Pages

Sunday, October 13, 2013

Haruskah Sebatas Mengulangi Euforia?

Belum sampai 3 x 24 jam kita menyaksikan timnas sepak bola U-19 Indonesia melaju ke putaran Piala Asia U-19 dengan rekor kemenangan sempurna. Euforia sepak bola kembali membuncah layaknya gempita publik bola Indonesia pada momen Piala Asia 2007, Piala AFF 2010 dan SEA Games 2011.

Mari sejenak kita melihat ke belakang. Pada Piala Asia 2007, timnas yang kala itu diasuh Ivan Venkov Kolev dengan formasi andalan 3-4-3 memang membuka turnamen dengan mengalahkan Bahrain lewat gol Budi Sudarsono dan Bambang Pamungkas. “Gue pelukan sama penonton di sebelah gue pas golnya Bepe kemaren, padahal kami gak saling kenal!” ujar salah satu teman saya, sebut saja namanya Revi yang memang rajin menonton langsung pertandingan timnas di Gelora Bung Karno. Sayangnya setelah itu Indonesia menyerah dari kaki Arab Saudi dan Korea Selatan, sehingga gagal lolos ke babak berikutnya pada turnamen yang akhirnya dimenangi oleh Irak itu.

Meski kalah, determinasi timnas merah putih patut diacungi jempol mengingat lawan yang dihadapi kualitasnya satu-dua tingkat di atas. Sepak bola Indonesia bergairah lagi. Sejak saat itu, jersey home merah-putih dan jersey away putih-hijau laris bagaikan kacang goreng, tanpa harus menunggu midnite sale. Para penggemar kasual maupun musiman juga otomatis merasa memiliki tim ini.

Selanjutnya, datanglah Piala AFF. Indonesia yang saat itu dilatih Alfred Riedl memukau publik lewat penampilan spektakuler di babak penyisihan. Malaysia diganyang 5-1, Thailand digasak 2-1, dua momen yang jarang terjadi pada timnas Indonesia. Stadion GBK penuh sesak, gemuruh lagu kebangsaan berkumandang tanpa dikomando, nasionalisme publik seakan berada pada puncaknya. Sepak bola (atau timnas) dianggap sebagai pemersatu bangsa meski akhirnya penampilan timnas di final antiklimaks dan harus menyerah di tangan Malaysia.

Pada SEA Games 2011, tim asuhan Rahmad Darmawan nyaris menggondol medali emas andai tidak kalah adu penalti dari “hantu” yang sama bernama Malaysia. Publik pun dengan masygul menyebut sepak bola Indonesia sebagai “sepak bola nyaris”. Nyaris menang, nyaris juara, nyaris berprestasi. Nyaris yang tidak memberi kita apapun.

Euforia yang padam dan suporter yang patah arang kemudian mengawali salah satu periode terburuk sepak bola Indonesia, yaitu munculnya dualisme pada federasi. Perpecahan di kalangan elite menular hingga ke lapisan bawah, kondisi yang berlangsung hingga dua tahun. Prestasi timnas di lapangan hijau mengenaskan dan terus mengukir sejarah kelam. Sepak bola Indonesia seperti di-restart, euforia tahun 2007 dan 2010 seakan tak berbekas.

Setelah fase kegelapan itu, muncul sekelompok pemuda yang kembali “menyalakan tombol euforia”. Kali ini gelar benar-benar mereka genggam dan permainan cantik betul-betul diperagakan, bukan lagi sekadar nyaris. Pemain-pemain U-19 ini bermain dengan cara yang tidak seperti pemain Indonesia pada umumnya: bermain long pass, goreng menggoreng lalu stamina kendor setelah memasuki menit ke-65.

“Anda semua ingin membanggakan orang tua? Keluarkan kemampuan terbaik kalian sekarang!!” Begitulah talk team pelatih Indra Sjafri kala jeda pertandingan lawan Korea Selatan. Hasilnya dapat terlihat di babak kedua dimana pemain-pemain timnas bermain dengan penuh determinasi sekaligus menunjukkan kematangan luar biasa hingga akhir laga. Jagoan-jagoan dari negara penyebar virus K-Pop itu bahkan dipaksa memainkan umpan lambung karena tekanan pemain-pemain Indonesia yang tak kenal lelah.

Seperti bangsa yang tidak pernah mau belajar, muncullah ide-ide absurd soal timnas ini, dari ide yang menyangkut pada komersialisasi hingga politisasi. Tanpa bermaksud menggurui, seharusnya mereka belajar dari pengalaman yang sudah lewat dimana pembebanan yang berlebihan dan penanganan yang keliru (apalagi kepada sekelompok pemuda yang usianya masih belasan tahun) hanya akan merusak masa depan mereka. Mengapa tidak dibiarkan saja mereka fokus pada sepak bola dan menapaki jenjang timnas dengan proses panjang, karena memang tidak ada jalan pintas untuk menggapai kesuksesan. Semua prestasi besar memerlukan waktu.

Biarkan saja timnas U-19 ini melanjutkan perjuangan ke level yang lebih tinggi lagi, yaitu Piala Asia. Jangan pula dihujat jika tahun depan mereka kalah. Disamping bermain di kandang lawan, mereka juga akan menghadapi lawan-lawan tangguh dengan level permainan jauh di atas. Calon lawan nanti juga pasti sudah mengantisipasi kekuatan kita. Perjuangan mereka masih harus ditunggu lagi hingga ke level senior, dimana disitulah segalanya dipertaruhkan.

Tidak ada cara yang lebih baik selain mempersiapkan lagi pasukan timnas selanjutnya. Kemenangan yang sudah diraih timnas U-19 harus dilanjutkan dengan pembinaan yang serius. Untuk membentuk tim jurara ini, Indra Sjafri sampai harus blusukan ke daerah-daerah pelosok karena pemain yang diwariskan dari tim U-16 tidak ada yang layak, dan juga PSSI tidak memiliki sistem pembinaan memadai yang mampu menyaring talent pool pemain di seluruh penjuru negeri dengan 17 ribu pulau ini.

“Tonight is proof that Indonesian Youth Football can compete with the best in Asia. Focus on kids, they are the future. Great game!” Demikian isi kicauan Tom Byer, seorang ahli pengembangan bakat pemain muda yang telah sukses membantu Jepang dan kini sedang menjajaki kerjasama dengan Indonesia.

Sejalan dengan pencetakan pemain, pencetakan pelatih berkualitas juga harus dilakukan. Tidak mungkin PSSI berharap ada 1000 orang seperti Indra Sjafri yang rela blusukan sekaligus mampu memoles bakat mentah macam Evan Dimas, Ilham Udin, Maldini Pali dkk. Saatnya cara-cara kuno dan mindset “Indonesia gudangnya bakat alam” ditinggalkan. Tanpa dilatih dan dibina dengan benar, bakat-bakat alam itu hanya akan tersia-siakan.

Jika kita tidak belajar dari pengalaman, euforia ini juga hanya akan sekadar singgah layaknya euforia 2007, 2010 dan 2011, lalu restart lagi dan terus memulai dari awal. 

No comments:

Post a Comment