Keep it low, capitano. Foto dari maulagi.info |
Ketika wasit Paolo Tagliavento
meniup peluit akhir pertandingan Fiorentina lawan Milan di Firenze yang
berakhir 2-2, ia mungkin merasa puas, atau lega, atau menyeringai, atau mungkin
juga berkata “What have I done?”
Ada beberapa pendapat yang
familiar saya dengar, bahwa kebobrokan pertahanan bukanlah kejahatan dalam
sepak bola, melainkan hal krusial demi menciptakan pertandingan yang seru. Namun
jika anda mengaplikasikan hal itu di Italia, anda akan gagal.
Italia adalah surganya pemain
bertahan. Posisi pemain bertahan menjadi posisi impian banyak anak muda Italia,
untuk itu, mengabaikan pertahanan adalah dosa besar. Dan jika anda baru belajar
menggemari sepak bola Italia, atau sudah lama menggemari calcio, izinkan saya
mengingatkan sebuah fakta lagi agar anda tidak perlu terlalu mendramatisir
berlebihan sebuah hasil pertandingan. Ingat juga, sepak bola Italia bukanlah referensi bijak untuk pelajaran moral. Anda tidak bisa mengharap ending yang typical saat menonton sepak bola Italia.
Ya, perilaku wasit di Italia
adalah sesuatu yang menarik dibicarakan. Arbitro, sebutan mereka di Italia cukup banyak menjadi
penentu hasil pertandingan lewat keputusan-keputusan kontroversial mereka. Tentu
saja mereka melakukan ini bukan tanpa sebab, namun memang ada pihak-pihak yang
mengendalikan dari singgasana empuk mereka di manapun berada. Dan lagi-lagi, kultur
mengedepankan hasil diatas segalanya adalah alasan dibalik semua kegilaan ini.
Sebelum menghakimi lebih jauh, mungkin
juga banyak yang lupa bahwa menjadi wasit sepak bola adalah salah satu
pekerjaan paling sulit di dunia. Sebagai pihak yang memimpin pertandingan,
kenyataannya penonton lebih sering mengingat kesalahan-kesalahan sang arbitro
ketimbang fakta bahwa segala keputusan yang dibuatnya harus cepat dan tidak
boleh salah. That's a hell kind of job.
Ya, kadang kita sebagai penonton
mengharap wasit seperti Tuhan, yang tidak boleh salah. Saya sudah berkali-kali melihat
dengan mata kepala sendiri bagaimana seorang wasit yang dipukuli,
dikejar-kejar, diancam, diintimidasi padahal ia (setidaknya) telah
berupaya memimpin pertandingan dengan baik.
Di Firenze beberapa saat lalu,
Tagliavento lebih banyak disorot dan dibicarakan ketimbang pemain-pemain yang
beraksi di lapangan, maupun kedua pelatih yang beradu taktik dengan sengit di
pinggir lapangan. Tagliavento seperti tidak rela jika hanya Howard Webb dari
liga “terbaik” saja yang menjadi terkenal. Sebagai putra asli dari negara yang
memiliki intrik sepak bola terumit di dunia, Tagliavento tentu ingin merebut
atensi lebih.
Itulah mengapa saya hanya
menertawai saja apa yang dilakukannya sepanjang laga. Bagaimana ia memberi
kartu merah pada Nenad Tomovic, memberi dua hukuman penalti pada Milan atas pelanggaran
yang terlihat ringan (dari layar kaca), juga banjir kartu yang ia keluarkan
hingga koor tifosi di Artemio Franchi seperti lebih kencang dari biasanya.
Jelang laga ini, memang publik
sudah megantisipasi panasnya bentrokan kedua kubu. Fiorentina sebagai pihak
yang selalu merasa “dicuri” dalam beberapa hal, selalu termotivasi jika bertemu
tim-tim jawara dari sebelah barat laut kota mereka. Ketatnya persaingan di liga
ditambah faktor Riccardo Montolivo sebagai eks pemain La Viola menambah panas
atmosfir laga.
Montolivo, bagaimanapun semakin
lama semakin membuat saya terpesona. Ia tidak pernah berusaha menjadi Andrea
Pirlo, cult hero Milan di era Ancelotti yang telah hijrah ke Juventus. Ia tidak
pula berupaya membuat sensasi berlebih, meski penampilannya sejauh ini sungguh
spektakuler. Dalam sebuah momen di menit awal laga, ia dengan cerdik merebut
bola dari David Pizarro, lalu dengan dingin menaklukkan Emiliano Viviano. Ia menolak
selebrasi karena rasa respeknya pada mantan klub.
