Monday, April 16, 2012
Saat Sepak Bola Tidak Menarik untuk Dibicarakan
Kehidupan memang penuh misteri dan tidak dapat ditebak. Kesenangan dan bencana kadang hanya berjarak sesaat saja. Di saat persaingan semakin ketat karena memasuki akhir dari kompetisi, dunia sepak bola kembali menyuguhkan cerita tragedi.
Dalam sebulan terakhir, dunia dikejutkan oleh tiga tragedi yang melibatkan pesepakbola yang bermain di Eropa. Yang pertama terjadi bulan lalu saat Fabrice Muamba kolaps di lapangan pada laga Piala FA.
Nyawa Muamba tertolong karena penanganan yang cepat dari tim medis di stadion White Hart Lane dan secara kebetulan ada seorang dokter spesialis jantung yang menonton langsung pertandingan lalu menolongnya. Muamba selamat dari serangan yang hampir merenggut nyawanya.
Kemudian ada Stiliyan Petrov yang harus pensiun dari ingar bingar dunia sepak bola karena penyakit leukemia yang diidapnya. Penyakit ini menurut Mihail Iliev, dokter tim nasional Bulgaria, diduga akibat dari radiasi ledakan nuklir di Chernobyl pada tahun 1986.
Petrov, yang kini berusia 32 tahun, menghabiskan masa kecilnya di Montana, sebuah kota di barat laut Bulgaria yang turut terkontaminasi oleh radiasi nuklir, yang menurut Greenpeace mengakibatkan 200 ribu orang terinfeksi kanker.
Dan yang teraktual adalah tewasnya gelandang muda Livorno, Piermauro Morosini, saat membela klubnya dalam lanjutan kompetisi seri B Liga Italia di Stadion Adriatico, kandang klub Pescara. Dalam rekaman video, terlihat bahwa Morosini terjatuh hingga tiga kali sebelum pingsan.
Terdapat kontroversi, karena menurut laporan tidak ada defibrillator dalam pertolongan pertama di lapangan, walaupun prosedur CPR dilakukan. Mobil ambulans juga baru tiba sekitar enam menit setelah kejadian karena sempat terhambat memasuki pintu stadion akibat terhalang mobil patroli polisi.
Saya pernah mengulas mengenai tragedi kematian pesepakbola sebelumnya saat Fabrice Muamba kolaps, ketika lebih dari separuh kasus kematian pesepakbola terjadi setelah tahun 1990.
Mengapa kini banyak pesepakbola yang meninggal di lapangan hijau? Segala bentuk perhatian atas kepergian para pahlawan lapangan hijau memang telah banyak ditunjukkan.
Pengenaan ban hitam di lengan, minutes of silence sebelum pertandingan, standing ovation maupun beragam testimonial dan bantuan secara moril dan material memang membantu korban dan keluarganya, namun hal ini hanyalah akan menjadi sekadar kampanye belaka tanpa adanya niat untuk mencegah dan memperbaiki segala sistem yang ada.
Usia memang rahasia Sang Pencipta, namun pihak yang berwenang seperti federasi sepak bola dan juga pihak klub perlu mengevaluasi dan memperbaiki lebih banyak hal lagi guna mengurangi risiko seperti ini. Sepak bola terbukti hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sehat.
Untuk itu pihak klub harus secara berkala melakukan pemeriksaan kesehatan pemain dan mempersiapkan perangkat medis di setiap pertandingan seperti kesiapan ambulans dan peralatan pertolongan darurat jika memang kalender pertandingan sepak bola sudah tidak bisa dikurangi lagi dan pemain hanya bisa pasrah mengikuti cepatnya perputaran roda industri sepak bola ini.
Tragedi ini seolah membuat kita sejenak harus berpaling sejenak dari hal-hal menarik yang terjadi belakangan ini di dunia si kulit bundar. Seluruh pertandingan di Italia terpaksa ditunda sesaat setelah berita tersebut menyebar. Antonio Di Natale bahkan menyatakan siap menanggung secara ekonomi biaya dari kakak perempuan Piermauro, yang kini sebatang kara karena orangtua mereka juga telah meninggal dunia.
Begitu pula kemunculan gelandang jempolan yang akan menjadi the next best thing, yaitu Gylfi Sigurdsson yang kian bersinar bersama Swansea. Ataupun gelandang Persiba Balikpapan Asri Akbar, yang mampu membuat dua bek sekelas Abanda Herman dan Maman Abdul Rahman terpeleset akibat gocekannya yang sangat dingin sebelum mencetak gol kemenangan ke gawang Persib Bandung dalam sebuah pertandingan yang sangat seru di Stadion Siliwangi. Mereka harus rela untuk memberikan porsi headline kepada almarhum Piermauro.
Para petinggi federasi sepak bola dan juga pihak klub perlu segera mengambil tindakan pada kasus yang berhubungan dengan nyawa manusia, ketimbang urgensi mengenai penggunaan teknologi garis gawang dan video pertandingan dalam mengesahkan sebuah gol.
Dalam hal ini, AC Milan dan Tottenham Hotspurs sebagai korban “gol hantu” ini juga harus rela untuk menunda perdebatan mereka demi hal yang lebih penting dari sepak bola itu sendiri, yaitu keselamatan para pemainnya.
Seperti kata Adriano Galliani “Saat membicarakan kematian, sepak bola tidak menarik untuk dibicarakan.”
Semoga tidak sekadar retorika kosong belaka.
Arrivederci, Morosini!
Labels:
opini
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment