Diego Armando Maradona. Sebagian kecil penduduk bumi menyebutnya “Tuhan”. Memang bukan sembarang sebutan, karena Gereja Maradona memang benar-benar ada di Argentina, dikenal dengan nama Iglesia Maradona. Kitab sucinya adalah buku Biografi Maradona, dan hari natal mereka peringati setiap tanggal 30 Oktober (tepatnya hari ini) yang merupakan hari lahir Maradona. Belum lagi menyebut berapa ratus (mungkin ribu) penduduk Naples yang menamai anaknya dengan nama depan Diego. Namun saya tidak ingin membuat polemik dengan ikut-ikutan menyebutnya Tuhan. Cukup anak emas saja.
Tidak perlu menjadi seorang penggemar sepak bola sungguhan untuk mengakui bahwa Maradona adalah seniman sejati sepak bola. Siapapun yang pernah menyaksikan golnya ke gawang Inggris pada babak perempat final Piala Dunia 1986, baik langsung maupun lewat youtube tentu akan mengakui bahwa pemain yang mampu melewati 7 orang pemain dari jarak 55 meter dalam waktu 12 detik saja bukanlah seorang pemain sembarangan.
Bakat tersebut memang sepertinya hanya diberikan Tuhan kepada sejumlah kecil manusia. Bagaimana seorang pemain mampu mengontrol bola dengan lengketnya, dengan gerakan yang lincah seperti penari, namun juga sangat cepat. Okelah gol-gol tersebut pernah ada yang menirunya, contohnya Saed Al-Owairan di Piala Dunia 1994, George Weah tahun 1996, juga penerusnya bernama Lionel Messi tahun 2008. Namun tetaplah gol Maradona lebih tinggi nilainya karena terjadi di sebuah babak menentukan Piala Dunia.
Maradona merayakan gol tersebut bersama jutaan rakyat Argentina, yang memang pada tahun yang sama harus merelakan Kepulauan Malvinas kepada pihak Inggris (kemudian berganti nama menjadi Kepulauan Falkland). “Mereka memang bangsa yang suka berperang, sementara bangsa kami biasa berdansa, makan dan minum-minum.” Begitulah ungkapan hati rakyat Argentina mengenai kekalahan perang mereka dari Inggris, seraya menyebut bangsa itu sebagai pencuri.
Aksi Maradona di lapangan tersebut seolah menjadi obat pelipur lara bagi rakyat Argentina. Bukan hanya karena Argentina akhirnya memenangi laga (dan akhirnya memenangi Piala Dunia), namun beberapa menit sebelumnya Maradona juga mencetak gol yang tidak kalah “sakral”nya dalam dunia sepak bola, apa lagi jika bukan gol “tangan Tuhan” itu.
Nyatanya, kisah Maradona memang jauh dari kesempurnaan milik Tuhan. Selain aksi mendorong bola dengan tangan tadi, puluhan tingkah kontroversial Maradona di luar lapangan makin menggambarkan betapa sosok Maradona jauh dari ketuhanan. Ingat saat ia turut mendukung komersialisasi sepak bola dengan hendak datang ke Indonesia untuk memberikan seminar dan coaching clinic dengan tiket jutaan rupiah? Itu adalah tindakan yang bertolak belakang dari seseorang yang memiliki tato bergambar Che Guevara dan Fidel Castro di tubuhnya.
Namun memang sulit untuk tidak menyebut Maradona jika ditanya siapakah 3 pemain sepak bola terbaik sepanjang masa. Saya punya versi sendiri soal ini selain Maradona, yaitu Pele, dan Johan Cruyff. Kesamaan dari ketiganya adalah vitalnya peran mereka di lapangan. “Mereka adalah strategi dari tim masing-masing” begitulah ucapan dari seorang pengamat sepak bola yang saya kenal. Dengan kata lain, Maradona, sama seperti Pele dan Cruyff adalah roh permainan.
Pele dan Cruyff memimpin tim yang dianggap terbaik sepanjang masa, yaitu tim nasional Brasil 1970 dan Belanda 1974. Namun meski tim nasional Argentina 1986 bukan termasuk jajaran tim terbaik, keberadaan Maradona seorang adalah pembedanya. Maradona mengangkat tinggi-tinggi level permainan Argentina tahun 1986.
Jalan hidup Maradona mungkin tidak “selurus” Pele dan Cruyff. Namun Maradona memperlihatkan sisi manusiawi sebagai makhluk lemah dan kerap berbuat salah. Pengakuannya ketika ditanya gol “tangan Tuhan” pun tidak kalah nyelenehnya. “We've robbed them. But whoever robs a thief gets a 100-year pardon.”
Apapun itu, selamat ulang tahun ke-53, Diego!