Pages

Tuesday, March 20, 2012

Harusnya Sepak Bola Tidak Membunuh Pemainnya

Dari tujuh miliar populasi dunia saat ini, situs sportbusiness.com mengungkapkan bahwa final Piala Dunia 2010 antara Spanyol melawan Belanda disaksikan oleh lebih dari 700 juta orang dari layar kaca. Dapat dikatakan bahwa 1 dari 10 penduduk dunia ini menyaksikan final kejuaraan sepak bola terakbar dunia tersebut.

Dua negara kontestan yaitu Spanyol dan Belanda masing-masing memiliki 15,6 juta dan 12,2 juta penonton, yang berarti sepertiga dan setengah dari warga kedua negara tersebut menyaksikan partai yang dimenangi Spanyol ini melalui layar kaca.

Fakta tersebut hanya sedikit dari fakta bahwa sepak bola adalah olahraga paling digemari di dunia. Apapun yang terjadi di dunia si kulit bundar tidak akan luput dari perhatian warga bumi.

Sepak bola kini bukan menjadi olahraga semata. Kecintaan publik terhadap olahraga ini menjadikannya bisnis yang sangat menguntungkan. Lihat saja penerimaan klub terkaya dunia Real Madrid yang menurut Deloitte mencapai 436.8 juta euro pada musim 2009/2010 lalu.

Perputaran masif uang di dunia sepak bola tidak juga dipandang sebelah mata oleh kalangan politisi Tidak hanya di Indonesia, di belahan dunia mana pun sepak bola juga menarik para elite politik. Dari zaman diktator fasis Benito Mussolini yang mengancam akan melemparkan pemain Italia ke Colloseum untuk bertarung sebagai gladiator jika mereka kalah di final Piala Dunia 1934, hingga seorang raja media bernama Silvio Berlusconi yang melapangkan jalannya menjadi Perdana Menteri Italia setelah berjaya di klub AC Milan menunjukkan bahwa sepak bola telah menjadi bagian besar dari sejarah dunia.

Industrialisasi sepak bola yang sangat kental di Eropa dimulai saat digelarnya Liga Champions untuk menggantikan Piala Champions. Lennart Johansson, Presiden UEFA kala itu di tahun 1992 membuat terobosan untuk merubah format kejuaraan antar klub terbesar Eropa tersebut.

Jika semula Piala Champions hanya diikuti oleh juara liga domestik saja dan berformat sistem gugur, kali ini UEFA mengizinkan negara-negara berperingkat koefisien tinggi untuk mengirimkan lebih banyak wakilnya. Imbasnya, pertandingan yang digelar menjadi semakin banyak, yang tentu saja membuat perputaran uang menjadi semakin menggila.

Kalender pemain makin padat jika menghitung tambahan uji coba internasional, kejuaraan antar negara, Piala Konfederasi, dan Piala Dunia antar klub yang diperbaharui formatnya. Pemain menjadi tak ubahnya sapi perah.

Meningkatnya frekuensi pertandingan membuat klub bermain lebih banyak, otomatis para pemain yang terkena imbas langsung, karena merekalah pelaku sepak bola sebenarnya di lapangan. Gaji mereka memang besar, namun fisik mereka terkuras luar biasa.

Contohnya, pemain seperti Wesley Sneijder di tahun 2010 memainkan lebih dari 60 pertandingan semusim, karena selain bermain di kompetisi domestik, klubnya yaitu Inter Milan juga melaju hingga partai puncak Liga Champions, plus keikutsertaannya hingga final Piala Dunia 2010 bersama Belanda.

Sejak saat itu, performa Sneijder menurun karena faktor kelelahan dan cedera. Banyak pula Sneijder-Sneijder lain yang menurun performanya karena terlalu dieksploitasi tenaganya. Pemain muda Arsenal Jack Wilshere juga hingga kini mengalami cedera panjang akibat terlalu dipaksakan bermain musim lalu.

Namun, satu hal yang lebih mengkhawatirkan daripada sekadar penurunan performa dan cedera adalah nyawa pemain itu sendiri. Saya sedih mendengar kabar Fabrice Muamba terkena serangan jantung pada partai Piala FA akhir pekan lalu, yang masih membuatnya kritis.

Mari kita tengok berapa pemain yang kehilangan nyawanya di lapangan hijau. Sejak awal tahun 1900, 79 pemain kehilangan nyawanya di lapangan, baik di pertandingan resmi maupun pada waktu latihan, baik terkena serangan jantung maupun menjadi korban insiden tersambar petir atau akibat benturan keras dengan pemain lain.

Dari 79 tragedi pejuang yang tercatat meninggal di lapangan tersebut, 50 tragedi di antaranya terjadi di atas tahun 1990 hingga sekarang. Angka ini berarti setengah dari korban jiwa jatuh dalam dua dasawarsa terakhir, yang menunjukkan bahwa jumlah pemain yang meninggal di lapangan semakin meningkat.

Saya tidak tahu pasti mengenai validitas data, bisa saja total 79 pemain itu hanyalah yang tercatat resmi , sementara masih banyak yang mungkin tidak tercatat.

Belum lagi kejadian yang terjadi di pertandingan tidak resmi, seperti yang menimpa beberapa selebriti tanah air yaitu almarhum Benyamin S. dan almarhum Adjie Massaid yang meninggal dunia setelah bermain sepak bola.

Belum cukup, saya juga beberapa kali mendengar kisah memilukan dari lapangan hijau dari kenalan-kenalan saya. Anda juga mungkin pernah mendengarnya dari kenalan-kenalan Anda.

Saya bukan seorang yang ahli di bidang kesehatan, namun dari data di atas dapat kita lihat bahwa sepak bola adalah olahraga yang berisiko tinggi dan berkategori olahraga berat. Sepak bola hanya layak dimainkan oleh orang yang sehat.

Dampak kematian akibat memainkan olahraga ini menunjukkan bahwa olahraga ini berisiko menyerang organ vital tubuh dan berakibat kematian. Padahal, pemain sepak bola profesional terbiasa hidup sehat, banyak berlatih dan asupan gizinya cukup. Jika kontrol klub akan kesehatan pemainnya sudah relatif baik, mungkin di sistem sepak bola itu sendirilah ada yang salah.

Frekuensi pertandingan yang tinggi, tekanan dari pihak klub tempat bermain, maupun tekanan dari supporter membuat pemain menjadi tertekan. Di era yang mengutamakan hasil akhir ini, para pemain seolah diwajibkan untuk berusaha lebih keras di lapangan, bahkan hingga mati di lapangan.

Padahal, hidup sang pemain sendiri bukanlah melulu tentang sepak bola. Pemain juga punya keluarga yang bergantung pada mereka. Kita harus melihat lebih dalam bahwa nyawa manusia lebih berharga dibandingkan dengan sepak bola itu sendiri.

Haruskah industri sepak bola terus menutup mata terhadap keselamatan para pelakunya? Haruskah FIFA dan badan-badan yang bernaung di bawahnya terus mengeksploitasi tenaga pemain tanpa batas?

Cepat sembuh, Fabrice Muamba. #prayformuamba

No comments:

Post a Comment