The Final |
Setelah selama hampir
sebulan disuguhi atraksi fenomenal dari tim-tim terbaik benua biru, tibalah
saat yang paling ditunggu-tunggu para pecinta sepakbola, termasuk kita yang
dari timur jauh untuk menyaksikan laga final Piala Eropa 2012 antara Spanyol
melawan Italia. Dalam lima pertemuan terakhir termasuk di babak penyisihan yang
berkesudahan 1-1, kedua tim sama-sama memenangi satu laga, dan dua laga sisanya
berakhir imbang. Hal ini menyimpulkan tipisnya disparitas kekuatan kedua tim.
Perjalanan
mengagumkan si biru
Sekitar tujuh bulan lalu,
sepakbola Italia diguncang berita menggemparkan. Seorang penyerang dari klub AC
Milan, Antonio Cassano rubuh di bandara Malpensa beberapa jam setelah Milan
menahan imbang AS Roma pada lanjutan kompetisi seri a Italia. Cassano didiagnosa
mengalami serangan stroke yang hampir merenggut nyawanya.
Saat itu fantanito padahal
sedang berada dalam permainan terbaik sepanjang karirnya dengan memimpin
perolehan assist dan menjadi duet
sehati bagi Zlatan Ibrahimovic di Milan. Fantanito juga menjadi pilihan utama
pelatih Cesare Prandelli di tim nasional Italia untuk menjalani babak
kualifikasi Euro 2012. Segenap pemain dan pengurus Milan dilanda keguncangan
hebat, keguncangan yang kemudian membuat Milan mengambil langkah cepat dengan
mencoba membeli Carlos Tevez dari Manchester City, walaupun belakangan transfer
tersebut urung terwujud.
Presiden FIGC, federasi
sepakbola Italia, Giancarlo Abete menjenguk Cassano seraya berkata “Lupakan Milan, lupakan Euro. Pentingkan
kesembuhanmu.” Fantanito sudah tidak lagi diharapkan untuk menjadi ujung
tombak la nazionale. Ia menyusul Giuseppe Rossi, yang telah lebih dulu mengalami
cedera parah yang memaksanya absen setahun lebih.
Cesare Prandelli jelas
sangat pusing dengan fakta bahwa dua penggedor utamanya tidak dapat dia gunakan
dalam wajah baru tim nasional yang telah dia kampanyekan. Prandelli sejak awal
menegaskan akan meninggalkan cara lama catenaccio dalam pendekatan permainan
timnas. Bahkan Prandelli dengan gamblang pernah berkata bahwa ia ingin meniru
permainan tiki-taka Spanyol yang mengandalkan penguasaan bola yang dominan
untuk mengalahkan lawan.
Cassano dan Rossi sejatinya adalah kepingan
penting pola baru ini. Kedua pemain ini bukanlah penyerang atletis yang mampu
mengintimidasi bek lawan secara fisik layaknya penyerang-penyerang
konvensional. Prandelli berupaya menggunakan false nine dalam strateginya, yang membuat Italia bermain lebih
dalam dan mengalir.
Namun siapa sangka salah
satu dari kedua attacante, yaitu
Cassano hari ini akan bersiap untuk menghadapi partai final di kejuaraan yang
sebenarnya nyaris tidak bisa dia ikuti. Keteguhan dan kesabaran sang pemain
dalam menghadapi sakitnya adalah kunci kesembuhan, ditambah dari dukungan luar
biasa dari berbagai pihak. Demikian dengan Prandelli, dia tetap menaruh
keyakinan pada pemain bengal ini meskipun baru menjalani comeback-nya, yang tentu saja belum kembali ke bentuk terbaiknya.
Kepercayaan Prandelli
tidaklah salah. Cassano menjadi salah satu aktor penting bagi perjalanan
brilian gli azzuri walaupun belum mencapai match fitness sempurna. Selain selalu menjadi starer, Cassano mencetak satu gol ke
gawang Republik Irlandia dan sebuah assist untuk Mario Balotelli pada partai
melawan Jerman di semifinal. Cassano jugalah yang membuat Balotelli merasa
telah menemukan teman sehati. Balotelli yang semula diplot menjadi pilihan
setelah Rossi, kini membuktikan siapa dirinya kepada para pengkritik. Sifat
yang mirip antara keduanya membuat Balotelli merasa nyaman dan imbasnya adalah
penampilan terbaiknya saat melawan Jerman.
