Piala Dunia 1986 di Meksiko
adalah salah satu Piala Dunia yang paling banyak dibicarakan orang. Bagaimana tidak,
disitu kita menyaksikan fenomena bernama Diego Maradona, yang seolah sendirian
membawa Argentina menjadi juara dunia, yang puncaknya tersaji setelah mereka mengalahkan Jerman Barat 3-2 di partai final. Di ajang
yang sama, Maradona juga mencetak dua gol yang paling diingat dalam sejarah
sepakbola dimana keduanya terjadi ke gawang Inggris, musuh bebuyutan Argentina
yang saat itu tengah menaruh dendam akan kekalahan mereka di Perang Malvinas, yaitu gol tangan
tuhan dan dribbling solo melewati
enam pemain Inggris.
Saya baru berusia 3 tahun
dan belum mengenal sepakbola saat itu, namun perbincangan mengenai Piala Dunia
satu ini tidak pernah basi. Mexico 1986 juga terkenal dengan Mexican Wave, yang
berasal gerakan sederhana penonton yang berdiri dan duduk secara berurutan
dengan teman sebelahnya, yang membentuk gerakan menyerupai ombak. Kesemua momen
itu sebenarnya terjadi diatas penderitaan tetangga mereka, Amerika Serikat.
Saat FIFA memutuskan untuk
menggelar Piala Dunia 1986 di benua Amerika, tiga negara yaitu Amerika Serikat,
Meksiko dan Kolombia mengajukan penawaran. Kolombia akhirnya mundur, tinggal menyisakan
Amerika Serikat dan Meksiko untuk bersaing. Namun kegagalan North American
Soccer League (NASL) sebagai liga profesional sepakbola Amerika Serikat menjadi preseden buruk bagi FIFA, yang kemudian secara otomatis
menunjuk Meksiko.
Kegagalan NASL -sempat
menjadi tempat bermain Pele, Franz Beckenbauer dan George Best- yang kemudian
menggagalkan kampanye mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia 1986 lalu malah
melecut para petinggi sepakbola untuk bangkit. Mereka meyakinkan FIFA bahwa
sepakbola telah digarap dengan serius disini. Blueprint bernama Major
League Soccer dipromosikan untuk meyakinkan FIFA. Usaha tersebut berhasil,
dan Amerika Serikat dipercaya menggelar Piala Dunia pertamanya sepanjang
sejarah mereka.
Sejak penunjukan sebagai
tuan rumah Piala Dunia tahun 1994, prestasi soccer
negara Paman Sam memang meroket dengan pencapaian tertinggi memasuki babak
perempat final Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea. Penunjukan sebagai host Piala Dunia tahun 1994 ketika kita terakhir
menyaksikan seorang Diego Maradona bermain di sebuah kejuaraan besar itu
menggerakkan sepakbola Amerika Serikat secara masif. Di Piala Dunia 1994,
Amerika Serikat melaju ke babak 16 besar sebelum dihentikan gol tunggal Bebeto
yang membawa Brasil mengalahkan tuan rumah hingga kemudian menjadi juara.
Selepas Piala Dunia 1994, para penggagas liga sepakbola profesional kembali ke meja kerja dan ruang rapatnya. Hasilnya, liga yang bernama Major League Soccer (MLS) tersebut resmi digulirkan. Beberapa marquee playeryang sudah kenyang pengalaman bermain di Eropa dan Amerika Latin seperti Roberto Donadoni dan Marco Etcheverry meramaikan liga tersebut.
Selepas Piala Dunia 1994, para penggagas liga sepakbola profesional kembali ke meja kerja dan ruang rapatnya. Hasilnya, liga yang bernama Major League Soccer (MLS) tersebut resmi digulirkan. Beberapa marquee playeryang sudah kenyang pengalaman bermain di Eropa dan Amerika Latin seperti Roberto Donadoni dan Marco Etcheverry meramaikan liga tersebut.
Penunjukan kompetisi yang dikelola oleh konsorsium dan setiap timnya dijalankan oleh investor ini menggairahkan sepakbola dengan cara yang elegan. Pengelolaan yang profesional, pengadaan maupun perbaikan infrastruktur pertandingan, dan juga pembelian marquee player sebagai pemikat terbukti menjadi katalis bagi perkembangan pesat sepakbola negara adi kuasa ini.
