Anda yang
memiliki rejeki bagus dan juga kesempatan yang memadai tentu akan senang mengunjungi
benua Eropa, benua berupa daratan luas dengan batas-batas negara yang tegas. Benua
asal para penakluk yang jika digabungkan luasnya, akan berukuran tidak jauh
berbeda dengan luas wilayah Indonesia.
Berbicara Eropa,
tentu sangat disayangkan jika Anda tidak mengagendakan sedikit saja waktu untuk
melihat sepak bola, meskipun Anda tidak menggemari olahraga ini. Di benua
tempat pertama kali sepak bola diklaim dimainkan dan dirumuskan aturannya inilah
sepak bola seperti agama. Manusia boleh lahir dan mati, bangunan boleh berdiri
kokoh lalu berjamur dan runtuh, namun sepak bola bukannya memudar malah terus
berpendar.
Perkembangan sepak
bola memang tidak secepat perkembangan teknologi komputer atau telepon genggam.
Dengan kesederhanaannya, sepak bola pada dasarnya adalah permainan yang
mempertandingkan 11 orang dari sebuah komunitas atau kampung. Kesederhanaan itulah
yang membuat perkembangan sepak bola tidak secepat perkembangan teknologi.
Namun saat komersialisasi digaungkan, mulailah sepak bola tersaji seperti yang setiap pekannya Anda saksikan. Sebuah klub sepak bola kini telah banyak memiliki manajemen sekuat perusahaan besar, meskipun omzet mereka masih jauh. Perusahaan apparel yang dulunya dibayar oleh klub sepak bola untuk menyediakan perlengkapan bermain, kini berbalik menjadi pihak yang membayar. Kontrak televisi lantas menggila, dunia bisnis lantas melirik sepak bola sebagai lahan promosi yang sangat potensial, penggemar sepak bola terutama di benua Asia lantas dijejali berbagai gimmick dan tontonan sepak bola tengah malam yang tidak jarang mengaduk-aduk emosi mereka sendiri, memenuhi pikiran mereka dengan ilusi berbalut fanatisme. Sebelum era semacam ini timbul, pemanfaatan tertinggi pada sepak bola baru dilakukan oleh para politisi untuk menyebarkan propaganda.
Kembali ke
stadion-stadion di Eropa, jika Anda pernah berkunjung ke salah satu stadion
ternama, Anda akan menyaksikan fasilitas anjangsana yang sekilas lebih cocok
untuk kaum borjuis, namun ternyata cocok untuk seluruh kelas dalam masyarakat. Di
stadion sepak bola, mungkin saja tidak berlaku prinsip sama rata sama rasa. Anda
duduk sesuai dengan harga karcis yang Anda bayar. Namun Anda akan menyaksikan
pertunjukan yang sama, pertunjukan adu tehnik dua puluh dua orang pesepak bola
dan adu strategi dua orang pelatih. Ditambah lagi, Anda akan menyaksikan protokoler
dan prosedural kelas elit, bahkan sebagian ada yang sudah menerapkan teknologi garis
gawang agar hasil pertandingan benar-benar valid dan human error diperkecil kemungkinannya. Pertandingan sepak bola
adalah sebuah event penting yang
hasilnya memang ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan. Football is a serious business.
Maka agak lucu
jika dengan perangkat pertandingan yang sudah berada pada tingkat kecanggihan pesawat
Air Force One, kontroversi masih saja muncul. Stefan Kiessling, penyerang berambut
kuning keemasan bertubuh tinggi dan agak kurus adalah salah satu pesepakbola handal
saat ini yang diabaikan oleh tim nasionalnya. Meski ia terus menjawab segala
keraguan lewat rekor golnya yang mengagumkan dan statistik-statistik yang
mencengangkan, namun Jogi Loew tidak kunjung meliriknya untuk menjadi salah
satu penggawa Die Nationalmannschaft.
