Pages

Tuesday, March 6, 2012

Rumah Sepakbola

Masih segar dalam ingatan kita saat seorang pemain yang saat itu kurang terkenal bernama Fabio Grosso melangkah maju menghadapi seorang kiper berpengalaman bernama Fabien Barthez dalam sebuah tendangan penalti. Grosso melangkah mantap lalu menendang dengan keras kearah kiri Barthez tanpa mampu dihalaunya. Selebrasi lalu menggema dan mencapai puncaknya saat kapten Fabio Cannavaro mengangkat trofi Piala Dunia. Cuplikan tersebut adalah saat-saat tim nasional Italia menjuarai Piala Dunia tahun 2006 setelah mengalahkan Perancis dalam drama adu penalti.

Banyak pula yang tahu bahwa pada tahun yang sama, kompetisi seri a Italia diguncang skandal pengaturan skor yang masif, terkenal dengan sebutan calciopoli. Saat itu, gelar juara yang disandang Juventus selama dua musim beruntun dicabut. Para pelaku kejahatan tersebut dihukum berat. Banyak yang beranggapan sepakbola Italia saat itu mencapai titik nadir, dan kesebelasan mereka mengikuti Piala Dunia 2006 tepat setelah "musim beracun" itu berakhir.

Tidak ada yang menyangka Italia mampu berbicara banyak di Piala Dunia setelah kondisi mengenaskan menimpa kompetisi tertinggi mereka. Tapi apa yang terjadi? Cobaan yang mereka terima justru membuat timnas Azzuri tampil bak singa terluka. Mereka bertarung dengan cerdas dan berani sehingga mampu meraih gelar Piala Dunia keempat mereka. Perolehan tertinggi kedua setelah Brasil yang sudah lima kali merebut supremasi tertinggi sepakbola dunia tersebut.

"What doesn't kill you makes you stronger." Kita sering mendengar ungkapan tersebut. Kesebelasan Italia di Piala Dunia 2006 menggambarkan situasi tersebut. Sepakbola Italia dihajar dan degerogoti oleh anak bangsanya sendiri, namun hal itu nyatanya tidak membunuh mereka. Mereka menjawab segala tudingan dengan cara paling elegan yaitu dengan menjuarai Piala Dunia. Hal ini juga mengulangi cerita Piala Dunia 1982 dimana Italia menjuarai turnamen yang diselenggarakan di Spanyol tersebut setelah pemain-pemain mereka diguncang skandal suap.

Rangkaian kejadian ini mengingatkan saya pada sepakbola Indonesia. Bedanya, segala kisruh sepakbola kita justru bukannya membuat tim nasional kita berjaya, tapi justru luluh lantak di kualifikasi Piala Dunia, dan mencapai titik terendahnya dengan kekalahan sepuluh gol tanpa balas dari Bahrain. Kekalahan terburuk sepanjang sejarah timnas.

Kita memang tidak bisa menyamakan diri dengan bangsa Italia. Bangsa mereka memang sudah maju sejak dulu zaman kekaisaran romawi. Mereka bisa langsung mengambil sikap yang tepat untuk segera bangkit dari keterpurukan. Konflik yang dihadapi merekapun berbeda dengan yang tengah kita hadapi sekarang.

"Indonesian Football is a sleeping Giant, I hope someday will awaken. It's a shame, all the money goes to the top, little at the bottom." Begitulah kata seorang Tom Byer dalam twitnya tentang sepakbola Indonesia dan pengurus-pengurusnya. Banyak pihak yang memang terus menidurkan sepakbola Indonesia demi terpenuhinya kepentingan-kepentingan mereka. "They don't want to invest on youth, they only want to own ISL and IPL." Lanjutnya.

Ternyata banyak pihak disini yang memang hanya mencari keuntungan semata tanpa berdedikasi untuk membangun sepakbola Indonesia. Pembinaan pemain muda memang gak memberi mereka keuntungan besar layaknya mengurusi kompetisi tertinggi, tapi ini adalah embrio kesuksesan di masa depan. Tom Byer menciptakan terobosan-terobosan yang mengesankan di dunia pengembangan pemain muda, yang terbukti hasilnya di Jepang. Sekarang dunia mengakui kualitas pemain-pemain seperti Shinji Kagawa, Keisuke Honda atau Ryo Miyaichi. Mereka adalah hasil dari program Tom Byer, yang tentunya juga berhasil membawa Jepang tampil reguler di Piala Dunia.

Namun segala pembinaan tersebut tentu saja butuh investasi yang mahal. Lalu dengan CV-nya yang mentereng itu, Tom Byer datang mengetuk para calon investor Indonesia. Apa yang dikatakan oleh para calon investor itu? "Tom, kami ingin sukses yang instan, dan program pembinaan Anda tidak profitable buat kami. Lebih baik kami invest ke kompetisi ISL atau IPL saja."

Kita semua tahu kalau sepakbola ibarat sebuah rumah. Jika tim nasional adalah atap, kompetisi adalah bangunan, dan pembinaan pemain muda adalah fondasi, serta PSSI adalah arsitek bangunannya sudah jelas kita keropos di fondasi dan bangunannya. Tidak ada rumah yang mampu berdiri tanpa fondasi yang kokoh, bangunan yang sesuai dan arsitek yang handal. Jadi, untuk saat ini beginilah "rumah sepakbola" kita. Silahkan menilai sendiri bagaimana kedepannya.

Bangkitlah sepakbola Indonesia!
@aditchenko

No comments:

Post a Comment