Pages

Monday, August 6, 2012

Poros BRIC dan Sepak Bola: India dan Cina



Cina dan India adalah dua negara Asia yang akan segera menggeser kiblat perekonomian dari dunia barat. Dengan potensi berupa penduduk yang jumlahnya miliaran –terbanyak pertama dan kedua di dunia- mereka akan menjadi raja perekonomian dunia tidak lama lagi. Hal ini tentu erat hubungannya dengan sepak bola, yang turut terpengaruh dengan segala kemajuan tersebut.

Made in India

Sebagai negara dengan perekonomian yang tengah meningkat pesat dan terkenal sangat bangga menggunakan produksi dalam negeri Made in India, negara ini sekarang tidak sekadar hanya ingin menjadi penonton dalam dunia internasional, khususnya di dunia olahraga. Jika sebelumnya mereka hanya memiliki kriket sebagai “agama” mereka, kini mereka mulai melirik olahraga paling populer sejagat, sepak bola.

Jika berbicara tentang India, yang sering kita dengar adalah industri film mereka yaitu Bollywood yang kian serius penggarapannya demi menghasilkan film-film bermutu, yang kini lebih dari sekadar kejar-kejaran dan ngumpet di pohon. Selain Bollywood, India lebih dikenal sebagai negara yang memainkan olahraga “asing” yaitu kriket. Olahraga kriket dimainkan nyaris oleh seluruh pemuda India. Siaran langsung maupun highlight yang terus menerus dijejalkan oleh media makin mendoktrin orang India untuk terus menonton kriket, sekaligus mendarahdagingkan olahraga ini.

Fakta tersebut membuat sepak bola sulit berkembang. Bagaimana mau berkembang jika olahraga yang sebenarnya merupakan pertemuan komunal ini terus disesaki oleh olahraga lainnya yang juga menghimpun komunitas besar macam kriket. Sebagai contoh sederhana, lapangan yang semula diperuntukkan untuk bermain sepak bola, selalu dijadikan lapangan kriket. Sepak bola disuruh mengalah dan anak-anak yang sebelumnya menggilai sepak bola akan terpaksa beralih hobi ke permainan kriket.

Stagnansi persepakbolaan ini bukannya didiamkan saja oleh semua kalangan. Penyelenggaraan I-League atau Indian Football Premier League sejak tahun 2007 membawa hasil menggembirakan dengan kelolosan India ke Piala Asia 2011, ajang dimana Indonesia absen sebagai partisipan. Walaupun selalu kalah dalam tiga partai penyisihan grup, namun hal ini turut menggairahkan persepak bolaan negara berpenduduk satu miliar jiwa ini.

Belum berhenti disitu saja, kapten mereka yaitu Sunil Chhetri ditarik oleh klub Major League Soccer, yaitu Sporting Kansas City. Perkembangan belakangan, pemain berusia 27 tahun ini kini bermain untuk tim B Sporting Lisbon. Selain Chhetri, dua pemain nasional India mengikuti trial di klub eropa. Subrata Pal mengikuti trial di Red Bull Leipzig, dan Gurpreet Singh Sandhu sedang mengikuti trial bersama klub English Premier League, Wigan Athletic.

Namun demikian, keberadaan India Football Premier Leagua (I-League) sebagai liga sepak bola profesional India dianggap kurang memadai untuk memajukan sepak bola India, khususnya tim nasionalnya. Sebagai parameter, rataan penonton yang berkisar hanya dibawah 5000an cukup jelas menggambarkan bahwa sepak bola adalah olahraga yang terisolasi ditengah kepadatan penduduk India. Sebuah realita paradoks yang sayangnya membuat sepak bola harus mengaku kalah sementara ini.