Secara tim, performa Italia kali
ini dianggap sebagai salah satu yang terbaik di turnamen. Mereka bermain dengan
hati, begitulah anggapan banyak pecinta sepakbola. Ucapan dari Arrigo Sacchi
benar-benar terbukti. “For Italians,
football is not a game. It’s a reflection of society. So football has to be
sufferance, sacrifice, craftiness and improvisation. Italians have brought
football to their style of life.” Begitulah gambaran permainan tim nasional
mereka di Euro 2012 ini. Mereka adalah tim yang bermain dengan hati dan
memberikan segalanya di lapangan. Mentalitas yang juga mereka bawa ke kehidupan sehari-hari
mereka dalam menghadapi krisis ekonomi yang menjerat, juga mentalitas yang sama yang membawa mereka empat kali meraih Piala Dunia.
Perjalanan berliku Italia
menuju final Euro 2012 bisa dikatakan sebuah perjalanan epik, sama seperti perjalanan Chelsea menjuarai Liga Champions baru-baru ini. Mereka melaju
dengan berbagai kesulitan dan kejanggalan. Publik juga tidak menempatkan mereka
sebagai unggulan utama, seolah lupa bahwa tim ini telah memenangi empat Piala Dunia
dan sebuah Piala Eropa.
Banyak orang yang memuja Andrea Pirlo seolah pemain ini adalah anak kemarin sore yang tiba-tiba muncul mengejutkan banyak orang. Italia selalu
menjadi tim underdog sejak babak knock-out, namun mampu menjawab segala
keraguan publik. Publik juga seolah lupa bahwa Pirlo juga bermain seperti
sekarang ketika membawa Italia menjuarai Piala Dunia 2006. Hanya saja di 2006 gli azzuri masih diperkuat pemain-pemain
berpengaruh lainnya seperti Francesco Totti, Alessandro Del Piero dan Fabio
Cannavaro, sehingga atensi media dan lawan terbagi kepada pemain-pemain
tersebut dan saat itu Fabio Cannavaro didaulat menjadi pemain paling
berpengaruh dalam kemenangan Italia dengan ganjaran Ballon d’or.
Tidak banyak yang membahas
peran para partner Pirlo di tengah. Mereka
melakukan berbagai dirty jobs demi
membuat sang regista nyaman mengorkestra
permainan. Jika di 2006 Pirlo memiliki Gennaro Gattuso, kini Pirlo memiliki duo
Claudio Marchisio dan Daniele De Rossi sebagai dua pelindung sang deep-lying playmaker seperti halnya
strategi yang dikembangkan Antonio Conte di Juventus, dimana tugas tersebut
diemban oleh Marchisio dan Arturo Vidal.
De Rossi, walaupun bagian
dari skuad 2006, juga dapat dianggap sebagai pemain kunci tim ini. Pemain yang
selalu memberikan 110% dari setiap penampilannya mengungkapkan bahwa dia selalu
memperlakukan setiap pertandingan dengan sama, yaitu sikap totalitas. “Saya
memperlakukan partai melawan Jerman di semifinal besok, sama pentingnya dengan
partai Roma melawan Triestina di Coppa Italia beberapa waktu lalu.” Demikian
ungkap De Rossi dalam wawancaranya sebelum partai melawan Jerman.
De Rossi melalui turnamen
ini nyaris tanpa cela. Dia rela bermain dengan peran apapun yang diinstruksikan
pelatih. Kemampuan defence-nya yang
baik membuatnya dua kali menempati posisi sentral pertahanan dan menambah
panjang daftar pemain yang mampu berposisi sebagai false defender sebagai tuntutan sepakbola modern yang meninggalkan
peran rigid dari para pemain di lapangan. Sejauh ini, tidak ada De Rossi yang menyikut
Brian McBride seperti di 2006, atau De Rossi yang melakukan diving epic pada
partai melawan Paraguay di Piala Dunia 2010.
Apakah
Spanyol tim yang membosankan?
Sementara Spanyol sedari
awal turnamen sudah difavoritkan untuk mampu mempertahankan gelar mereka,
sekaligus mencetak hattrick kemenangan di kejuaraan besar secara beruntun. Filosofi
tiki-taka yang mereka kembangakan telah menyumbangkan dua gelar turnamen besar
terakhir yang mereka ikuti.
