Pages

Thursday, August 2, 2012

Antara Amerika Serikat, MLS dan Indonesia


Piala Dunia 1986 di Meksiko adalah salah satu Piala Dunia yang paling banyak dibicarakan orang. Bagaimana tidak, disitu kita menyaksikan fenomena bernama Diego Maradona, yang seolah sendirian membawa Argentina menjadi juara dunia, yang puncaknya tersaji setelah mereka mengalahkan Jerman Barat 3-2 di partai final. Di ajang yang sama, Maradona juga mencetak dua gol yang paling diingat dalam sejarah sepakbola dimana keduanya terjadi ke gawang Inggris, musuh bebuyutan Argentina yang saat itu tengah menaruh dendam akan kekalahan mereka di Perang Malvinas, yaitu gol tangan tuhan dan dribbling solo melewati enam pemain Inggris.

Saya baru berusia 3 tahun dan belum mengenal sepakbola saat itu, namun perbincangan mengenai Piala Dunia satu ini tidak pernah basi. Mexico 1986 juga terkenal dengan Mexican Wave, yang berasal gerakan sederhana penonton yang berdiri dan duduk secara berurutan dengan teman sebelahnya, yang membentuk gerakan menyerupai ombak. Kesemua momen itu sebenarnya terjadi diatas penderitaan tetangga mereka, Amerika Serikat.

Saat FIFA memutuskan untuk menggelar Piala Dunia 1986 di benua Amerika, tiga negara yaitu Amerika Serikat, Meksiko dan Kolombia mengajukan penawaran. Kolombia akhirnya mundur, tinggal menyisakan Amerika Serikat dan Meksiko untuk bersaing. Namun kegagalan North American Soccer League (NASL) sebagai liga profesional sepakbola Amerika Serikat menjadi preseden buruk bagi FIFA, yang kemudian secara otomatis menunjuk Meksiko.

Kegagalan NASL -sempat menjadi tempat bermain Pele, Franz Beckenbauer dan George Best- yang kemudian menggagalkan kampanye mereka menjadi tuan rumah Piala Dunia 1986 lalu malah melecut para petinggi sepakbola untuk bangkit. Mereka meyakinkan FIFA bahwa sepakbola telah digarap dengan serius disini. Blueprint bernama Major League Soccer dipromosikan untuk meyakinkan FIFA. Usaha tersebut berhasil, dan Amerika Serikat dipercaya menggelar Piala Dunia pertamanya sepanjang sejarah mereka.

Sejak penunjukan sebagai tuan rumah Piala Dunia tahun 1994, prestasi soccer negara Paman Sam memang meroket dengan pencapaian tertinggi memasuki babak perempat final Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea. Penunjukan sebagai host Piala Dunia tahun 1994 ketika kita terakhir menyaksikan seorang Diego Maradona bermain di sebuah kejuaraan besar itu menggerakkan sepakbola Amerika Serikat secara masif. Di Piala Dunia 1994, Amerika Serikat melaju ke babak 16 besar sebelum dihentikan gol tunggal Bebeto yang membawa Brasil mengalahkan tuan rumah hingga kemudian menjadi juara.


Selepas Piala Dunia 1994, para penggagas liga sepakbola profesional kembali ke meja kerja dan ruang rapatnya. Hasilnya, liga yang bernama Major League Soccer (MLS) tersebut resmi digulirkan. Beberapa marquee playeryang sudah kenyang pengalaman bermain di Eropa dan Amerika Latin seperti Roberto Donadoni dan Marco Etcheverry meramaikan liga tersebut.


Penunjukan kompetisi yang dikelola oleh konsorsium dan setiap timnya dijalankan oleh investor ini menggairahkan sepakbola dengan cara yang elegan. Pengelolaan yang profesional, pengadaan maupun perbaikan infrastruktur pertandingan, dan juga pembelian marquee player sebagai pemikat terbukti menjadi katalis bagi perkembangan pesat sepakbola negara adi kuasa ini.