Euforia tim nasional seklaigus kurang mulusnya perjalanan I-League ini dimanfaatkan oleh sebuah badan investor. Salah satu investor dalam negeri mereka yaitu Celebrity Management Group (CMG) kemudian melakukan kerjasama dalam bentuk joint venture dengan Asosiasi Sepak bola India. CMG menginisiasi pembentukan Premiere League Soccer (PLS), sebuah kompetisi berbasis di West Bengal –negara bagian yang dianggap memiliki fanbase sepak bola terkuat di India- yang turut mendatangkan pemain veteran bereputasi dunia. Fabio Cannavaro, Robert Pires, Robbie Fowler, Jayjay Okocha, Juan Pablo Sorin, dan Hernan Crespo didatangkan untuk mengikuti kompetisi beranggotakan 6 tim dimana masing-masing tim mendapatkan satu orang pemain.

Namun tanpa berita yang jelas, kompetisi yang semula akan bergulir hanya 10 pekan –dari Februari hingga April 2012- tidak ada kejelasannya. Berita yang beredar mengatakan bahwa kesulitan infrastruktur membuat kompetisi ini gagal digelar. Terlihat jelas bahwa perencanaan yang kurang matang akan mengakibatkan sebuah proyek besar yang semula digaungkan untuk meningkatkan popularitas sepak bola ini mentah. Ketersediaan infrastruktur yang memadai, keberadaan fans dan kultur yang kuat adalah hal mutlak dalam sepak bola.

Rasanya, sepak bola terus di nina bobokan di negeri yang kaya budaya ini.
 

Once Upon a Time in China

Sebagai negara yang hanya tinggal menunggu waktu untuk menguasai perekonomian dunia, Cina ironisnya masih memiliki kekeringan prestasi pada olahraga terpopuler di dunia bernama sepak bola. Terakhir mengikuti Piala Dunia 2002, mereka hingga kini belum kembali ke ajang terbesar sepak bola itu dan malah bergelut dengan berbagai skandal dan korupsi di sepak bola dalam negeri mereka.

Skandal terkenal “Chip-shot gate” sudah cukup mencoreng persepak bolaan negeri tirai bambu itu. Skandal yang melibatkan sebuah kub Divisi dua Liga Cina ini menggambarkan kejadian memalukan sekaligus menggelikan, mungkin terparah sepanjang sejarah sepak bola.

Saat itu memasuki menit 90, tim Qingdao Hailifeng FC bertanding lawan Sichuan FC. Skor masih 0-3 untuk Sichuan, namun tiba-tiba asisten pelatih Qingdao memberi instruksi kepada pemainnya untuk membuat gol bunuh diri. Sang pemain belakang mencoba melakukan back pass melambung hingga melampaui kepala penjaga gawang, namun bola urung masuk ke gawangnya sendiri.

Setelah diusut, ternyata bos dari klub memang bertaruh bahwa klubnya akan menyerah 0-4. Sang bos marah besar kepada anak asuhannya, yang bahkan tidak bisa mengatur pertandingan.

Sikap-sikap seperti itulah yang turut menghancurkan sepak bola di negeri ini, menjadikannya titik nadir bagi persepak bolaan negeri berpenduduk paling banyak di dunia. Rangkaian kejadian semacam itu menyeret ketua federasi sepak bola negeri itu ke hukuman penjara selama 10 tahun.

Selain kecurangan dan mafia-mafia tersebut, kemunduran sepak bola di negeri ini juga disebabkan fokus badan olahraga mereka untuk menciptakan atlet-atlet nomor individu alih-alih beregu macam pesepak bola. Lapangan yang terbatas karena kurangnya lahan juga jadi permasalahan lainnya. Keseriusan pemerintah mereka terlihat dari banyaknya anak-anak yang sudah dilatih keras sejak mereka masih kecil. Tujuan mereka, apa lagi jika bukan merajai Olimpiade.

Prestise dan prestasi yang selama ini mereka raih di ajang multi-event Olimpiade membuat fokus mereka teralihkan dari sepak bola, yang hanya mendapat jatah satu medali emas saja di Olimpiade, dua jika ditambah tim sepak bola putri. Secara kultur, masyarakat Cina menyukai sepak bola, namun keadaan tidak mendukung mereka. Bagaimana dengan bola basket? Itu kan juga permainan beregu. Ya memang beregu, tapi bola basket membutuhkan lapangan yang lebih sempit, dan jumlah pemain yang lebih sedikit, makanya Cina bisa mengekspor Yao Ming ke NBA, yang hingga akhir karirnya dianggap sebagai pebasket Asia yang cukup sukses dan dihormati disana.

