“It’s not like watching Indonesia.” Begitulah judul artikel full English salah
seorang penulis kenalan saya di sebuah media, menggambarkan betapa atraktifnya
penampilan tim nasional Under 19 sehari setelah mengalahkan Filipina. Ia
mungkin sengaja menggunakan bahasa Inggris untuk mempromosikan tim ini lebih
luas lagi ke skala global.
Filipina memang memainkan sepak
bola negatif. Mereka menumpuk seluruh pemainnya di daerah sendiri, termasuk 8
pemain di kotak penalti. Strategi ini lazim dipakai tim yang menghadapi
Barcelona ataupun Bayern Muenchen, tim dengan kemampuan luar biasa dalam
mengendalikan permainan dan mengolah bola. Indonesia, dengan level yang berbeda
dengan Barca dan Bayern tentunya, mampu memaksa Filipina (yang juga dibawah
level lawan-lawan Barca dan Bayern) melakukan itu.
Okelah kualitas Filipina memang
masih di bawah Indonesia. Tapi yang patut menjadi perhatian adalah bagaimana
tim Indonesia U-19 menjaga konsistensi dan tetap membumi meskipun mereka baru
mengakhiri dahaga 22 tahun gelar internasional Indonesia. “Kalo elo baru juara
kelas, selain ada kebanggaan, pasti juga ada beban untuk mempertahankan
prestasi. Belum lagi pujian-pujian dari sekeliling yang malah melenakan.”
Begitulah ujar salah seorang mentor saya mengomentari kondisi timnas U-19.
“Tapi sepertinya euforia berlebihan ini tidak terjadi di tim U-19.”
Ya, tim U-19 ini memang beda. Maksudnya,
beda dari tim Indonesia pada umumnya. Dari segi permainan, level tim ini memang
masih di bawah Vietnam, yang mereka kalahkan di final Piala AFF U-19 bulan
lalu. Namun tim ini memiliki modal luar biasa yang bahkan menurut saya tidak
dimiliki oleh tim-tim olahraga di Indonesia.
Tim ini terus diajarkan untuk
rendah hati. Pelatih Indra Sjafri juga
menanamkan disiplin tinggi kepada anak asuhannya. Tidak ada pemain yang merasa
seperti pemain bintang, yang lalu merasa layak untuk tampil di acara
infotainment menggandeng selebritis yang turut memanfaatkan momentum ini untuk
menjadi social climber.
Krioterapi dan 4-3-3
Saya menulis ini sesaat setelah
pertandingan penentuan lawan “tim drama dengan pemain berbedak tebal” Korea Selatan berakhir. Indonesia berhasil
mengalahkan Taeguk Warriors 3-2 yang otomatis membawa tim ini ke putaran final
Piala Asia di Myanmar tahun depan, sesuatu yang bahkan sudah tiga periode tidak
mampu dicapai timnas senior. Lagipula, melihat permainan timnas yang begitu
menyulitkan sebuah tim juara bertahan Piala Asia (dan juara 12 kali Piala Asia
junior), hal ini sudah membanggakan. Sudah lama kita tidak memiliki timnas
seperti ini.
Apapun hasilnya nanti di Piala
Asia, tim U-19 ini dapat saya anggap sebagai timnas terbaik yang dipunyai
Indonesia sejak pertama kali saya menyaksikan pertandingan timnas. Mereka
mungkin bukan yang terbaik secara teknis, namun dilihat dari mentalitas dan
sikap, mereka jelas patut dicontoh. Permainan mereka juga sangat tenang, tidak
asal membuang bola ke depan dan juga tidak banyak menggocek bola. Jarak antar
pemain begitu rapat dan transisi bertahan-menyerang juga mulus, apalagi kombinasi umpan satu
sentuhan yang mereka peragakan di daerah final
third. Mereka membalikkan mindset
orang Indonesia pada umumnya yang menganggap pemain paling jago adalah yang
paling hebat menggoreng bola.
