Glasgow Rangers, bermain di divisi 3 musim depan |
“So
go there out into history
And show them how easy it can be
You might not believe it yet
But pretty soon you’ll see
Even long shots make it
And show them how easy it can be
You might not believe it yet
But pretty soon you’ll see
Even long shots make it
Just
don’t come home too soon… Just don’t come home too soon…
I
don’t care what people say, we can laugh it all away
But if I have a dream along at all for once you won’t be on that stupid plane.”
But if I have a dream along at all for once you won’t be on that stupid plane.”
Anda familiar dengan potongan
lirik lagu diatas? Jika Anda mengikuti Piala Dunia 1998 di Prancis, pasti
pernah mendengar lagu ini. Lagu yang sangat menggugah hati berjudul Don’t come home too soon yang
dinyanyikan oleh Del Amitri ini adalah bagian dari kompilasi album resmi Piala
Dunia 1998 sebagai bentuk dukungan kepada tim nasional Skotlandia sebagai salah
satu partisipan turnamen sepakbola terakbar dunia empat tahunan itu.
Lirik dalam lagu ini melambangkan
ekspektasi rakyat Skotlandia terhadap pencapaian tim nasionalnya. Mereka
bersikap realistis terhadap peluang tim yang dipimpin oleh pelatih Craig Brown
tersebut. Rakyat dari negara yang beribukota di Edinburgh tersebut hanya
berharap tim nasional mereka tidak buru-buru kembali ke tanah air, yang berarti
mereka tersingkir lebih awal.
Kenyataannya, The Tartan
Army memang tersingkir di penyisihan grup, namun lagu tersebut membawa kesan mendalam bagi saya pribadi. Lagu yang melambangkan semangat tempur pihak underdog yang berupaya mengalahkan kemapanan. Meskipun akhirnya gagal, permainan penuh semangat Jim Leighton cs mampu mewarnai turnamen seakbar Piala Dunia. Setelah mampu membuat Brasil
membutuhkan gol bunuh diri Tom Boyd untuk mengalahkan mereka dengan skor 1-2,
mereka berhasil menahan imbang Norwegia 1-1. Sayang di pertandingan terakhir
penyisihan grup mereka dikandaskan Maroko 0-3.
Rangkaian cerita petualangan
Skotlandia di turnamen besar sepakbola dunia ini mengikuti cerita dua tahun
sebelumnya ketika mereka menjadi peserta Euro 1996 di Inggris. Ketika itu,
mereka mampu menahan imbang tanpa gol tim kuat Belanda dan mengalahkan Swis. Namun
gol magis Paul Gascoigne yang menipu mentah-mentah bek tangguh Colin Hendry
memupus harapan negara tempat dipakainya rok yang disebut “kilt” itu ke babak
perempat final karena kalah selisih gol dari Belanda.
Setelah 1998, prestasi
sepakbola Skotlandia memang menurun drastis, terlihat dari absennya mereka dari
seluruh turnamen besar setelahnya. Bahkan menuju babak play-off hanya sekali
ketika mereka disingkirkan Inggris dalam Battle of Britain untuk menentukan
kelolosan ke Euro 2000.
Penurunan prestasi itu
berlanjut hingga kini. Skotlandia sudah berganti-ganti pelatih sejak Craig Brown
mengundurkan diri pada tahun 2000. Hubert “Berti” Vogts, Walter Smith, Alex
McLeish, George Burley hingga sekarang Craig Levein mencoba membangkitkan
sepakbola Skotlandia, namun prestasi mereka kembali stagnan. Beberapa media
menganggap kemerosotan prestasi mereka salah satunya diakibatkan oleh minimnya
talenta besar yang mereka miliki. Bahkan Islandia, yang tradisi sepakbolanya masih dibawah, mampu memproduksi
pemain-pemain yang lebih baik dari mereka belakangan ini.
Dan yang paling aktual kini adalah tragedi yang menimpa salah satu dari dua klub sepakbola terbesar mereka, yaitu Glasgow Rangers. Gers harus menerima hukuman untuk didegradasi ke divisi 3 karena lilitan hutang mereka yang berjumlah total 134 juta poundsterling kepada berbagai kreditor, termasuk HM Revenue and Customs (HMRC), buntut dari buruknya manajemen yang mereka jalankan selama ini.