Jumlah penduduk yang banyak menjadi salah satu faktor percepatan perkembangan MLS. Dengan penduduk yang banyak, sederhana saja, pangsa pasar menjadi lebih luas. Dan seperti kita ketahui, bangsa Amerika memang bangsa pertunjukan, dimana mereka sangat mahir dalam membungkus segala kegiatan mereka dengan sedemikian rupa sehingga menarik minat banyak orang. Anda pasti familiar dengan sinergi olahraga dan hiburan di negara ini. Konser mini seringkali diselipkan dalam pertandingan olahraga untuk semakin membungkus acara olahraga menjadi menarik.

Cerita kegagalan terkenal memang sempat muncul di tim nasional The Yanks saat mengikuti Piala Dunia 1998 di Prancis. Pelatih Steve Sampson saat itu terpaksa mengeluarkan kapten John Harkes dari tim akibat skandal seks yang melibatkannya dengan istri striker Eric Wynalda. Keputusan Sampson tersebut dilakukannya demi mempertahankan harmonisasi tim, namun ketiadaan figur pemimpin seperti Harkes mengakibatkan luluh lantaknya Amerika Serikat di tiga partai penyisihan grup, termasuk kekalahan melawan rival politik, Iran 1-2 yang membuat nama Hamid Estili dan Mehdi Mahdavikia, dua pencetak gol ke gawang Kasey Keller, diabadikan menjadi nama jalan di Teheran.

Cerita keterpurukan 1998 segera dilupakan. Sebagai bangsa yang memang unggul dan mampu melahirkan banyak tokoh dunia, Amerika Serikat memang memiliki sifat yang tidak mau kalah dengan bangsa lain. Mereka merasa mampu bermain bal-balan melebihi kemampuan mereka memainkan American Football.


Amerika Serikat memang mencapai perempat final Piala Dunia 2002 setelah tragedi 1998, namun prestasi tim nasional mereka tidaklah mencerminkan kualitas MLS. Mundur ke tahun 1999, Don Garber, komisioner MLS, mencanangkan rencana jangka panjang untuk meningkatkan kualitas MLS yang dikenal dengan Garber League Building Plan. Salah satu faktor kunci adalah penggunaan lapangan sepakbola orisinil, bukan lapangan yang dicampur-campur dengan American Football, sehingga garis-garis tipis lapangan masih terlihat yang tidak sedap dipandang mata serta akan turut mengganggu permainan.


MLS hingga tahun 2011 melahirkan sembilan tim yang pemenang berbeda dalam kompetisi mereka. Hal yang menggambarkan distribusi gelar yang merata, melambangkan serunya kompetisi ini. DC United mampu mengumpulkan gelar terbanyak dengan empat gelar, diikuti Los Angeles Galaxy dengan tiga. Sembilan peserta tambahan menjadikan MLS semakin kompetitif dan menarik. Tidak heran, MLS mampu bertahan ditengah popularitas kompetisi National Basketball Association (NBA), National Football League (NFL), Major League Baseball (MLB) maupun National Hockey League (NHL) yang sebelumnya telah mendarah daging di negara tersebut.


Di tahun 2011. rataan penonton kompetisi ini sangat luar biasa untuk ukuran olahraga yang dipandang kurang populer, yaitu 18 ribu penonton. Bandingkan dengan Brasil yang hanya memiliki nyaris 15 ribu rata-rata penonton, dengan pengecualian partai big-match Flamengo vs Fluminense yang bisa menyedot atensi hingga 64 ribu orang. Kemampuan daya beli dan gaya hidup konsumtif Amrikiya memang turut mendorong mobilisasi penonton ke stadion untuk menyaksikan soccer.


