Bulan lalu, penggemar seri A seolah dilanda euforia ketika Milan membantai Arsenal dan Napoli mengalahkan Chelsea di leg pertama babak 16 besar LC. Inter juga hanya kalah 0-1 di kandang Marseille. Ketika itu ramai orang membicarakan kebangkitan Italia.
Namun apa daya. Di pertemuan kedua, cerita berbeda secara drastis. Chelsea berbalik unggul 4-1, Inter kalah karena away goal dan Milan kalah 0-3. Untungnya Milan masih lolos. Tapi kedigdayaan seri A hanya sampai di situ. Ketika undian mempertemukan Milan dengan Barcelona, seketika itu pula harapan seakan sirna.
Dan saat leg pertama perempat final lalu, Milan memang seolah mengeluarkan seluruh jurusnya, dari sisi teknik maupun sisi mistis. Kostum putih yang mereka gunakan walaupun bermain di atas rumput tidak rata San Siro seolah menganggap ini adalah partai final kejuaraan Eropa. Milan memang tim bertradisi juara yang memegang kepercayaan takhayul ini.
Entah karena kostum putih atau bukan, dalam pertandingan itu Milan dianggap para jurnalis Italia bertahan dengan baik tanpa memakai strategi bertahan. Walaupun tidak mampu merusak irama permainan Xaviesta dan Messi, Milan sempat memiliki beberapa peluang bersih untuk membobol gawang Victor Valdes. Lini pertahanan tampil sempurna, Messi gagal membuat gol setelah delapan pertandingan sebelum ini selalu mencetaknya.
Di leg kedua, Antonio Nocerino melanjutkan performa mengejutkannya musim ini. Kekuatan fisik ala Gattuso dipadukan dengan finishing touch yang lebih baik daripada Robinho membuatnya menjadi pembelian terbaik Milan musim ini.
Dengan harga hanya setengah juta Euro di hari terakhir transfer, Nocerino mampu menjelma menjadi pemain yang tidak terbaca lawan dan sering muncul di posisi bebas menembak. Dia menunjukkannya lagi di Camp Nou. Tendangan akuratnya membuat Camp Nou sempat terdiam.
Namun Barcelona punya Sergio Busquets. Tarikan ringan pada kausnya dalam situasi tanpa bola di kotak penalti segera saja membuatnya refleks terjatuh dan mengangkat tangan. Penalti kedua Messi ini membuat Milan kembali hilang arah, apalagi kemudian klaim penalti Ibrahimovic tidak digubris wasit.
Selanjutnya Andres Iniesta menunjukkan bahwa Ignazio Abate belumlah sekelas Dani Alves yang berkali-kali mampu mematahkan umpan-umpan yang mengarah kepada pemain yang berdiri dibelakangnya. Skor 3-1 seolah mengunci Milan untuk melakukan perlawanan lanjutan.
Kadang kala hal terbaik yang bisa dilakukan setelah kalah melawan tim terbaik adalah mencari kambing hitam. Menyalahkan wasit tentunya paling mudah. Namun apakah kepemimpinan wasit akan semata mengubah hasil tim yang jauh lebih sedikit menguasai bola dan menciptakan peluang?
Milan harus menyadari bahwa level permainan mereka masih jauh di bawah Los Azulgranas. Absennya Xavi terbukti bukan masalah buat mereka karena Thiago Alcantara bermain begitu baik menggantikannya. Begitu pula cederanya Pique, Abidal, dan David Villa yang mampu ditutupi oleh la masia next generation pimpinan Isaac Cuenca dan Cristian Tello. Faktanya, Barcelona mampu memberikan 20 goal attempts berbanding tiga milik Milan. Silakan para Barca-haters mau berkomentar apa, tapi menurut saya tanpa bantuan wasit sekalipun Barca tetaplah lebih pantas menang.
Sebagai fans Milan, saya merindukan pemain-pemain juara seperti Paolo Maldini, Alessandro Costacurta, Franco Baresi, Andrea Pirlo, Kaka, hingga Andriy Shevchenko yang berbuat lebih baik walaupun tanpa harus repot mengurusi gel rambut mereka sebelum pertandingan. Merekalah juara sejati yang membuat Milan ditakuti di level Eropa.
Seedorf, Ambrosini, dan Nesta adalah yang kini tersisa dari para juara itu. Mereka sudah uzur tapi belum tergantikan. Ambrosini terus berlari mengejar para gelandang muda Cules layaknya pemain berusia 10 tahun lebih muda. Begitu pula Nesta yang dengan positioning dan tackling berkelasnya mampu mencegah Messi menari-nari melewati hadangannya.
Keadaan ini tentu membuat petinggi Milan terus saja membujuk para veteran itu untuk bertahan, karena kelas mereka masih dibutuhkan untuk bermain di level tertinggi, seberapapun ringkihnya fisik mereka.
Untuk saat ini, skuad Milan memang masih terkuat di Italia karena faktor Ibrahimovic, yang memang berjodoh dengan kompetisi negara ini. Namun di Eropa beda ceritanya, Ibra masih seperti seorang jago kandang. Milan perlu pendekatan berbeda ketika bermain di Eropa saat Ibra tidak menemukan sentuhannya, layaknya semalam saat dia dipaksa menjemput bola jauh ke belakang, namun terus dihadang Sergio Busquets.
Kevin-Prince Boateng adalah pemain bagus, namun dia perlu menasihati Melissa Satta untuk tidak selalu menggodanya sering berhubungan seks agar dia tidak sering cedera. Nocerino perlu lebih awas agar tidak sering salah umpan dan kehilangan bola.
Emanuelson, Aquilani dan Muntari juga baru bergabung. Begitu pula Stephan El Shaarawy, wonderkid ini perlu lebih banyak jam terbang. Regenerasi ini butuh waktu, namun mereka jelas punya potensi.
Semoga para petinggi Milan terus berbenah untuk kembali menjadi raja Eropa. Penambahan pemain di lini tengah sangat diperlukan, begitu pula lini depan menyangkut kurang maksimalnya kontribusi Pato dan Robinho musim ini.
Pertunjukan pada Rabu (4/4) memperlihatian bahwa dengan skuad yang ada, Barcelona tidak mampu membuat gol ala tiki-taka layaknya yang biasa mereka peragakan. Dua gol penalti dan satu gol berbau keberuntungan jelas bukanlah proses menang yang impresif bagi anak asuh Pep Guardiola. Milan jelas mampu berbuat lebih jika tampil dengan skuad dan pendekatan yang lebih baik.
Barcelona jelas memberi mereka pelajaran.
No comments:
Post a Comment