Dan yang paling aktual kini adalah tragedi yang menimpa salah satu dari dua klub sepakbola terbesar mereka, yaitu Glasgow Rangers. Gers harus menerima hukuman untuk didegradasi ke divisi 3 karena lilitan hutang mereka yang berjumlah total 134 juta poundsterling kepada berbagai kreditor, termasuk HM Revenue and Customs (HMRC), buntut dari buruknya manajemen yang mereka jalankan selama ini.
Terdegradasinya rival abadi Glasgow Celtic tersebut bukan hanya menjadi tragedi bagi klub, namun bagi sepakbola level atas Skotlandia yang merupakan tulang punggung bagi tim nasional mereka. Ketiadaan Gers di kompetisi top flight otomatis akan membuat liga yang selama ini saja sudah dianggap membosankan akan menjadi semakin suram saja.
Liga yang dianggap membosankan itu sebelumnya masih menyisakan Derby Old Firm sebagai satu-satunya daya tarik. El Classico ini mempertemukan si hijau Celtic sebagai representasi katolik Irlandia dan si biru Rangers sebagai representasi anglikan Inggris, kini bagaimana masa depan liga mereka itu tanpa salah satu derby paling banyak ditonton di dunia ini. Sebuah analogi dari percobaan ilmiah, zat berwarna hijau dan biru tersebut jika dicampur akan menimbulkan kehancuran, namun jika dipisahkan akan tercipta sesuatu yang dinamakan “Old Firm”, sebuah termin sakral yang telah satu abad lebih menjadi bagian dari sepakbola skotlandia dari sisi kultural yang menjadi identitas penggemar mereka.
Efek bola salju dari hal ni sudah terbayang. Berkurangnya minat penonton dan media dalam meliput pertandingan juga akan turut memengaruhi sponsor. Liga Primer Skotlandia terancam memasuki masa paling suram sepanjang sejarah mereka. Glasgow Celtic kini bernasib seperti Boca Juniors yang kehilangan rival abadi mereka, River Plate di kompetisi kasta tertinggi Argentina.
Namun suramnya liga primer
membawa berkah bagi divisi tiga.
Klub seperti Clyde, Annan, Elgin, Mentrose atau Stirling Albion tidak pernah mengantisipasi dalam impian terliar mereka bahwa mereka akan berbagi lapangan yang sama dengan tim sebesar Glasgow Rangers, sekaligus bermain di stadion semegah Ibrox. Efek bola salju yang lebih besar digulirkan Gers akan menggerakkan kompetisi lower division tersebut dan akan menggerakkan grassroots level sepakbola mereka. Tidak lupa menyebut, mereka tetap akan melakoni derby Glasgow, namun kali ini mereka akan siap diladeni klub yang bermarkas di Hampden Park, Queen's Park. Jangan bingung, ini berbeda dengan Queen's Park Rangers, yang baru dihadapi oleh Persebaya ++ minggu lalu.
Kita semua tahu bahwa
pembinaan sepakbola berlangsung dari level paling bawah kompetisi. Dengan partisipasi
Rangers disitu, motivasi lawan-lawan mereka yang mengusung pemain-pemain lokal dan
muda akan meninggi. Banyak calon bintang yang semula tidak terpantau menjadi
memiliki kesempatan yang sama untuk unjuk kemampuan.
Klub-klub divisi tiga tersebut juga akan bersolek dari sisi fasilitas stadion. Mengantisipasi kedatangan tim besar macam Rangers akan memakan persiapan skala besar seperti layaknya mereka kedatangan tamu agung. Karpet merah akan semakin sering digelar di klub-klub yang merupakan akar rumput sepakbola mereka.
Glasgow Rangers tentu tidak ingin berlama-lama berkubang di divisi bawah. Mereka akan berusaha segera kembali ke top flight. Jika mereka promosi dari divisi 3, mereka akan bermain di divisi 2 dimana hegemoni sama akan melanda divisi 2. Begitu selanjutnya hingga akhirnya mereka kembali bermain di SPL, habitat asli mereka. Mampirnya mereka di kompetisi divisi bawah akan sangat mungkin menggairahkan seluruh level kompetisi sepakbola Skotlandia.
Jika mereka mampu menyikapi situasi ini dengan bijak, hal ini akan memperbaiki prestasi tim nasional The Tartan Army. Del Amitri akan siap kembali membuat sambungan Don’t come home too soon. Tragedi telah memberi ruang bagi banyak bangsa untuk merefleksi diri sekaligus menggunakannya untuk menjadi bangsa yang lebih kuat. Sesungguhnya, dibalik kesulitan ada kemudahan.
No comments:
Post a Comment