Rasanya masih teringat jelas di
memori saat gue dicela teman-teman (bukan teman yang baik sih) yang mengatai
betapa culunnya gue karena gak bisa main bola dan gak tau gimana caranya
nendang bola. Sebuah celaan yang kemudian seperti membangunkan monster yang
telah lama bersembunyi dalam badan.
Monster itu menstimulus gue buat
belajar main bola, lalu membungkam mulut para pencela itu. Gue gak tumbuh
sebagai pesepakbola profesional juga sih, tapi gue bukanlah pesepakbola buruk.
Gue hanya punya dua tujuan setiap bermain bola, yaitu bermain baik dan mencetak
gol. Gak pernah sedikitpun terbersit untuk mencederai lawan. Gue
bermain, karena gue mencintai permainan ini, bukan karena motivasi lain seperti
taruhan atau gagah-gagahan. I see
football as a beautiful game.
Passion gue teramat tinggi
keterlaluan pada permainan ini. Jeleknya, passion ini seperti hantu yang sempat
menghambat langkah gue karena terlalu sulit move on dan sulit menerima
kenyataan kenapa gue gak bisa jadi pemain bola. Banyak tahap pencarian gue
lalui sebelum mencapai tahap ikhlas seperti sekarang. Mencoba berdamai dengan
hidup dan berusaha terlihat seperti bapak-bapak normal yang suka upload foto
anak di social media dan menjadi karyawan yang rajin kerja lembur serta
berdedikasi tinggi adalah bukti bahwa gue sudah pasrah dan rela menjalani dunia
paralel di mana pemikiran gue gak sejalan dengan apa yang gue lakukan.
Meski demikian, gak ada
penyaluran yang lebih besar pada sepak bola selain memainkannya. Ya, bermain
sepak bola di lapangan adalah hal yang lebih menyenangkan daripada liburan
mahal dengan kapal pesiar romantis sekalipun, atau teriak-teriak di karena
adrenalin yang dibuat-buat saat memainkan water sport di pantai eksotis. Bahkan
setelah gue menemukan kesenangan alternatif berupa menjadi penulis sepak bola
sekalipun, tidak bermain sepak bola secara reguler adalah sebuah kegagalan tak
termaafkan.
Perubahan status dari bujangan ke
pajangan, plus dari mahasiswa girang ke karyawan senang udah cukup mereduksi
waktu bermain bola. Apalagi sebuah catatan statistik kampret berupa hasil
medical check up resmi mengalienasi gue dari lapangan bola. Kolesterol gue
tinggi, akibat terlalu larut dalam rangkaian tipuan hedonisme berupa
makanan-makanan lezat.
Lebih sakit membaca ini daripada
tidak menemukan nama gue di pengumuman UMPTN. Tidak bermain bola adalah situasi
terburuk yang bisa gue bayangkan, daripada tidak punya payung saat hujan deras
atau tidak punya pacar selama sekolah. Dan kini, udah 3 bulan lebih lamanya gue
istirahat dari lapangan. 3 bulan tidak menyenangkan yang tidak ingin gue alami
lagi.
Well, gue gak mau curhat
sebenernya. Gue akan tambahin sedikit bobot dalam tulisan ini. David Conn, si
jurnalis sport business pernah bilang dalam salah satu chapter di bukunya
tentang lost generation of football yang
terjadi di Inggris, yang notabene negara yang mendaulat diri sebagai penemu
sepak bola.
Conn bilang bahwa ciri paling
kentara dari modernisasi sepak bola adalah di dunia penyiaran. Rupert Murdoch
melalui Sky Sports yang menjadikan sepak bola sebagai tontonan berbayar telah
mengubah paradigma orang-orang Inggris. Paradigma itu adalah menjadi penonton
yang baik karena stasiun TV menayangkan tontonan bagus, yang sayang untuk dilewatkan.
Tidak hanya siaran langsung, tapi juga highlight pertandingan dan analisa
canggih dari para pundit berjas dan berdasi, tidak mau kalah necis dengan
pengamat pasar modal ataupun pengacara. Tayangan sepak bola sudah dikemas
sedemikian ruma sehingga para pemirsa termanjakan, dan uang berlangganan yang
mereka keluarkan terasa tidak percuma. Ya terang saja, kalau sudah mengeluarkan
uang untuk berlangganan, masak sih kita harus beranjak dari sofa sambil makan
pizza dan minum berkaleng-kaleng soda atau bir? Ngapain juga capai-capai main
bola di lapangan, mendingan nonton orang main aja di TV. Kebiasaan ini juga
membawa dampak obesitas, yang akhirnya makin mengurangi produksi generasi sehat
yang mampu menjadi pesepakbola.
Terdengar berlebihan? Fenomena ini
kemudian berkembang lebih liar. Dari revolusi penyiaran, kemajuan sektor
industri pada akhirnya membutuhkan terlalu banyak ruang untuk pembangunan
kantor dan gedung mereka. Ruang publik tereduksi, lapangan bola dihabisi.
Semakin sulit bermain bola jika lapangan rumput plastik yang tersedia memaksa
kita merogoh kocek 300 ribu rupiah perjamnya, atau kira-kira seorang anak
sekolah harus patungan 30 ribu rupiah untuk bermain bersama teman-temannya.
Tidak heran, lebih banyak anak muda yang lebih memilih nongkrong di minimarket
dengan modal 30 ribu perak itu, karena bisa mendapatkan seporsi junk food dan
segelas sirop beku, plus bisa ngegodain cewek.
Balik lagi ke absennya gue dari
lapangan. Well, sudah saatnya mengakhiri penderitaan ini. Gue harus segera
kembali ke lapangan dan dapetin lagi hal-hal yang bisa bikin gue seneng. Jadi
seorang pria beranak satu di usia boring 30an bukan berarti menghilang dari
lapangan. Bagaimanapun juga, sepak bola lebih enak dimainkan daripada sekadar
dibicarakan atau ditonton saja. Ayo main bola!
kalo ada maen bola di depok, saya ikut gabung dong mas
ReplyDelete