Pages

Thursday, March 29, 2012

UEFA Europa League, si anak tiri yang siap mencuri perhatian

Mari sekilas flashback ke tahun 90an, lalu lihat liga Eropa mana yang paling banyak dibicarakan oleh banyak orang saat itu. Jawabannya pasti Liga Italia Seri a. Liga yang pada tahun 90an dipandang sebagai liga terbaik dunia ini kini berada sungguh bertolak belakang dibanding masa keemasannya. Mereka mencoba bangkit dari ketertinggalannya atas English Premier League (EPL), La Liga, dan sekarang Bundesliga. Adalah tugas AC Milan, Juventus, Inter Milan, Napoli, Udinese, Roma dan Lazio sebagai lo sette magnifico untuk mengembalikan Seri a ketempat terhormatnya.

Di era 90an kita sama-sama mengetahui bahwa lo sette magnifico diisi Parma dan Fiorentina sebagai refleksi Napoli dan Udinese masa kini. Pada masa itu, Seri a memang menjadi tujuan utama para bintang dunia. Juventus adalah klub yang mengirim Zinedine Zidane ke planet lain. Di Juve, Zidane menjelma menjadi pemain terbaik yang seolah bukan penduduk bumi.

Milan juga memiliki pemain sekaliber il Genio Dejan Savicevic, yang mampu membawa Milan "melabrak" Barcelona di final Liga Champions 1993/1994 empat gol tanpa balas. Bukan cuma mereka saja, kita semua tahu bahwa Lazio menjuarai Piala Winners terakhir pada tahun 1996/1997, Inter menjadi finalis Piala UEFA 1995/1996, belum lagi kiprah Parma yang dua kali meraih gelar di ajang yang sama. Mereka sangat respek pada kompetisi Eropa, apapun kastanya.

Giuseppe Signori-Pierluigi Casiraghi di Lazio, Manuel Rui Costa-Gabriel Batistuta di Fiorentina, Hernan Crespo-Enrico Chiesa di Parma, Ivan Zamorano-Ronaldo di Inter, Abel Balbo-Daniel Fonseca di Roma melengkapi nama-nama besar lainnya adalah pelaku langsung dari masa keemasan Seri a.

Kini, Seri a seolah-olah raksasa yang tertidur pulas. Inter memang menjadi juara Liga Champions 2 tahun lalu, Milan juga meraihnya di 2006/2007, tapi hanya sebatas itulah pencapaian terbaik klub-klub Seri a sepanjang empat tahun kebelakang, yang menjadi basis bagi UEFA untuk menghitung koefisien negara, yang menjadi legitimasi keikutsertaan wakil-wakil mereka di kompetisi terakbar benua biru ini. Jika dibandingkan dengan wakil dari Bundesliga, prestasi klub Seri a memang kalah di lima tahun belakangan ini.

Bayern Muenchen memang takluk ditangan Inter Milan pada final Liga Champions 2009/2010, namun wakil-wakil Bundesliga di Liga Europa berprestasi jauh lebih baik. Klub-klub seperti Werder Bremen, Vfb Stuttgart, Hamburger SV maupun Schalke lebih menghargai kompetisi ini ketimbang klub-klub Seri a. Hal inilah yang membuat Bundesliga perlahan namun pasti mendongkel Seri a di peringkat koefisien.

Europa League. Itulah jawaban atas kudeta Bundesliga terhadap Seri a di peringkat koefisien yang dirilis UEFA. Klub-klub Bundesliga memang lebih memandang kompetisi kelas dua Eropa ini dengan sepantasnya. Contoh nyata tersaji di musim 2009/2010. Saat itu Hamburger SV, Werder Bremen dan Vfl Wolfsburg masih gagah sebagai wakil Jerman untuk bertarung di Liga Europa.

Saya akan coba jabarkan penghitungan peringkat koefisien UEFA, yang berlaku di kompetisi Liga Champion dan Liga Europa secara garis bersar.
1. Dua poin diberikan atas setiap kemenangan, dan satu poin setiap draw.
2. Bonus poin untuk klub yang lolos ke penyisihan grup Liga Champions (4 poin).
3. Lolos ke babak knock-out Liga Champions (5 poin).
4. Lolos ke babak perempat final, semi final dan final kompetisi baik Liga Champions maupun Liga Europa.

Dapat dilihat bahwa Liga Champions memang menawarkan lebih banyak poin, namun Liga Europa juga demikian. Dua poin setiap kemenangan, satu poin setiap hasil imbang, dan satu poin bonus setiap kelolosan dimulai dari babak 8 besar membuat Liga Europa turut memegang kunci dalam penentuan peringkat koefisien UEFA.

Sementara Italia saat itu hanya menyisakan Juventus, namun kemudian Juve tersungkur ditangan Fulham. Dari 3 wakil Italia yang mengikuti Europa League sejak fase grup, hanya Roma yang lolos ke babak 32 besar, itupun langsung keok ditangan Standard Liege. Sementara Lazio dan Genoa sudah kandas di penyisihan grup.

Saat itu Hamburg dan Wolfsburg maju hingga ke delapan besar. Hamburg bertahan hingga semifinal sebelum dihentikan Fulham, yang menjadi kuda hitam saat itu sebelum ditaklukkan Atletico Madrid di partai final.

Italia memang harus memberi respek lebih pada kompetisi ini, bukan hanya sekedar mengejar posisi tinggi di Seri a untuk meloloskan mereka ke Liga Champions. Kurang respeknya wakil mereka makin nyata terlihat di musim lalu dimana mereka hanya menyisakan Napoli di babak 32 besar, itupun langsung tumbang ditangan Villareal. Kurang seriusnya Napoli sudah terlihat di babak penyisihan saat mereka mencadangkan Marek Hamsik, Edinson Cavani dan Ezequiel Lavezzi yang berakibat dibantainya mereka oleh Steaua Bucaresti tiga gol tanpa balas.

Napoli memang berhasil menempati posisi keempat Seri a musim lalu yang meloloskan mereka ke Play-off Liga Champions, namun lihatlah akibatnya pada Seri a. Mereka resmi terkudeta oleh Bundesliga, yang berarti mulai musim ini Seri a hanya boleh mengirim maksimal 3 wakil ke fase grup Liga Champions.

Jika Seri a ingin mengembalikan martabatnya, serta menarik minat lebih banyak pemain bintang dunia, maka klub-klub mereka harus mulai kembali menapaktilasi the 90's magnificent seven. Respect every single game. Tahun inipun penyakit klub-klub mereka belum sembuh. Udinese resmi tersungkur setelah dikandaskan AZ Alkmaar di babak 16 besar UEFA Europa League. Jerman? Merka masih punya Hannover 96 dan Schalke 04 disini, plus Bayern Muenchen di Liga Champions. Kini AC Milan menjadi harapan tunggal Seri a dalam mendulang poin di papan klasemen koefisien UEFA, itupun jika mereka mampu menyingkirkan tim super Barcelona.

Europa League kini memberi jawaban mengapa mereka tidak bisa lagi disepelekan. Kompetisi ini siap berjalan sejajar dengan saudara mereka, UEFA Champions League.

No comments:

Post a Comment