Yao Ming? Hmm. Itulah salah satu yang tidak dimiliki dunia sepak bola Cina. Mereka tidak punya pemain panutan yang diidolai oleh sebagian remaja layaknya Yao di dunia basket. Atau bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan, mereka kalah jauh. Jepang dan Korea memiliki pesepak bola hingga beberapa angkatan yang melanglang buana di Eropa. Jepang punya Hidetoshi Nakata dan kini Shinji Kagawa, Korea Selatan memiliki Park Ji Sung dan lainnya. Cina? Berapa banyak pemain negeri itu yang Anda kenal? Dong Fangzhuo? Hao Haidong? Li Tie? Shao Jiayi? Dimanakah mereka saat ini?

Belum lagi berbicara masalah kependudukan. Kebijakan satu keluarga satu anak disana membuat para orang tua menjadi lebih protektif terhadap anaknya. Jika memang ingin menjadikan anaknya sebagai atlet, tentu atlet olahraga perorangan yang memiliki tradisi emas Olimpiade yang menjadi pilihan, atau mendorong sang anak untuk menjadi penerus jejak Yao Ming, ketimbang menjadikan anak mereka pesepak bola, yang kurang berprospek itu.

Tapi, lihatlah keadaan sekarang.

Dua buah klub bernama Shanghai Shenhua dan Guangzhou Evergrande mencuri spot light dunia dengan menarik bintang-bintang sepak bola Eropa maupun Amerika Latin. Shenhua, yang sudah diperkuat Nicolas Anelka dan dilatih Jean Tigana, kini menarik rekan Anelka di Chelsea, Didier Drogba. Mereka bergabung bersama playmaker asal Kolombia Giovanni Moreno.

Setelah dipegang oleh miliarder pemilik perusahaan operator dan pemegang lisensi Game Online, Zhu Jun, Shenhua makin merekah sesuai arti namanya yaitu “Flower in Shanghai”. Shenhua menjadi pencipta sejarah dengan mempekerjakan dua orang asing di posisi direksi klub, yaitu Osvaldo Gimenez sebagai C.E.O. dan mantan Direktur Teknik PSV Eindhoven dan pemain nasional tim nasional Belanda, Stan Valckx untuk posisi yang sama dengan posisinya di PSV.

Sementara Evergrande kini dimiliki oleh perusahaan Evergrande Real Estate yang mengambil alih kepemilikan setelah membayar 100 juta Yuan kepada perusahaan farmasi, Guangzhou Pharmaceutical. Klub asal kota Guangzhou ini sebetulnya terdegradasi tahun 2010 akibat terlibat pengaturan pertandingan.

Kini selain dilatih Marcelo Lippi, yang membawa serta Michelangelo Rampulla sebagai pelatih kiper dan rombongan staf pelatih dari negaranya, mereka juga mendatangkan gelandang asal Argentina, Dario Conca dan juga bintang lokal Gao Lin dan Sun Xiang. Sebelum ini, Evergrande sudah diperkuat tiga legiun asing asal Brasil, salah satunya Muriqui, yang setahun sebelumnya memborong gelar topskor dan pemain terbaik Liga Super Cina. Perkembangan terakhir, striker asal Paraguay Lucas Barrios didatangkan dari Borrusia Dortmund.

Awan hitam yang menyelubungi persepak bolaan negeri pimpinan Presiden Hu Jintao ini sudah berlalu. Perbaikan ini adalah andil dari semakin majunya ekonomi Cina belakangan ini. Namun apakah berlalunya awan gelap sudah pasti menjadikan hari esok yang lebih terang bagi negeri tempat terdapatnya The Great Wall ini? Nanti dulu.