Jumlah penduduk yang banyak menjadi salah satu faktor percepatan perkembangan MLS. Dengan penduduk yang banyak, sederhana saja, pangsa pasar menjadi lebih luas. Dan seperti kita ketahui, bangsa Amerika memang bangsa pertunjukan, dimana mereka sangat mahir dalam membungkus segala kegiatan mereka dengan sedemikian rupa sehingga menarik minat banyak orang. Anda pasti familiar dengan sinergi olahraga dan hiburan di negara ini. Konser mini seringkali diselipkan dalam pertandingan olahraga untuk semakin membungkus acara olahraga menjadi menarik.
Cerita kegagalan terkenal memang sempat muncul di tim nasional The Yanks saat mengikuti Piala Dunia 1998 di Prancis. Pelatih Steve Sampson saat itu terpaksa mengeluarkan kapten John Harkes dari tim akibat skandal seks yang melibatkannya dengan istri striker Eric Wynalda. Keputusan Sampson tersebut dilakukannya demi mempertahankan harmonisasi tim, namun ketiadaan figur pemimpin seperti Harkes mengakibatkan luluh lantaknya Amerika Serikat di tiga partai penyisihan grup, termasuk kekalahan melawan rival politik, Iran 1-2 yang membuat nama Hamid Estili dan Mehdi Mahdavikia, dua pencetak gol ke gawang Kasey Keller, diabadikan menjadi nama jalan di Teheran.
Cerita keterpurukan 1998 segera dilupakan. Sebagai bangsa yang memang unggul dan mampu melahirkan banyak tokoh dunia, Amerika Serikat memang memiliki sifat yang tidak mau kalah dengan bangsa lain. Mereka merasa mampu bermain bal-balan melebihi kemampuan mereka memainkan American Football.
Amerika Serikat memang
mencapai perempat final Piala Dunia 2002 setelah tragedi 1998, namun prestasi tim nasional mereka
tidaklah mencerminkan kualitas MLS. Mundur ke tahun 1999, Don Garber, komisioner MLS,
mencanangkan rencana jangka panjang untuk meningkatkan kualitas MLS yang
dikenal dengan Garber League Building Plan. Salah satu faktor kunci adalah
penggunaan lapangan sepakbola orisinil, bukan lapangan yang dicampur-campur
dengan American Football, sehingga garis-garis tipis lapangan masih terlihat
yang tidak sedap dipandang mata serta akan turut mengganggu permainan.
MLS hingga tahun 2011 melahirkan sembilan tim yang pemenang berbeda dalam kompetisi mereka. Hal yang menggambarkan distribusi gelar yang merata, melambangkan serunya kompetisi ini. DC United mampu mengumpulkan gelar terbanyak dengan empat gelar, diikuti Los Angeles Galaxy dengan tiga. Sembilan peserta tambahan menjadikan MLS semakin kompetitif dan menarik. Tidak heran, MLS mampu bertahan ditengah popularitas kompetisi National Basketball Association (NBA), National Football League (NFL), Major League Baseball (MLB) maupun National Hockey League (NHL) yang sebelumnya telah mendarah daging di negara tersebut.
Di tahun 2011. rataan
penonton kompetisi ini sangat luar biasa untuk ukuran olahraga yang dipandang
kurang populer, yaitu 18 ribu penonton. Bandingkan dengan Brasil yang hanya
memiliki nyaris 15 ribu rata-rata penonton, dengan pengecualian partai
big-match Flamengo vs Fluminense yang bisa menyedot atensi hingga 64 ribu
orang. Kemampuan daya beli dan gaya hidup konsumtif Amrikiya memang turut
mendorong mobilisasi penonton ke stadion untuk menyaksikan soccer.
US
Soccer Pyramid
United States Soccer
Federation (USSF) selaku federasi sepakbola Amerika Serikat tahu benar bahwa
pembentukan tim nasional yang tangguh tidak bisa dilakukan secara instan. Mereka
sudah membuat piramida pembinaan pemain muda dengan sistem yang rapi, dengan
skema berikut:
·
Major League Soccer (MLS) – USSF Division I
·
North American Soccer League (NASL) – USSF Division
II
·
United Soccer Leagues Professional Division (USL
Pro) – USSF Division III
·
Premier Development League (PDL), National Premier
Soccer League (NSPL), Pacific Coast Soccer League (PCSL) Premier Division –
USSF Division IV
·
US Club Soccer (USCS), United States Adult
Soccer Association (States), PCSL Reserve Division – USSF Division V
Kegagalan The Yanks di Piala Dunia 2006 dimana
mereka hanya meraih satu poin dan kegagalan rutin klub MLS di ajang Piala
CONCACAF membuat para petinggi USSF kembali mengambil langkah signifikan setahun
setelahnya. Mereka mewajibkan klub MLS menjalankan akademi pengembangan pemain
muda paling sedikit dalam dua tingkatan usia dengan arahan pelatih yang bekerja
secara penuh.
Program ini telah
menghasilkan output yang bagus. DC United, pemenang empat kali MLS memiliki
akademi muda sejak tahun 2001 dan kini menginvestasikan 500 ribu USD per tahun
menurut ESPN. Hasil dari program ini terlihat dari kemunculan dua pemain
berbakat yang tidak luput dari pengamatan klub-klub Eropa yaitu penjaga gawang
Bill Hamid dan winger Andy Najar.
Langkah sukses DC United
turut diikuti oleh Real Salt Lake City. Klub asal kota tempat bermarkasnya klub
NBA Utah Jazz ini memiliki akademi yang tidak sekadar menekankan kemenangan,
tapi membentuk karakter dan skill pemain. Klub-klub lainnya yaitu Vancouver
Whitecaps, FC Dallas, Colorado Rapids, New York Red Bulls, dan Chicago Fire
juga menekankan pentingnya akademi pembinaan pemain muda.
Sistem pembinaan home-grown yang kuat dan rapi tersebut
menjadi basis akan kuatnya sepakbola Amerika Serikat, yang juga sempat
menduduki posisi ke 4 pada ranking FIFA edisi April 2008. Kehadiran mantan
pemain top dari Eropa macam David Beckham, Thierry Henry, Rafael Marquez,
hingga kini Alessandro Nesta turut meningkatkan penerimaan
klub dari sisi jumlah penonton.
Anak
bangsa di dunia Soccer
Hal menarik dari MLS bagi
kita bangsa Indonesia mengerucut pada sosok Erick Thohir. Pengusaha yang
menggemari olahraga ini dikenal sebagai pemilik klub bola basket Satria Muda
Britama dan Indonesian Warriors. Erick pada awal bulan juli 2012 ini membeli saham
mayoritas klub DC United setelah sebelumnya membeli sebagian saham klub NBA, Philadelphia 76ers. Gebrakan pengusaha muda ini sekilas memberi angin
segar bagi dunia olahraga Indonesia karena salah seorang putranya akan dapat
memperkenalkan bangsa ini, khususnya dunia olahraganya lebih luas lagi ke seluruh dunia.
Kehadirannya juga diharapkan
dapat menampung salah seorang pesepakbola muda Indonesia, Dipo Alam, yang
sedang berkarir sepakbola di Amerika Serikat di kompetisi Premier Development
League (PDL). PDL inilah kompetisi yang kemudian menjadi penyalur pemain-pemain di MLS. Melalui PDL ini telah tersalur dua nama yang cukup familiar di
kompetisi Eropa, yaitu Jonathan Spector yang malang melintang di Liga Inggris, Vedad
Ibisevic, striker asal Bosnia yang sempat berjaya di klub Jerman, Hoffenheim,
dan Brian Ching, yang sempat wara-wiri di tim nasional Amerika Serikat.
Namun keputusan ini mendapat
kritik dari ahli pengembangan pesepakbola muda, Tom Byer. Dalam salah satu
tweetnya, Byer mengemukakan bahwa hanya dari sepersepuluh investasi Erick ke DC
United dan 76ers, dia bisa membantu sistem pembinaan pesepakbola Indonesia. Byer
bahkan menjamin bahwa dengan kucuran dana tersebut Indonesia dapat menjadi
peserta Piala Dunia U-17.
Walaupun demikian, Byer
memahami bahwa investasi pada pembinaan usia muda sepakbola tidaklah menarik
dari sisi komersial, dan hasil yang akan didapatkannya juga tidak akan instan. Well, business is business.
No comments:
Post a Comment