Pages

Friday, July 26, 2013

Tidak Perlu Berpikir Positif Untuk Sesuatu yang Salah

Saya pernah sekali membahas tentang kiprah para komentator amatir, alias para komentator berita di media online. Sedihnya, menurut seorang jurnalis, komentar-komentar di media online tersebut memang adalah cerminan dari bangsa kita.

Lihat saja komentar-komentar yang tersaji di artikel rekan saya Yoga Cholandha yang di publish di sebuah media online. Dalam artikel yang hingga saat ini sudah dikomentari sebanyak lebih dari 1000 orang dan nampaknya masih berlanjut itu, teman saya sebenarnya dengan telak menelanjangi kebobrokan sepak bola kita. Bagaimana sepak bola tidak diurus dengan benar, dan kita terus dininabobokan oleh kedatangan tim-tim Eropa, yang tidak lebih hanya bermotif uang.

Memang betul tidak ada salahnya jika sesekali kita mengagendakan laga eksibisi menghadapi tim-tim yang sebelumnya hanya bisa kita saksikan dari layar datar televisi sambil berantem di twitter dengan suporter layar kaca lainnya. Namun jika keadaan ini terus kita syukuri, dan menganggap ini adalah awal kemajuan sepak bola Indonesia, maka kita akan seterusnya terjebak dalam limbo prestasi sepak bola nasional.

Lalu cobalah lihat komentar-komentar di artikel berikut, soal gagasan Indonesia pindah ke zona Oseania. Para komentator itu kemudian dengan ‘gagah’ menuliskan bahwa ‘kita harus mengalahkan lawan yang kuat jika ingin menjadi yang terkuat’ atau ‘kita tidak boleh menjadi pengecut dengan memilih lawan yang lemah’.

Apakah yang dapat disimpulkan dari situ? Ya, ketahuan deh bangsa kita memiliki beberapa karakter khas. Inferior dan delusional. Disatu sisi, bangsa kita begitu merasa inferior dengan kerelaan dibantai dengan skor telak di lapangan. Meminjam kata-kata Yoga, rela menjalani medan perang palsu demi menyenangkan meneer-meneer atau sinyo-sinyo bule yang biasa kita saksikan di televisi. Di sisi lain, bangsa kita begitu merasa hebatnya, merasa lawan-lawan di zona Oseania tidak ada apa-apanya buat kita. Kita juga begitu cepat puas karena akhirnya klub-klub besar itu mau datang. Seakan hal ini akan membuat kita 9 tahun lagi mengikuti Piala Dunia, dan pemain-pemain kita akan dilirik oleh klub Eropa berbekal pengalaman bertanding melawan para pemain kelas dunia.

Tiga tahun lalu saat Indonesia kalah dari Malaysia di final Piala AFF, saya bilang kalau Indonesia bermain jelek dan memang tidak pantas menang di laga final. Tapi salah seorang teman saya malah berkomentar. ‘Ah nggak jelek kok, mainnya sudah bagus. Hanya kalah beruntung saja.’ Ya begitulah mental kita. Masih merasa menang, merasa berbesar hati dan terus menghibur diri padahal jelas-jelas kalah. 

Sebenarnya, saya tidak mau mengurusi para komentator asbun dan minim pengetahuan itu. Tapi sedihnya, hal ini memang persoalan utama bangsa kita. Pernah pula ada artikel yang menyajikan fakta sejarah baru, tapi yang ada malah dibilang laten komunis lah, pemecah belah bangsa lah. Ketahuan sekali mereka terlalu menghayati pelajaran-pelajaran Orde Baru.

Sebegitu hauskah kita akan kejayaan? Mungkin saja. Haus kejayaan bukanlah sesuatu yang salah, namun jelas menjadi kesia-siaan belaka jika kehausan kita pada kejayaan membuat kita tidak bisa mengakui kekurangan diri. Tidak legowo mengakui bahwa kita sedang melangkah pada jalan yang salah, dan tidak terima jika kita dikritik orang lain. Sifat-sifat ini hanya membuat kejayaan yang kita nanti-nantikan terus menjadi impian dan dongeng belaka.

Tidak ada gunanya sok bersikap positif, hal itu hanya berguna jika kita kalah tapi sebenarnya sudah berada pada jalur yang benar. Namun sayangnya, kita menyikapi positif pada sesuatu yang salah. Sungguh tidak akan membawa kita kemana-mana. Kalah ya kalah, salah ya salah. Satu-satunya jalan jelas berbenah. Benahi pembinaan, benahi kompetisi, benahi wasit, benahi pengurus dan federasi, benahi manajemen dan keuangan klub, benahi suporter. Benahi stakeholder sepak bola Indonesia.

Tidak perlu memikirkan taktik mana yang cocok untuk tim, siapa yang akan dipasang sebagai playmaker dan hal-hal teknis lainnya jika menyadari kesalahanpun tidak bisa. Menyadari bahwa sepak bola kita tengah tertinggal berpuluh-puluh tahunpun tidak bisa.

2 comments:

  1. Yah, betul. Tapi pemain-pemain Indo yg main kemarin kayaknya yg jadi korban kompetisi ya? soalnya pemain yg ada (yg terbaik) ya mereka. Dan mereka dibesarkan di kompetisi Indonesia yg bobrok. Andai kompetisinya lebih pro..

    ReplyDelete
  2. Dijawab di posting selanjutnya nih :)

    ReplyDelete