Kalau Anda mencintai sepakbola Indonesia, mestinya Anda tidak mendukung Liga Primer Indonesia dan Liga Super Indonesia.
Siapa yang tak cinta Timnas Sepakbola Indonesia? Anda, saya dan kita semua, saya kira mencintai Timnas. Antusiasme sebagian besar orang Indonesia dan luapan penonton di Senayan saat Timnas berlaga di final Piala AFF Suzuki 2010 adalah salah satu bukti, bahwa sebagian besar dari kita mencintai Timnas. Sebagian di antara kita, mungkin malah bermimpi, Timnas bisa berlaga di Piala Dunia.
Tapi menyertai semua semangat dan mimpi itu, ada isu yang tertendang ke gawang publik: gonjang-ganjing pelaksanaan Liga Primer Indonesia. PSSI menganggap pergelaran liga itu ilegal, karena katanya tidak direstui FIFA, AFC dan tentu saja oleh PSSI. Tendangan selanjutnya adalah teriakan-teriakan, agar Ketua Umum PSSI Nurdin Halid mundur dari jabatannya, dan kabar tentang Irfan Bachdim pemain Persema Malang yang konon akan berlaga di Liga Primer.
Lalu benarkah semua tendangan “bola” itu hanya akan berhenti pada persoalan Liga Primer, Liga Super, Nurdin dan PSSI, atau itukah arena lain dendam kesumat dari Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie?
Faktor Sudharmono dan Ginanjar
Arifin Panigoro dan Aburizal Bakrie alias Ical adalah dua pengusaha yang tumbuh besar sejak Soeharto membentuk Tim Keppres 10, 23 Januari 1980. Tim itu diketuai oleh mendiang Sudharmono dan Ginanjar Kartasasmita duduk sebagai salah satu anggota tim. Oleh Soeharto pembentukan tim itu dimaksudkan untuk menumbuhkan pengusaha pribumi dengan antara lain mengalokasikan sejumlah proyek nondepartemen bernilai di atas Rp 500 juta. Sekretariat Negara di bawah Sudharmono lantas ditunjuk sebagai penanggungjawab keberhasilan program tersebut.
Lewat tim itulah sejumlah pengusaha muda pribumi kemudian banyak mendapat prioritas. Ical, Arifin Jusuf Kalla, Iman Taufik, Fadel Muhammad, dan Agus Kartasasmita adalah beberapa pengusaha yang banyak “berhubungan” dengan Tim Keppres 10.
Hubungan mereka dengan Sudharmono dan Ginanjar, sejak itu lantas menjadi seperti hubungan bapak-anak. Sudharmono mengenal mereka sebagai pengusaha-pengusaha pribumi yang profesional, sementara para pengusaha itu menganggap Sudharmono sebagai tokoh yang bersih, kendati loyal kepada Soeharto dan berada di lingkaran kekuasaan. Kini, dua dari pengusaha yang disusui oleh Orde Baru itu yakni Ical dan Arifin terlibat perseteruan panjang.
Arifin adalah salah satu raja minyak yang cukup terkenal terutama sejak reformasi dan Ical adalah salah satu orang terkaya di Indonesia. Arifin pemilik kerajaan bisnis Grup Medco dan Ical pemilik kerajaan bisnis Grup Bakrie. November tahun lalu, Arifin gagal menjual salah satu anak bisnisnya ke Pertamina karena [terutama] Golkar yang dikendalikan Ical menjegal rencana penjualan itu melalui orang-orangnya di Senayan. Tapi itu hanya titik kecil dari perseteruan keduanya.
Sebagian orang tahu, Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie sudah saling meradang sejak kedua keluarga itu tidak bersepakat soal tanggungjawab dalam kasus luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Medco E&P Brantas anak perusahaan dari PT MedcoEnergi, dulu memang pernah menjadi peserta [participating interest] eksplorasi dan pengeboran Lapindo.
Perusahaan itu mengantongi 32 persen saham di PT Energi Mega Persada Tbk. Nama yang disebut terakhir adalah salah satu sayap bisnis Grup Bakrie dan pemilik Lapindo Brantas Inc. perusahaan kontraktor kontrak kerjasama yang ditunjuk BP Migas melakukan pengeboran minyak dan gas bumi di tepi Sungai Brantas. Tapi entah kenapa, Medco kemudian menarik diri setelah bencana lumpur itu menyebur di Sidoarjo, 29 Mei 2006.
Akibat sikap Medco [Arifin] itu, Nirwan Bakrie [adik Ical] CEO Lapindo Brantas Inc. konon berang. Nirwan bahkan disebut-sebut sempat mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh kepada Hilmi Panigoro, adik Arifin. Sejak itu hubungan dua keluarga pengusaha itu, dikabarkan terus memburuk. Apalagi hingga sekarang, Grup Bakrie yang harus menanggung sendiri semua risiko akibat luapan lumpur Lapindo itu.
Arifin yang sudah “keluar” dari dunia politik [baca dari PDIP] kemudian seperti menyepi. Nyaris tidak ada suaranya, meski dia tentu saja masih ikut mengendalikan dari balik layar sejumlah manuver politik. Adapun Ical, terus moncer dan sebagian orang, kini menyebutnya sebagai “the real president.”
Liga Primer dan Liga Super
Hubungan dua keluarga pengusaha itu semakin renggang, ketika Sri Mulyani Indrawati sering bertabrakan dengan Ical ketika keduanya masih menjadi menteri di kabinet pemerintahan SBY-JK. Sri Mulyani, sejauh ini memang dikenal “lebih dekat” ke Arifin ketimbang misalnya ke Ical. Beberapa keputusan Sri Mulyani sebagai menteri keuangan, antara lain untuk kasus saham PT Bumi Resources Tbk. awal November 2008, lalu dituding oleh kelompok Ical, sebagai bagian dari manuver Arifin. Sebuah tudingan yang niscaya dianggap lelucon oleh Arifin dan juga Sri Mulyani.
Kini, hubungan dua keluarga pengusaha superkaya itu tampak seperti tak bisa direkatkan, setelah Arifin dkk. membiayai penyelenggaraan Liga Primer. Hak siar kompetisi ini, dikabarkan dikantongi oleh stasiun televisi Indosiar [Grup Salim], sementara hak siar Liga Super [tentu saja] dipegang stasiun ANTV [Grup Bakrie].
Tentu saja Liga Super bukan sekadar sebuah kompetisi sepakbola yang dimasudkan untuk “menantang” Liga Super yang digelar oleh PSSI. Tak pula ditujukan untuk misalnya, memberikan kebebasan kepada pemain sepakbola memilih arena bertanding yang mereka sukai, seperti wartawan yang bebas memilih induk organisasi profesi.
Liga Primer seharusnya juga dibaca sebagai mesiu politik yang lain dari Arifin yang diarahkan kepada Ical. Tidakkah Nirwan Bakrie adalah Wakil Ketua Umum PSSI?
Keluarga Bakrie katanya, penggila olahraga. Ical dikenal sebagai jago tenis, dan Nirwan walaupun tidak bisa bermain sepakbola, dikenal sebagai penggila olahraga paling popular di dunia itu. Keluarga Bakrie [tentu saja melalui kelompok bisnisnya] bahkan dilaporkan telah mengakuisisi 20 persen saham klub sepakbola Leicester Inggris. Keluarga itu, disebut-sebut telah memberikan hadiah Rp 3 miliar kepada pemain Timnas. Konon pula, sejumlah pemain sepakbola PSSI telah disekolahkan ke Uruguay dengan dukungan dana sepenunya dari Keluarga Bakrie.
Bagaimana dengan Nurdin? Ketua Umum PSSI itu suatu hari pernah berkata: "Keberhasilan Timnas [di ajang AFF] adalah berkat pengorbanan besar keluarga Bakrie, terutama Nirwan."
Benar, Nurdin memang orang dekat Keluarga Bakrie. Selain sebagai Ketua Umum PSSI, dia dikenal pula sebagai politisi Partai Golkar dan Ketua Dewan Koperasi Indonesia alias Dekopin. Tahun 2009, dia terpilih sebagai ketua Dekopin menyusul rekonsiliasi faksi-faksi di organisasi koperasi itu yang difasilitasi oleh Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan [Partai Demokrat].
Dia pula pernah menjadi narapidana dalam kasus korupsi. Nama Nurdin juga disebut-sebut oleh Hamka Yamdu [salah satu terpidana dalam kasus suap pemilihan Miranda Goeltom sebagai deputi gubernur senior BI] ikut menerima cek perjalanan sebanyak 10 lembar dengan nilai total Rp 500 juta. Hamka mengungkapkan keterlibatan Nurdin, ketika dia memberikan keterangan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 27 April lalu.