Sebagai bangsa yang sukses
menjadi tujuan wisata sepakbola, Spanyol menularkan demam sepakbola klub-klub
mereka kepada tim nasional. Sebelum raihan Euro 2008, publik menganggap Spanyol
hanyalah tim yang mampu bermain cantik namun tidak mampu meraih gelar. Kerumitan
sosio-kultural yang membagi negara ini kedalam suku castillan, catalonia, aragon dan basque ini menjadikan potensi disintegrasi dalam tim lebih
besar. Namun sejak 2008, mereka berubah menjadi tim juara dari sekedar tim yang
bermain cantik.
Tiki-taka Spanyol
menghasilkan minimal 9 passing dalam satu tembakan ke gawang. Sistem yang mulai
dibilang membosankan oleh berbagai pihak ini adalah pengembangan dari totaal
voetbaal karya Rinus Michels di tahun 1970an. Sistem ini mengharuskan rotasi
posisi pemain yang bahkan lebih banyak menghasilkan pemain palsu. Tidak ada
bomber bertipe poacher yang kuat di
udara dan mampu berduel dengan bek lawan, sebagai gantinya mereka menggunakan false nine yang bermain lebih kedalam
dan berupaya menarik bek lawan meninggalkan posnya. Inilah jawaban mengapa duo Fernando,
Torres dan Llorente jarang masuk skuad.
“Pemain palsu” lainnya dalam
tim ini adalah Gerard Pique dan Sergio Busquets. Kedua pemain ini sejatinya
memiliki kemampuan passing dan control permainan yang bagus. Tuntutan tiki-taka
membuat mereka bermain jauh ke belakang demi lancarnya aliran bola di wilayah
sepertiga pertama lapangan.
Tiki-taka ini dikombinasikan
dengan elemen-elemen kejutan yang bisa dipercikkan oleh Xabi Alonso. Kemampuan passing
jarak jauh dan eksekusi bola mati pemain asal Basque ini setara dengan Pirlo. Produktivitas
gelandang tengah ini jugalah yang turut membawa Spanyol mengatasi perlawanan
Prancis di babak perempat final. Elemen kejutan lainnya yang bisa menjadi
senjata Del Bosque adalah duo Fernando, yaitu Torres dan Llorente serta Jesus
Navas. Ketiga pemain yang masih miskin minute play dan minim argo gol ini
seolah hanya diperlukan di saat genting saat skema tiki-taka tidak kunjung
melumpuhkan lawan.
Jadilah
saksi sejarah
Menarik ditunggu duel tim
yang sejatinya memang terbaik di Eropa saat ini. Duel dua negara yang sedang
mengalami krisis ekonomi dan berupaya menjadikan sepakbola sebagai obat dari
kesusahan yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua tim inilah yang menyajikan
partai paling seru di babak penyisihan Euro 2012. Namun jika dilihat dari
grafik, kelelahan tim Spanyol, yang mayoritas pemainnya memperkuat Barcelona
dan Real Madrid yang bermain di lebih dari 50 pertandingan membuat mereka perlu
mewaspadai faktor keletihan yang membuat grafik permainan tim ini terkesan kian
menurun dari awal hingga ke partai puncak.
Sementara Italia yang
mengalami start lebih lamban daripada Spanyol, kian menampilkan penampilan yang
menanjak dari babak awal hingga final. Pencapaian epik Italia hingga ke final saat
ini ditengah berbagai masalah yang mereka hadapi bahkan sudah membuat mereka
seperti menjadi jawara turnamen ini bahkan sebelum bertanding. Pemenang pertandingan
ini adalah tim yang mampu menjaga intensitas permainannya, lebih disiplin di
belakang dan mampu memanfaatkan peluang sekecil apapun untuk menciptakan gol. Kedua
tim ini memiliki ketiga faktor tersebut. Pertandingan paling seru jilid dua
siap mentas. Jadilah saksi sejarah.
Italia dikabarkan tidak akan
kembali menggunakan skema 3 bek seperti di pertemuan mereka di babak
penyisihan. Formasi diamond kesukaan Prandelli akan beradu dengan formasi 4-6-0
Vicente Del Bosque yang menurut pandangan saya sama sekali tidak membosankan, namun membunuh lawan
pelan-pelan.
Apapun hasilnya, kedua tim
ini telah berhasil menjawab slogan turnamen ini. Siapakah diantara dua penjaga
gawang terbaik dunia, Iker Cassilas dan Gianluigi Buffon yang akhirnya akan
mengangkat trofi Henry Delaunay? Let’s
create history together.
No comments:
Post a Comment