Pages

Sunday, October 20, 2013

Saat Gol Hantu Memanusiakan Sepak Bola

Anda yang memiliki rejeki bagus dan juga kesempatan yang memadai tentu akan senang mengunjungi benua Eropa, benua berupa daratan luas dengan batas-batas negara yang tegas. Benua asal para penakluk yang jika digabungkan luasnya, akan berukuran tidak jauh berbeda dengan luas wilayah Indonesia.

Berbicara Eropa, tentu sangat disayangkan jika Anda tidak mengagendakan sedikit saja waktu untuk melihat sepak bola, meskipun Anda tidak menggemari olahraga ini. Di benua tempat pertama kali sepak bola diklaim dimainkan dan dirumuskan aturannya inilah sepak bola seperti agama. Manusia boleh lahir dan mati, bangunan boleh berdiri kokoh lalu berjamur dan runtuh, namun sepak bola bukannya memudar malah terus berpendar.

Perkembangan sepak bola memang tidak secepat perkembangan teknologi komputer atau telepon genggam. Dengan kesederhanaannya, sepak bola pada dasarnya adalah permainan yang mempertandingkan 11 orang dari sebuah komunitas atau kampung. Kesederhanaan itulah yang membuat perkembangan sepak bola tidak secepat perkembangan teknologi.

Namun saat komersialisasi digaungkan, mulailah sepak bola tersaji seperti yang setiap pekannya Anda saksikan. Sebuah klub sepak bola kini telah banyak memiliki manajemen sekuat perusahaan besar, meskipun omzet mereka masih jauh. Perusahaan apparel yang dulunya dibayar oleh klub sepak bola untuk menyediakan perlengkapan bermain, kini berbalik menjadi pihak yang membayar. Kontrak televisi lantas menggila, dunia bisnis lantas melirik sepak bola sebagai lahan promosi yang sangat potensial, penggemar sepak bola terutama di benua Asia lantas dijejali berbagai gimmick dan tontonan sepak bola tengah malam yang tidak jarang mengaduk-aduk emosi mereka sendiri, memenuhi pikiran mereka dengan ilusi berbalut fanatisme. Sebelum era semacam ini timbul, pemanfaatan tertinggi pada sepak bola baru dilakukan oleh para politisi untuk menyebarkan propaganda.

Kembali ke stadion-stadion di Eropa, jika Anda pernah berkunjung ke salah satu stadion ternama, Anda akan menyaksikan fasilitas anjangsana yang sekilas lebih cocok untuk kaum borjuis, namun ternyata cocok untuk seluruh kelas dalam masyarakat. Di stadion sepak bola, mungkin saja tidak berlaku prinsip sama rata sama rasa. Anda duduk sesuai dengan harga karcis yang Anda bayar. Namun Anda akan menyaksikan pertunjukan yang sama, pertunjukan adu tehnik dua puluh dua orang pesepak bola dan adu strategi dua orang pelatih. Ditambah lagi, Anda akan menyaksikan protokoler dan prosedural kelas elit, bahkan sebagian ada yang sudah menerapkan teknologi garis gawang agar hasil pertandingan benar-benar valid dan human error diperkecil kemungkinannya. Pertandingan sepak bola adalah sebuah event penting yang hasilnya memang ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan. Football is a serious business.

Maka agak lucu jika dengan perangkat pertandingan yang sudah berada pada tingkat kecanggihan pesawat Air Force One, kontroversi masih saja muncul. Stefan Kiessling, penyerang berambut kuning keemasan bertubuh tinggi dan agak kurus adalah salah satu pesepakbola handal saat ini yang diabaikan oleh tim nasionalnya. Meski ia terus menjawab segala keraguan lewat rekor golnya yang mengagumkan dan statistik-statistik yang mencengangkan, namun Jogi Loew tidak kunjung meliriknya untuk menjadi salah satu penggawa Die Nationalmannschaft.