Tiga serangkai orang Bakrie
Nurdin, Nirwan dan Andi Darussalam Tabusalla adalah Tiga Serangkai yang tidak terpisahkan di PSSI: Nurdin ketua, Nirwan wakil, dan Andi Direktur Badan Liga Indonesia. Orang penting lainnya di PSSI adalah Berhard Limbong [Ketua Induk Koperasi Angkatan Darat atau Inkopad] dan Ibnu Munzir [Wakil Ketua Fraksi Golkar di DPR].
September tahun lalu, Andi pernah menantang Arifin Panigoro. Kata Andi, kalau Arifin membuktikan janji menyuntikkan dana Rp 540 miliar kepada 18 klub peserta Liga Super Indonesia, dia akan menyerahkan jabatannya sebagai direktur penyelenggaran liga di Indonesia kepada Arifin. “Tolong sampaikan kepada Pak Arifin, silakan kucurkan uang itu ke Escrow Account masing-masing klub, maka pengelolaan BLI akan kami serahkan kepada beliau. Tak perlu repot-repot membuat kompetisi tandingan,” begitulah kata Andi.
Sekarang, marilah tengok Liga Primer yang akan dimulai 8 Januari mendatang. Penyelanggara liga ini dikabarkan juga telah mendekati PT Djarum, produsen rokok yang dikendalikan oleh Keluarga Hartono [pemilik BCA]. Djarum sejauh ini dikenal sebagai penyokong utama Liga Super [PSSI] dan disebut-sebut telah menghabiskan sekitar US $ 5 juta per tahun untuk kompetesi Liga Super.
Sudah ada 19 klub yang akan berlaga di liga tersebut. Yaitu Aceh United, Bali De Vata, Bandung FC, Batavia Union, Bogor Raya, Cendrawasih Papua, Jakarta 1928, Kabau Padang, Ksatria XI Solo, PSM Makassar, Manado United, Medan Chiefs, Medan Bintang, Persebaya, Persema, Persibo [Bojonegoro], Real Mataram, Semarang United dan Tangerang Wolves.
Pemilik klub [politik] sepakbola
Persema, klub tempat Irfan Bachdim bermain, sebelumnya dimiliki oleh PT Bentoel Investama. Klub ini sempat diambilalih oleh Peter Sondakh dan kini dikendalikan oleh Walikota Malang, Peni Suparto [politisi PDI-P].
Lalu Persibo Bojonegoro diketuai oleh Suyoto, Bupati Bojonegoro, yang juga ketua Partai Amanat Nasional Jawa Timur. Semarang United dikendalikan oleh Kukrit Suryo Wicaksono, CEO Grup Suara Merdeka, kelompok media terbesar di Jawa Tengah. Lalu PSM Makassar dikuasai oleh Ilham Arief Sirajuddin, Ketua Partai Demokrat Sulawesi Selatan.
Adapun Arifin, tahun lalu telah mengakuisisi PT Pengelola Persebaya Indonesia, pemilik klub sepakbola Persebaya Surabaya, Jawa Timur tahun lalu. Konon, PT Pengelola Persebaya berniat menyediakan Rp75 miliar untuk Persebaya.
Jadi ke mana sebetulnya olahraga sepakbola Indonesia akan dibawa oleh [untuk sementara] Keluarga Bakrie dan Keluarga Arifin? Mengapa misalnya, mereka tidak memilih arena lain untuk saling menembakkan senjata kepentingan politik mereka ketimbang merusak semangat dan antusiasme sebagian besar dari orang Indonesia yang mencintai dan mendukung Timnas?
Benar, olahraga sepakbola di dunia adakalanya tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Tapi yang dipertontonkan oleh Keluarga Arifin dan Keluarga Bakrie dalam olahraga sepakbola Indonesia belakangan ini, sungguh sudah tidak menarik karena yang terbaca kemudian adalah mereka hanya meneruskan perseteruan pribadi menjadi perseteruan publik.
Nafsu dan kepentingan politik mereka, apa boleh harus disebut menjijikkan. Padahal kalau mereka mau, mereka bisa membesarkan olahraga sepakbola bersama-sama. Tanpa kepentingan apapun hingga mimpi sebagian besar dari kita untuk menempatkan Timnas di Piala Dunia menjadi kenyataan.