Belum sampai 3 x 24 jam kita
menyaksikan timnas sepak bola U-19 Indonesia melaju ke putaran Piala Asia U-19 dengan
rekor kemenangan sempurna. Euforia sepak bola kembali membuncah layaknya gempita
publik bola Indonesia pada momen Piala Asia 2007, Piala AFF 2010 dan SEA Games
2011.
Mari sejenak kita melihat ke
belakang. Pada Piala Asia 2007, timnas yang kala itu diasuh Ivan Venkov Kolev
dengan formasi andalan 3-4-3 memang membuka turnamen dengan mengalahkan Bahrain
lewat gol Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas. “Gue pelukan sama penonton di
sebelah gue pas golnya Bepe kemaren, padahal kami gak saling kenal!” ujar salah
satu teman saya, sebut saja namanya Revi yang memang rajin menonton langsung pertandingan
timnas di Gelora Bung Karno. Sayangnya setelah itu Indonesia menyerah dari kaki
Arab Saudi dan Korea Selatan, sehingga gagal lolos ke babak berikutnya pada
turnamen yang akhirnya dimenangi oleh Irak itu.
Meski kalah, determinasi timnas
merah putih patut diacungi jempol mengingat lawan yang dihadapi kualitasnya
satu-dua tingkat di atas. Sepak bola Indonesia bergairah lagi. Sejak saat itu,
jersey home merah-putih dan jersey away putih-hijau laris bagaikan kacang
goreng, tanpa harus menunggu midnite sale.
Para penggemar kasual maupun musiman juga otomatis merasa memiliki tim ini.
Selanjutnya, datanglah Piala AFF.
Indonesia yang saat itu dilatih Alfred Riedl memukau publik lewat penampilan spektakuler
di babak penyisihan. Malaysia diganyang 5-1, Thailand digasak 2-1, dua momen
yang jarang terjadi pada timnas Indonesia. Stadion GBK penuh sesak, gemuruh
lagu kebangsaan berkumandang tanpa dikomando, nasionalisme publik seakan berada
pada puncaknya. Sepak bola (atau timnas) dianggap sebagai pemersatu bangsa
meski akhirnya penampilan timnas di final antiklimaks dan harus menyerah di
tangan Malaysia.
Pada SEA Games 2011, tim asuhan
Rahmad Darmawan nyaris menggondol medali emas andai tidak kalah adu penalti
dari “hantu” yang sama bernama Malaysia. Publik pun dengan masygul menyebut
sepak bola Indonesia sebagai “sepak bola nyaris”. Nyaris menang, nyaris juara,
nyaris berprestasi. Nyaris yang tidak memberi kita apapun.
Euforia yang padam dan suporter
yang patah arang kemudian mengawali salah satu periode terburuk sepak bola
Indonesia, yaitu munculnya dualisme pada federasi. Perpecahan di kalangan elite
menular hingga ke lapisan bawah, kondisi yang berlangsung hingga dua tahun. Prestasi
timnas di lapangan hijau mengenaskan dan terus mengukir sejarah kelam. Sepak
bola Indonesia seperti di-restart,
euforia tahun 2007 dan 2010 seakan tak berbekas.
Setelah fase kegelapan itu,
muncul sekelompok pemuda yang kembali “menyalakan tombol euforia”. Kali ini gelar
benar-benar mereka genggam dan permainan cantik betul-betul diperagakan, bukan
lagi sekadar nyaris. Pemain-pemain U-19 ini bermain dengan cara yang tidak
seperti pemain Indonesia pada umumnya: bermain long pass, goreng menggoreng lalu stamina kendor setelah memasuki
menit ke-65.
“Anda semua ingin membanggakan
orang tua? Keluarkan kemampuan terbaik kalian sekarang!!” Begitulah talk team pelatih Indra Sjafri kala jeda
pertandingan lawan Korea Selatan. Hasilnya dapat terlihat di babak kedua dimana
pemain-pemain timnas bermain dengan penuh determinasi sekaligus menunjukkan kematangan
luar biasa hingga akhir laga. Jagoan-jagoan dari negara penyebar virus K-Pop
itu bahkan dipaksa memainkan umpan lambung karena tekanan pemain-pemain
Indonesia yang tak kenal lelah.
Seperti bangsa yang tidak pernah
mau belajar, muncullah ide-ide absurd soal timnas ini, dari ide yang menyangkut
pada komersialisasi hingga politisasi. Tanpa bermaksud menggurui, seharusnya
mereka belajar dari pengalaman yang sudah lewat dimana pembebanan yang
berlebihan dan penanganan yang keliru (apalagi kepada sekelompok pemuda yang
usianya masih belasan tahun) hanya akan merusak masa depan mereka. Mengapa tidak
dibiarkan saja mereka fokus pada sepak bola dan menapaki jenjang timnas dengan
proses panjang, karena memang tidak ada jalan pintas untuk menggapai
kesuksesan. Semua prestasi besar memerlukan waktu.
Biarkan saja timnas U-19 ini
melanjutkan perjuangan ke level yang lebih tinggi lagi, yaitu Piala Asia. Jangan
pula dihujat jika tahun depan mereka kalah. Disamping bermain di kandang lawan,
mereka juga akan menghadapi lawan-lawan tangguh dengan level permainan jauh di
atas. Calon lawan nanti juga pasti sudah mengantisipasi kekuatan kita. Perjuangan
mereka masih harus ditunggu lagi hingga ke level senior, dimana disitulah
segalanya dipertaruhkan.
Tidak ada cara yang lebih baik
selain mempersiapkan lagi pasukan timnas selanjutnya. Kemenangan yang sudah
diraih timnas U-19 harus dilanjutkan dengan pembinaan yang serius. Untuk
membentuk tim jurara ini, Indra Sjafri sampai harus blusukan ke daerah-daerah
pelosok karena pemain yang diwariskan dari tim U-16 tidak ada yang layak, dan
juga PSSI tidak memiliki sistem pembinaan memadai yang mampu menyaring talent pool pemain di seluruh penjuru
negeri dengan 17 ribu pulau ini.
“Tonight
is proof that Indonesian Youth Football can compete with the best in Asia.
Focus on kids, they are the future. Great game!” Demikian isi kicauan Tom Byer, seorang ahli
pengembangan bakat pemain muda yang telah sukses membantu Jepang dan kini
sedang menjajaki kerjasama dengan Indonesia.
Sejalan dengan pencetakan pemain,
pencetakan pelatih berkualitas juga harus dilakukan. Tidak mungkin PSSI
berharap ada 1000 orang seperti Indra Sjafri yang rela blusukan sekaligus mampu
memoles bakat mentah macam Evan Dimas, Ilham Udin, Maldini Pali dkk. Saatnya cara-cara
kuno dan mindset “Indonesia gudangnya
bakat alam” ditinggalkan. Tanpa dilatih dan dibina dengan benar, bakat-bakat alam
itu hanya akan tersia-siakan.
Jika kita tidak belajar dari pengalaman,
euforia ini juga hanya akan sekadar singgah layaknya euforia 2007, 2010 dan
2011, lalu restart lagi dan terus
memulai dari awal.
No comments:
Post a Comment