Kiessling akhirnya
memilih cerita lain, meskipun ia tidak bermaksud melakukannya. Ia mencetak gol
yang kemudian banyak disebut sebagai gol hantu, karena bola sebenarnya memang
tidak masuk ke gawang melainkan hanya menyentuh samping gawang. Ekspresi Kiessling
sungguh datar hingga semuanya berubah saat wasit mengesahkan momen tersebut
menjadi sebuah gol. Bukan sembarang gol, namun gol yang memenangkan klubnya,
Bayer Leverkusen. Publik geram, pengelola liga kebakaran jenggot, perangkat
pertandingan merasa kecolongan, namun tidak sedikit pula yang menertawakan
sekaligus menganggap momen tersebut sebagai hal unik dalam sepak bola. Ya,
hal-hal yang membuat permainan ini tidak kehilangan sisi manusia. Manusia yang
tidak lepas dari kesalahan.
***
(Sementara itu
di belahan bumi lainnya, 13 tahun silam)
“Sociaaaale.. Sociaaaale.. Ooooooo
Sociaaaale.. Sociaaaale.. Ooooooo”
Begitulah teriakan
yang terdengar nyaris di seantero sekolah kala laga classmeeting digelar. Parodi chant
“Campione.. Campione..” yang biasa
didengar dari layar kaca kemudian mereka ubah menjadi “Sociale.. Sociale..” melambangkan kelas 3 IPS atau Sosial, seakan
menunjukkan superioritas skill sepak bola sekaligus rasa kebersamaan yang lebih
cair antar sesama dibandingkan anak-anak IPA. Ya, anak-anak yang terkesan lebih
serius, ilmiah, individualis, tidak banyak bicara, sinis, terpelajar namun
selalu kalah dalam bermain sepak bola di sekolah.
Pada hari itu,
semua berubah di lapangan. Laga semifinal classmeeting antara kelas IPA saya
dengan kelas IPS berlangsung sengit karena ternyata kami mampu memberi
perlawanan. Skor masih imbang 1-1 hingga penghujung pertandingan. Kami semua
nampak siap melanjutkan laga dengan perpanjangan waktu, namun sebuah momen
mengubah segalanya.
Rekan saya, sebut saja Mr. K, melepas tendangan langsung ke gawang IPS. Merasa bola tidak akan masuk, kiper IPS hanya mendiamkannya. Bola memang tidak masuk, dan Mr. K juga menunjukkan gestur kekecewaan. Namun apa daya, hakim garis dan wasit serentak mengangkat bendera dan tangan ke arah tengah lapangan pertanda tendangan tersebut gol. Sempat terjadi moment of silence beberapa saat untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, namun kencangnya bunyi peluit dari wasit mengonfirmasi bahwa gol hantu telah terjadi. Teriakan “Sociale” lalu berubah menjadi koor masal bernada kekecewaan pada kepemimpinan wasit. Ya, laga saat itu memang tidak dapat dibandingkan dengan laga Bundesliga yang dilakoni Stefan Kiessling. Gawang yang terbuat dari bambu dan tidak terpasangnya jaring memang menyulitkan pengambilan keputusan.
IPS meradang,
menggugat, marah dan kecewa. Sementara kami hanya diam tanpa merayakan gol seperti biasa, meskipun tersenyum simpul dalam hati. Laga usai, kami
menang. Wasit dicerca, emosi melanda, namun beruntung keributan tidak meledak. Gestur
sportivitas juga kami berikan pada lawan, hasil akhir sudah ditentukan. Sepak bola
memang kadang seperti ini. Aneh, unik, kejam, tidak terduga seperti gambaran
umum kehidupan.
Pada hari itu,
meskipun bukan dengan cara yang kami inginkan dan bukan dengan cara yang ilmiah
serta terukur, kami berhasil mengubah stigma di sekolah dimana anak IPA tidak bisa mengalahkan
anak IPS dalam bermain sepak bola.
No comments:
Post a Comment