"Bagi kebanyakan pemain disini,
pemain yang bisa menggiring bola melewati lawan adalah yang paling hebat.
Semakin banyak lawan yang bisa ia lewati, semakin hebatlah dia." Begitulah
petikan kata-kata pelatih timnas Indonesia Jacksen F. Tiago pada acara Mata
Najwa bertajuk Gila Bola beberapa waktu lalu.
Jika anda berpikir coach Jacksen lebay ketika mengatakan hal itu, berarti anda belum menyadari salah satu permasalahan paling mendasar yang menjangkiti sepak bola Indonesia.
Faktanya, pemandangan pemain yang jarang mengoper bola adalah sesuatu yang jamak terjadi di Indonesia. Pemain turun ke lapangan tidak memiliki kesadaran taktik yang memadai dan cenderung hanya bermain untuk diri mereka sendiri. Cobalah anda berbincang dengan pemain sayap kita, tanyakan apakah yang pelatih instruksikan pada mereka, tanyakan juga apakah ia memperhatikan posisi pemain di sisi sayap berlawanan, juga pemain tengah lainnya. Anda tidak perlu heran jika jawaban mereka adalah 'Saya hanya diinstuksikan untuk berlari dengan bola lalu memberikan umpan silang'.
Anda dapat tanyakan pertanyaan teknis serupa pada bek tengah, gelandang bertahan, gelandang serang atau penyerang tengah. Dan jangan kaget juga jika jawabannya lebih simpel daripada musik Green Day.
Sekarang adalah era dimana seorang pemain bola tidak melakukan sentuhan lebih dari tiga kali, positioning pemain sangat rapi dijalankan, jarak antar pemain sangat diperhatikan, pergerakan tanpa bola lebih penting daripada pergerakan dengan bola, dan seorang penyerang tengah kapabel ditugasi menjaga deep-lying playmaker lawan. Ketika pemain-pemain dunia mampu dengan fasih menjalankan peran itu, bagaimana dengan pemain-pemain Indonesia? Pemain kita masih saja mengirim umpan lambung dari belakang yang sudah pasti dimentahkan bek lawan dengan mudah. Pemain kita juga sering mengirim umpan terobosan untuk dikejar pemain sayap, lalu mengumpan ke penyerang yang diharapkan mampu menggocek 2-3 pemain lawan. Begitu saja permainan timnas kita sepanjang 10 tahun belakangan. Tidak bisa bermain rapi dan terorganisir.
Apakah hal ini salah pemain? Tentu saja bukan. Pemain hanyalah mengikuti instruksi pelatih, mengikuti kompetisi dan bergabung dengan klub bagaimanapun mereka diperlakukan, bahkan pemain yang tidak digaji berbulan-bulanpun akan dikenai sanksi jika mogok bermain. Hal ini semata menunjukkan bahwa pemain tidak punya power untuk merubah sistem. Meminjam kata-kata Hedi Novianto, permainan long pass dan tidak terorganisir ini memang masih bisa berjalan di liga domestik, mengingat mereka menghadapi lawan yang memiliki cara identik dan kekuatan lawan yang setara, namun beda ceritanya ketika menjalani laga internasional.
Taktik yang ketinggalan jaman, cara bermain yang serba sporadis dan individualis adalah produk akhir dari kompetisi lokal yang tidak dikelola dengan benar. Zen RS pernah menuliskan bahwa tidak adanya program pendidikan pelatih ke negara sepak bola maju adalah salah satu persoalan. Taktik kita ketinggalan jauh, seolah seperti murid sekolah yang terus tinggal kelas.
Saya jadi teringat teriakan Nil Maizar kepada anak-anak asuhannya dalam sebuah laga kala ia masih melatih timnas. ‘Main yang sabar! One
touch!’ Bermain sabar, mengatur tempo dan melakukan sedikit sentuhan terdengar gampang,
tapi nyatanya sangat sulit dilakukan. Johan Cruyff sendiri yang bilang kalau memainkan sepak bola yang simple adalah hal tersulit dari menjadi pesepakbola.
“Dit, gue
dipanggil seleksi salah satu tim kasta tertinggi. Doain supaya gue bisa
diterima ya.” Sebagai teman, seharusnya saya turut senang dengan peristiwa itu.
Tapi kemudian saya malah bingung karena teman saya itu sudah berusia 25 tahun
dan ia sama sekali tidak pernah menjadi pemain profesional melainkan hanya
berstatus sebagai pesepakbola tarkaman yang menjadikan sepak bola sebagai
sampingan.
Bagaimana bisa
sebuah tim yang (katanya) profesional mengundang
seorang pemain semi-profesional berusia 25 tahun tanpa dasar pendidikan sepak
bola yang kuat untuk mengikuti seleksi? Kabar berikutnya yang saya dengar memang teman saya itu
tidak lolos, namun mendengar bahwa ia bisa sampai ke tahap seleksi sebuah tim profesional sungguh mengherankan. Jelas sekali menunjukkan bahwa sistem
pembinaan pemain kita belum cukup untuk memasok pemain ke klub.
No comments:
Post a Comment