Investasi besar-besaran tentu tidak ada artinya jika bisnis yang berjalan tidak menguntungkan. Evergrande misalnya, mereka kerap membagikan 10 ribu lembar tiket kepada para pendukungnya di hari pertandingan, hanya untuk memastikan stadion mereka terisi penuh. Gaji selangit para pemain dan pelatih asing mereka tidaklah cukup untuk ditutupi dari penghasilan klub berupa pemasukan tiket, sponsor, penjualan merchandise maupun penerimaan hak siar televisi.

Bisnis sepak bola galactico ini belum sustainable bagi klub sepak bola Cina, yang pangsa pasar mereka tidaklah seluas negara dan sebanyak jumlah penduduknya. Sepak bola mereka masih berada pada tahap pengenalan kembali kepada pasar setelah kejatuhan skandal dan keringnya prestasi tim nasional yang terjadi sebelumnya. Terlalu naif jika mereka menggunakan pola pikir instan meniru klub-klub besar Eropa dan berharap memiliki pertumbuhan penerimaan seperti yang diterima oleh Real Madrid dan Barcelona.

Beberapa pihak menyatakan bahwa pembinaan pemain muda melalui akar rumput alias grassroots tetaplah lebih penting, mengingat pembentukan kompetisi dan tim nasional tangguh berasal dari sini. Namun para investor flamboyan itu tentu tidak mau menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk angkat nama melalui sepak bola. Jika berinvestasi pada pembinaan pemain muda, tentu nama mereka akan kurang nyaring terdengar, ketimbang jika mereka berinvestasi kepada klub-klub Liga Super yang gaungnya sudah terdengar kini hingga ke Eropa.

Investasi, tanpa memiliki model yang mampu membuat bisnis itu bertahan sendiri (self-sustaining) hanya akan menjadi investasi yang rapuh. Para penggemar dan pelaku sepak bola kini mungkin dapat berharap pada kemurahan hati para investor saja untuk terus menerus menginjeksi pundi-pundi kekayaannya karena ketidakmandirian para klubnya. Jika hal ini menemui kegagalan dan klub malah menjadi bangkrut, sepak bola Cina akan semakin mengalami kemunduran.  

9 comments:

  1. Jika berinvestasi pada pembinaan pemain muda, tentu nama mereka akan kurang nyaring terdengar, ketimbang jika mereka berinvestasi kepada klub-klub Liga Super yang gaungnya sudah terdengar kini hingga ke Eropa.seperti yg dikatakan tom byer kepada eric thoir seputar pembelian saham DC united :)

    ReplyDelete
  2. Betul, udah saya bahas juga di topik MLS.

    ReplyDelete
  3. Beberapa blogger India bilang problem negaranya utk bangun sport, termasuk bola, adalah minat anak muda mereka terhadap kesehatan dan fisik yg minim. Ga punya kepedulian katanya. PR bener ya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah kalo sampe begitu sih emang susah ya mas, apalagi di state macam Mumbai (gara2 nonton Slumdog Millionaire) hehehe

      Delete
  4. kalo boleh tau vikassh dhoraso itu ada keturunan india sama mana ya ? hehe

    ReplyDelete
  5. Sepak bola India lumayan lebih maju

    ReplyDelete
  6. Pemerintah India serius memajukan sepak bola, kunjungan balik dong ke blog saya www.goocap.com

    ReplyDelete
  7. Nama saya adalah Cynthia Johnson. kita hipotek, pinjaman rumah, kredit mobil, pinjaman Hotel, tawaran komersial Umum Mr John Carlson, orang harus memperbarui semua situasi keuangan di dunia / perusahaan untuk membantu mereka yang terdaftar pemberi pinjaman uang pinjaman pribadi, kredit konstruksi, rendah suku bunga 2% dll kredit modal, pinjaman usaha dan pinjaman kredit buruk bekerja, Memulai. Kami membiayai proyek di tangan dan perusahaan Anda / mitra dan saya juga ingin menawarkan pinjaman pribadi untuk klien mereka. hubungi kami melalui e-mail untuk informasi lebih lanjut: cynthiajohnsonloancompany@gmail.com

    ReplyDelete