Milanisti mana
yang tidak gemas melihat pergerakan tanggung transfer Milan? Bukan hanya
sekarang, tapi beberapa tahun kebelakang. Buku kas Milan harus seimbang, tidak
boleh ada kas keluar untuk membeli pemain sebelum ada yang pergi. “Kita tidak
bisa membeli sebelum menjual.” Begitu kata Adriano Galliani berkali-kali.
Kondisi finansial
Milan memang mengenaskan. Dalam dua tahun terakhir selalu mengukir kerugian
diatas 50 juta euro –jumlah yang melebihi ambang batas yang ditetapkan UEFA
melalui Financial Fair Play (FFP)- yang pada akhirnya memaksa Milan untuk
melakukan pengetatan belanja secara ekstrim. Masih untung musim panas ini tidak
terjadi lagi overhaul skuat seperti tahun lalu. Biaya gaji Milan juga tidak
terkontrol. Swiss Ramble sudah menuliskannya dengan komprehensif dalam
tulisannya yang lebih menyerupai laporan audit bahwa biaya gaji Milan adalah
salah satu yang tertinggi di Italia, mencapai 200 juta euro per tahunnya,
padahal pendapatan hanya 20-30 juta lebih banyak. Dari sisi bisnis, sangat
tidak sehat.
Orang bijak
bilang, apa yang kita alami sekarang adalah buah dari apa yang kita lakukan di
masa lalu. Milan benar-benar memetik buahnya sekarang. Untungnya ada FFP yang
sangat memberi efek disintensif pada kelakuan jor-joran klub sepak bola,
termasuk Milan. Tidak hanya mampu menghemat anggaran belanja dan gaji pemain,
Milan juga punya basis pendapatan komersial yang paling tinggi diantara
klub-klub Italia lain berangkat dari kesadaran akan pentingnya mendapat lisensi
dari UEFA sebagai tanda lulus tes FFP.
Tapi tetap saja
toh hal ini tidak banyak berpengaruh pada kebijakan transfer Milan. Peningkatan
performa dari tim marketing and
communication Milan memang berangkat dari kesadaran mereka untuk makin
memperkuat brand ke level global. Tahun 2012 lalu, Deloitte mengemukakan Milan
memperoleh nyaris 100 juta euro dari kegiatan komersial mereka, atau yang
tertinggi diantara klub Italia lainnya. Namun hal ini masih belum cukup –setidaknya
saat ini- untuk mendongkrak performa tim lewat penguatan pemain di bursa
transfer.
Keisuke Honda
dan Adem Ljajic adalah pemain yang kini diidam-idamkan Milanisti. Apalagi seiring
keinginan Milan menggunakan taktik 4-3-1-2 yang tentunya membutuhkan
trequartista handal seperti mereka. Harga Honda maupun Ljajic sebenarnya tidak
mahal-mahal amat. Total, mereka berdua berharga tidak lebih dari 20 juta euro. Milan
akhirnya rela menunggu Honda hingga Januari, saat kontrak sang pemain CSKA
Moskow tersebut habis dan Milan dapat menggaetnya dengan gratis. Kondisi finansial
lah yang menyebabkan pengeluaran 10 juta euro untuk satu orang pemain menjadi
barang yang terlalu mewah untuk Milan.
Penghalang terwujudnya
transfer ini adalah masih bertahannya Kevin-Prince Boateng dan Robinho. Dua pemain
ini menjadi pesakitan di Milan karena performa mereka yang jauh dari kata impresif
musim lalu. Ditambah lagi, skema 4-3-1-2 tidaklah cocok untuk mereka, terutama
Boateng. Mereka meminta gaji yang mahal dari calon pembeli masing-masing, dan
Milan juga menuntut nilai transfer mahal pula. Tidak terdapat titik temu antara
harga dan kualitas pemain, yang membuat mereka sulit dijual.
Efek dari
kegagalan transfer ini bisa bermacam-macam. Baik Robinho atau Boateng akan menjadi
kambing hitam yang tidak disukai tifosi karena dianggap menghambat kedatangan
Honda dan Ljajic. Milan bisa jadi kembali menggunakan pola 4-3-3, pola yang
sebetulnya cukup sukses membawa mereka ke posisi 3. Memasang Riccardo Saponara
dan membebaninya untuk langsung memberi efek besar bagi Milan bukanlah tindakan
bijak lantaran sang pemain masih sangat muda. Tanpa kehadiran Honda dan Ljajic,
pola 4-3-3 memang patut dipertahankan karena dengan pemain yang ada, Milan
lebih cocok bermain dengan pola ini, dengan Saponara diposisikan sebagai wide playmaker di sisi kanan. Tidak menempatkan
Saponara di posisi terlalu sentral pada fase ini sepertinya pilihan yang bijak.
Mempertahankan pemain
yang tidak cocok dengan skema dan tidak mampu bermain maksimal memang bukan
pilihan bijak. Jika benar harus menunggu Honda hingga Januari, nampaknya Milan
harus bersiap dengan segala kemungkinan yaitu mengubah taktik di pertengahan
musim. Musim lalu, aneka taktik telah dicoba Max Allegri hingga ia ajeg dengan
4-3-3. Namun jika ternyata pola 4-3-3 masih memberi hasil positif, beranikah
Milan berganti ke pola 4-3-1-2 di tengah musim?
Inisiasi pola
baru idealnya sudah dilakukan sejak awal musim, bahkan sejak latihan
pre-season. Pola 4-3-1-2 yang lebih narrow
akan memaksa sejumlah pemain seperti Stephan El Shaarawy, yang biasa bermain
sebagai wide forward untuk
beradaptasi lagi. Belum lagi menyebut Mario Balotelli, yang nampak lebih nyaman
bermain sebagai penyerang tengah tunggal yang dibiarkan bergerak bebas. Jika berduet
dengan El Shaarawy, ada kekhawatiran bahwa ruang gerak Balo akan terlimitasi
karena harus berbagi dengan Il Faraone.
Bagaimanapun implementasinya
nanti di lapangan, adalah tugas Allegri untuk segera memutar otak dalam
menemukan formula yang paten. Skema paten ini akan sangat menentukan akan
berada dimana Milan pada akhir musim. Start buruk dan lambat memiliki
konsekuensi yang sangat berat. Membicarakan scudetto memang terlalu prematur,
namun buat Milan, mampu menduduki 3 besar di Seri a sekaligus melangkah sejauh
mungkin di Liga Champions sudah menunjukkan bahwa tim ini berada di trek yang
benar.
No comments:
Post a Comment