Fiorentina semakin sial dan
menunjukkan tanda-tanda kekalahan saat dua pemainnya, dua Stevan dari Montenegro,
Savic dan Jovetic, harus ditarik karena cedera. Petaruh ekstrim sekalipun tidak
akan berani bertaruh untuk Fiorentina. Ditambah bermain dengan 10 pemain,
peluang La Viola boleh dibilang sulit, jika mustahil adalah kata yang terlalu
kejam.
Belum cukup derita si ungu,
Mathieu Flamini mampu membelokkan umpan tarik kencang Montolivo hingga membawa
Milan memimpin 2 gol. Sebuah keunggulan yang seharusnya nyaman, dan boleh jadi
membuat Berlusconi dan Galliani melanjutkan kegiatannya yang lain. Namun,
di sinilah sepak bola Italia menunjukkan panggung terbaiknya.
Milan mendapat dua penalti. Yang pertama,
Adem Ljajic dengan luar biasa melewati sekompi pertahanan Milan, sebelum
Antonio Nocerino menghentikannya. Nocerino sendiri tidak banyak komplain setelah
Tagliavento memberikan hadiah penalti kepada Fiorentina. Ini pertanda apa? Anda
nilai sendiri.
Penalti kedua memang sedikit
debatable. Pelanggaran ringan Mattia De Sciglio atas pemain sayap licin Juan
Cuadrado di area terlarang membuat Tagliavento kembali mengangkat tangan sejauh
45 derajat sekaligus membuat Diego Della Valle dan anaknya di ruang boks VVIP
Artemio Franchi melonjak girang. Ya, kita bisa memaklumi kehijauan De Sciglio
di sini. Ia masih muda, dan baru disorot dalam debutnya bersama timnas senior Italia.
Lalu, apakah Tagliavento balik
mendukung Fiorentina di babak kedua? Ketimbang menyoroti bagaimana Tagliavento
memimpin laga, termasuk ngetwit kenapa handsball Roncaglia tidak diganjar
penalti di akhir laga, saya lebih memilih untuk angkat topi pada Vincenzo
Montella. Il Aeroplanino terus menunjukkan kelasnya sebagai pelatih jempolan.
Meski kalah jumlah pemain, timnya tidak kehilangan kendali laga.
Ia tetap mempertahankan trio
passer Pizarro, Aquilani dan Borja Valero untuk menjamin bahwa mereka akan
terus menciptakan peluang. Ia memasukkan Migliaccio, seorang gelandang,
menggantikan Ljajic untuk terus mempertahankan momentum sekaligus membatasi
ruang para gelandang Milan. Montella menunjukkan bahwa ia adalah tipe pelatih
yang selalu ingin timnya menguasai laga. Dengan kemenangan ball possession atas
Milan, tim terbaik kedua di liga soal ini, Montella menunjukkan kematangan yang
jarang dimiliki pelatih muda seangkatannya.
Bukan soal siapa yang lebih baik
daripada Montella atau Allegri yang ingin saya bicarakan di sini, namun
ketidakmampuan Milan mempertahankan keunggulan ditengah berbagai keuntungan
yang mereka miliki adalah sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi. Allegri
kembali mendapat pembelajaran berharga, meski hasil imbang di Firenze ini juga
bukanlah hasil buruk.
Baik Allegri maupun Montella
tidak berlebihan menyalahkan Tagliavento. “Wasit memberi keputusan yang
menguntungkan sekaligus merugikan kedua belah pihak.” Jelas Allegri. Sementara
Montella mengaku hanya mengajak bertaruh makan malam sang wasit terkait
kebenaran keputusan kartu merah Tomovic.
Allegri sendiri menambahkan poin menarik.
“Paradoxally, kami bermain lebih baik menghadapi 11 ketimbang 10 orang.” Yeah
mister, saatnya pendewasaan lagi dan lagi. Tim yang baik adalah yang
berkembang, bukan yang cepat puas.
Lupakan Tagliavento. Move on. Ingatlah
laga ini dari sudut pandang sepak bola saja. Ingatlah laga ini sebagai laga
paling berani yang dilakoni Montolivo.
No comments:
Post a Comment