Kiessling akhirnya memilih cerita lain, meskipun ia tidak bermaksud melakukannya. Ia mencetak gol yang kemudian banyak disebut sebagai gol hantu, karena bola sebenarnya memang tidak masuk ke gawang melainkan hanya menyentuh samping gawang. Ekspresi Kiessling sungguh datar hingga semuanya berubah saat wasit mengesahkan momen tersebut menjadi sebuah gol. Bukan sembarang gol, namun gol yang memenangkan klubnya, Bayer Leverkusen. Publik geram, pengelola liga kebakaran jenggot, perangkat pertandingan merasa kecolongan, namun tidak sedikit pula yang menertawakan sekaligus menganggap momen tersebut sebagai hal unik dalam sepak bola. Ya, hal-hal yang membuat permainan ini tidak kehilangan sisi manusia. Manusia yang tidak lepas dari kesalahan.

***

(Sementara itu di belahan bumi lainnya, 13 tahun silam)
“Sociaaaale.. Sociaaaale.. Ooooooo
Sociaaaale.. Sociaaaale.. Ooooooo”

Begitulah teriakan yang terdengar nyaris di seantero sekolah kala laga classmeeting digelar. Parodi chantCampione.. Campione..” yang biasa didengar dari layar kaca kemudian mereka ubah menjadi “Sociale.. Sociale..” melambangkan kelas 3 IPS atau Sosial, seakan menunjukkan superioritas skill sepak bola sekaligus rasa kebersamaan yang lebih cair antar sesama dibandingkan anak-anak IPA. Ya, anak-anak yang terkesan lebih serius, ilmiah, individualis, tidak banyak bicara, sinis, terpelajar namun selalu kalah dalam bermain sepak bola di sekolah.

Pada hari itu, semua berubah di lapangan. Laga semifinal classmeeting antara kelas IPA saya dengan kelas IPS berlangsung sengit karena ternyata kami mampu memberi perlawanan. Skor masih imbang 1-1 hingga penghujung pertandingan. Kami semua nampak siap melanjutkan laga dengan perpanjangan waktu, namun sebuah momen mengubah segalanya.

Rekan saya, sebut saja Mr. K, melepas tendangan langsung ke gawang IPS. Merasa bola tidak akan masuk, kiper IPS hanya mendiamkannya. Bola memang tidak masuk, dan Mr. K juga menunjukkan gestur kekecewaan. Namun apa daya, hakim garis dan wasit serentak mengangkat bendera dan tangan ke arah tengah lapangan pertanda tendangan tersebut gol. Sempat terjadi moment of silence beberapa saat untuk mencerna apa yang baru saja terjadi, namun kencangnya bunyi peluit dari wasit mengonfirmasi bahwa gol hantu telah terjadi. Teriakan “Sociale” lalu berubah menjadi koor masal bernada kekecewaan pada kepemimpinan wasit. Ya, laga saat itu memang tidak dapat dibandingkan dengan laga Bundesliga yang dilakoni Stefan Kiessling. Gawang yang terbuat dari bambu dan tidak terpasangnya jaring memang menyulitkan pengambilan keputusan.

IPS meradang, menggugat, marah dan kecewa. Sementara kami hanya diam tanpa merayakan gol seperti biasa, meskipun tersenyum simpul dalam hati. Laga usai, kami menang. Wasit dicerca, emosi melanda, namun beruntung keributan tidak meledak. Gestur sportivitas juga kami berikan pada lawan, hasil akhir sudah ditentukan. Sepak bola memang kadang seperti ini. Aneh, unik, kejam, tidak terduga seperti gambaran umum kehidupan.

Pada hari itu, meskipun bukan dengan cara yang kami inginkan dan bukan dengan cara yang ilmiah serta terukur, kami berhasil mengubah stigma di sekolah dimana anak IPA tidak bisa mengalahkan anak IPS dalam bermain sepak bola.

No comments:

Post a Comment