaan dunia seiring penunjukan FIFA untuk menjadi tuan rumah
Piala Dunia 2018.
Penunjukan mereka yang
secara mengejutkan mengalahkan Inggris itu memang banyak unsur politis dan
kontroversi yang sangat melukai bangsa Inggris. Namun patut diakui bahwa
kemajuan signifikan dari perekonomian dan persepakbolaan negara Rusia turut
menjadi salah satu faktor penunjukan itu. Keberadaan para konglomerat yang
berkecimpung di dunia sepak bola melalui injeksi uang triliunan miliknya
menjadikan sepak bola negara ini tidak hanya sekadar menjadi tontonan di akhir
pekan bagi kaum pekerja mereka. Dari liga mereka, muncul nama-nama Andrei
Arshavin, Roman Pavlyuchenko, Igor Akinfeev hingga Alan Dzagoev dan Samuel
Eto’o.
Klub-klub negara ini juga
tidak hanya menjadi pemanis di kompetisi Eropa. Klub seperti Zenith St.
Petersburg maupun CSKA Moskow bergantian merasakan nikmatnya menjadi juara
turnamen antar klub Eropa dengan memenangi European League 2004 dan 2009,
pertama kali sejak Dynamo Kyiv memenangi Piala UEFA tahun 1986 saat masih
tergabung dalam Uni Soviet.
Klub-klub Rusia, seperti
klub Eropa Timur lainnya masih berjuang keras untuk menyaingi pendapatan
klub-klub besar yang bermain di lima liga top Eropa. Dengan pendapatan yang
berada di kisaran 30 juta euro, masih jauh bagi mereka untuk menandingi
hegemoni Real Madrid maupun Barcelona.
Rusia mengikuti jejak mantan
saudara mereka Ukraina yang sukses menggelar Piala Eropa 2012 bersama Polandia.
Penunjukan Ukraina ini turut dilatarbelakangi oleh keberhasilan klub-klub
mereka di kancah Liga Champions. Sebagai bukti, Dynamo Kiev sudah tidak asing
lagi kiprahnya di kompetisi terbaik antar klub benua biru ini.
Kemudian rival mereka
Shakhtar Donetsk turut menggebrak dengan membangun stadion baru Donbass Arena
yang berkapasitas 50 ribu penonton. Pembangunan stadion baru yang menghabiskan
dana 320 juta euro ini dibiayai oleh pemilik mereka Rinat Akhmetov, yang girang
dengan prestasi klub yang diperkuat oleh Willian ini wara-wiri ke Liga
Champions. Pembangunan restoran-restoran dan kafe di stadion turut
memaksimalkan penerimaan klub diluar tiket pertandingan. Shakhtar kini
merasakan lezatnya kontinuitas keuntungan hasil dari investasi besar mereka.
Kedatangan pelatih Fabio
Capello yang menangani tim nasional Rusia sangat penting bagi kampanye mereka
menajadi tuan rumah sukses ajang sepak bola empat tahunan tersebut. Dengan
kehadiran pelatih berprofil tinggi macam Capello, perkembangan sepakbola Rusia
dipercaya akan semakin meningkat pesat. Belum lagi menyebut kehadiran bintang
dunia di liga mereka seperti Samuel Eto’o, yang oleh Anzhi Makhachkala yang
dibayar sangat mahal. Hal semacam ini menunjukkan komitmen mereka untuk terus
mengglobalkan sepak bola mereka.
Kehadiran Anzhi Makhachkala
yang mencoba menyeruak ke level elit sepak bola Rusia menjadi hal menarik
lainnya di sepak bola negara ini. Anzhi adalah klub “balita” asal wilayah
Dagestan yang baru berdiri tahun 1991. Setelah sepuluh tahun melewati periode
stagnan dan cenderung terabaikan karena konflik yang melanda di wilayah ini,
seoarang putra daerah sukses bernama Suleyman Kerimov datang membawa satu
kontainer uang untuk mengakuisisi Anzhi.
Kerimov berpendapat bahwa
sepakbola bisa merubah pandangan orang pada Dagestan, yang kini dianggap media
barat sebagai “the most dangerous place
in the world”. Dengan memiliki klub sepak bola yang mampu berbicara di level
regional, bahkan global, penduduk Dagestan memiliki sesuatu untuk dibanggakan,
sesuatu yang akan memotivasi dan bahkan sesuatu yang dapat menghilangkan
konflik berkepanjangan.
Memang uang tidak akan
menjamin klub sepakbola akan sukses, namun uang bisa membuat sesuatu yang
semula tidak dikenal menjadi terkenal. Lihat saja Real Madrid yang proyek
Galacticosnya membuat mereka kini dikenal sebagai salah satu brand sepakbola teratas di seluruh
dunia. Kehadiran Samuel Eto’o yang disusul Yuri Zhirkov, Diego Tardelli dan
kemudian Christopher Samba dipercaya akan membawa Anzhi menjadi kekuatan besar
sepak bola Eropa sekaligus penyalur pemain ke tim nasional Rusia dalam kurun
waktu 5 hingga 10 tahun kedepan.
saya baru tahu, selain unsur budaya, orang Brasil selalu pake fantasi kalo main bola. Misal anak kecil lagi main/latihan dgn posisi striker, dia selalu berpikir di depannya ada pemain2 bertahan legendaris Brasil. Kadang dilambangkan dengan batu besar dijejer di lapangan.
ReplyDeleteLengkap deh, skill dapet, fantasi dapet :D
gak heran maestro-maestro terus lahir dari negara ini ya mas. Saya liat Neymar main itu kaya lagi liat pertunjukan musik, mungkin dia salah satu anak kecil yang latihan pakai metode itu.
Delete