US Soccer Pyramid

United States Soccer Federation (USSF) selaku federasi sepakbola Amerika Serikat tahu benar bahwa pembentukan tim nasional yang tangguh tidak bisa dilakukan secara instan. Mereka sudah membuat piramida pembinaan pemain muda dengan sistem yang rapi, dengan skema berikut:

·         Major League Soccer (MLS) – USSF Division I

·         North American Soccer League (NASL) – USSF Division II

·         United Soccer Leagues Professional Division (USL Pro) – USSF Division III

·         Premier Development League (PDL), National Premier Soccer League (NSPL), Pacific Coast Soccer League (PCSL) Premier Division – USSF Division IV

·         US Club Soccer (USCS), United States Adult Soccer Association (States), PCSL Reserve Division – USSF Division V

Kegagalan The Yanks di Piala Dunia 2006 dimana mereka hanya meraih satu poin dan kegagalan rutin klub MLS di ajang Piala CONCACAF membuat para petinggi USSF kembali mengambil langkah signifikan setahun setelahnya. Mereka mewajibkan klub MLS menjalankan akademi pengembangan pemain muda paling sedikit dalam dua tingkatan usia dengan arahan pelatih yang bekerja secara penuh.

Program ini telah menghasilkan output yang bagus. DC United, pemenang empat kali MLS memiliki akademi muda sejak tahun 2001 dan kini menginvestasikan 500 ribu USD per tahun menurut ESPN. Hasil dari program ini terlihat dari kemunculan dua pemain berbakat yang tidak luput dari pengamatan klub-klub Eropa yaitu penjaga gawang Bill Hamid dan winger Andy Najar.

Langkah sukses DC United turut diikuti oleh Real Salt Lake City. Klub asal kota tempat bermarkasnya klub NBA Utah Jazz ini memiliki akademi yang tidak sekadar menekankan kemenangan, tapi membentuk karakter dan skill pemain. Klub-klub lainnya yaitu Vancouver Whitecaps, FC Dallas, Colorado Rapids, New York Red Bulls, dan Chicago Fire juga menekankan pentingnya akademi pembinaan pemain muda.

Sistem pembinaan home-grown yang kuat dan rapi tersebut menjadi basis akan kuatnya sepakbola Amerika Serikat, yang juga sempat menduduki posisi ke 4 pada ranking FIFA edisi April 2008. Kehadiran mantan pemain top dari Eropa macam David Beckham, Thierry Henry, Rafael Marquez, hingga kini Alessandro Nesta turut meningkatkan penerimaan klub dari sisi jumlah penonton.


Anak bangsa di dunia Soccer

Hal menarik dari MLS bagi kita bangsa Indonesia mengerucut pada sosok Erick Thohir. Pengusaha yang menggemari olahraga ini dikenal sebagai pemilik klub bola basket Satria Muda Britama dan Indonesian Warriors. Erick pada awal bulan juli 2012 ini membeli saham mayoritas klub DC United setelah sebelumnya membeli sebagian saham klub NBA, Philadelphia 76ers. Gebrakan pengusaha muda ini sekilas memberi angin segar bagi dunia olahraga Indonesia karena salah seorang putranya akan dapat memperkenalkan bangsa ini, khususnya dunia olahraganya lebih luas lagi ke seluruh dunia.

Kehadirannya juga diharapkan dapat menampung salah seorang pesepakbola muda Indonesia, Dipo Alam, yang sedang berkarir sepakbola di Amerika Serikat di kompetisi Premier Development League (PDL). PDL inilah kompetisi yang kemudian menjadi penyalur pemain-pemain di MLS. Melalui PDL ini telah tersalur dua nama yang cukup familiar di kompetisi Eropa, yaitu Jonathan Spector yang malang melintang di Liga Inggris, Vedad Ibisevic, striker asal Bosnia yang sempat berjaya di klub Jerman, Hoffenheim, dan Brian Ching, yang sempat wara-wiri di tim nasional Amerika Serikat.

Namun keputusan ini mendapat kritik dari ahli pengembangan pesepakbola muda, Tom Byer. Dalam salah satu tweetnya, Byer mengemukakan bahwa hanya dari sepersepuluh investasi Erick ke DC United dan 76ers, dia bisa membantu sistem pembinaan pesepakbola Indonesia. Byer bahkan menjamin bahwa dengan kucuran dana tersebut Indonesia dapat menjadi peserta Piala Dunia U-17.

Walaupun demikian, Byer memahami bahwa investasi pada pembinaan usia muda sepakbola tidaklah menarik dari sisi komersial, dan hasil yang akan didapatkannya juga tidak akan instan. Well, business is business.

No comments:

Post a Comment