Timnas U-19 adalah contoh nyata
betapa proses yang tidak instan tanpa jalan pintas dan sikap yang benar adalah
jalan menuju kesuksesan. Proses pelatnas jangka panjang, penempatan psikolog
dalam tim, juga penggunaan metode krioterapi menunjukkan tim ini tidak menutup
mata pada perkembangan zaman.
Krioterapi adalah metode yang
banyak dipakai tim-tim Eropa, termasuk pemain macam Phillip Neville, Javier
Zanetti maupun Raul Gonzalez yang karirnya awet di level tertinggi meski sudah
berusia senja. Krioterapi menggunakan media es batu, dimana pemain berendam di
kolam yang dipenuhi es batu tersebut (tentu suhu kolam telah diatur) dalam
beberapa menit. Metode ini disamping meningkatkan ketahanan, juga efektif untuk
mempercepat pemulihan cedera. Sayangnya meski lazim digunakan di Eropa,
krioterapi ini masih jarang digunakan di Indonesia.
Berbicara sedikit pola permainan,
pola 4-3-3 yang digunakan memang cocok dengan karakter sepak bola Indonesia. Timnas
senior juga menggunakan pola ini, meski pengaplikasiannya di lapangan jauh
berbeda. Tentang penggunaan pola 4-3-3 ini, pelatih Indonesia di masa lalu seperti
Toni Pogacnik dan Anatoly Polosin memang telah lama mengamati kelebihan
Indonesia dalam permainan sayap. Kini, tidak ada salahnya pola 4-3-3 yang cocok
dengan kultur kita ini diimplementasi seluruh jenjang tim nasional, bahkan jika
perlu hingga ke klub-klub.
Seorang teman malah mengingat
trio gelandang Muhammad Hargianto, Zulfiandi dan Evan Dimas sehebat Andres
Iturraspe, Javi Martinez dan Ander Herrera (tentunya dalam level berbeda) yang
membawa Athletic Bilbao meluluhlantakkan Manchester United di Old Trafford. Ya,
baik Hargianto maupun Zulfiandi dan kapten Evan Dimas memang seperti sudah
menyatu benar permainannya, dengan chemistry tingkat tinggi yang terjalin. Khusus
Evan Dimas, first touch, positioning
dan visi permainannya bahkan sudah berada di level Asia. Mengingat usianya yang
masih 18, bukan tidak mungkin ia akan menggapai prestasi lebih tinggi lagi
(semoga ada klub Jepang atau bahkan Eropa yang segera mengontraknya, jangan
main disini).
Catatan positif lainnya adalah
stamina pemain. Hal ini sudah ditunjukkan lewat penampilan mereka kala
menjuarai Piala AFF U-19 di Sidoarjo lalu ketika mereka mampu mempertahankan
ritme permainan meski harus melakoni babak perpanjangan waktu dan bermain
setiap dua hari sekali. Pola latihan dan metode krioterapi yang dijalankan berkontribusi
pada rataan VO2 Max pemain-pemain timnas U-19 yang diatas 60 ml/(kg.min),
padahal kadar VO2 Max ideal berada pada angka 57-58. Memadainya VO2 Max pemain
ini amat mendukung taktik zone press
yang diterapkan, bahkan sejak pemain lawan menguasai bola di daerahnya sendiri.
Bagaimanapun dibalik segala
kehebatan dan kebanggaan, juga euforia dan harapan tidak usahlah menanamkan
optimisme berlebihan. Tim ini masih muda, masih akan menapaki jalan panjang untuk
terus membela bangsa bersebelas di lapangan hijau. Jangan lupakan pula bahwa
tim ini masih relatif bebas kepentingan, juga semua kemenangan ini didapat kala bermain di kandang sendiri. Kini setelah mampu memukul Korea
Selatan dengan permainan impresif, jangan heran jika terjadi perebutan panggung
antar para pahlawan kesiangan yang mengaku ikut-ikutan membentuk tim ini. Semoga
saya salah.
No comments:
Post a Comment