Pertengahan tahun
2000, mendukung timnas Jerman mungkin akan menjadi bahan tertawaan. Tim dengan
permainan kaku seperti robot, dengan pemain-pemain tua mendominasi, skema yang
tidak jelas ditambah lagi liga yang kurang komersil dan kompetitif. Sepak bola
Jerman kala itu mengalami stagnan yang parah.
Namun seperti
halnya bangsa besar, kegagalan total pada Euro 2000 bukannya membuat mereka
semakin terpuruk, melainkan menjadi alasan kuat untuk bangkit. Jerman melalui
DFB (Federasi Sepak bola) melakukan serangkaian program yang kelak membuat
timnas Jerman menjadi seperti yang kita lihat sekarang dan klub-klub asal
Bundesliga kerap berjaya di Liga Champions Eropa.
DFB ketika
itu menyadari bahwa kunci kegagalan timnas adalah minimnya talentpool alias ketersediaan pemain-pemain berbakat berkelas
dunia. Berangkat dari kesadaran itu, mereka lantas memperbaiki sistem pembinaan
pemain dan kompetisi, dua hal krusial yang menjadi rahasia keberhasilan sepak
bola sebuah negara.
Pembinaan pemain
dimulai dengan pembangunan 366 fasilitas latihan yang tersebar di seluruh
negara. Dengan terbangunnya infrastruktur, maka talenta yang semula terlantar
kemudian akan tersalurkan dengan baik.
Satu
terobosan penting kemudian dilakukan terkait imigran. Menyadari bahwa negeri
Luftwaffe memang banyak dihuni oleh imigran asal Turki, Polandia maupun benua
Afrika, mereka melonggarkan kebijakan terkait imigran tersebut sehingga
talenta-talenta mereka dapat memberi warna baru bagi sepak bola Jerman.
Kini kita
saksikan sendiri betapa Jerman seakan tidak pernah kehabisan talenta. Kolaborasi
talenta pribumi seperti Thomas Mueller, Mario Goetze maupun Marco Reus
bersanding dengan Ilkay Guendogan, Mesut Ozil, Sami Khedira dan lainnya. Bahkan
meskipun Reus dan Guendogan absen dari Piala Dunia 2014 ini, kekuatan Jerman
seakan tidak terpengaruh.
Barisan talenta
ini telah diuji pertama kali saat mereka menjadi tuan rumah tahun 2006. Kala itu
di bawah Juergen Klinsmann, Jerman bermain lebih atraktif dan cair. Mereka akhirnya
terhenti pada babak semifinal di tangan Italia yang akhirnya menjadi juara
turnamen. Namun meski gagal, harapan baru mewarnai sepak bola mereka.
Selanjutnya,
Jerman terus menunjukkan peningkatan permainan dan prestasi. Di bawah Joachim
Loew yang menjadi asisten Klinsmann tahun 2006, Jerman terus memperlihatkan
permainan cantik hasil kolaborasi para pemain-pemain berbakat yang seakan tidak
ada habisnya. Tahun 2008 mereka menjadi finalis Piala Eropa, 2010 mereka
menjadi semifinalis Piala dunia, dan 2012 mereka juga menjadi semifinalis Piala
Eropa.
Setelah puas
hanya menjadi finalis ataupun semifinalis, banyak yang beranggapan bahwa Jerman
masih kehilangan sebuah ciri khas yang di masa lalu menjadikan mereka sebagai
tim juara, yaitu mental. Jerman yang sekarang dinilai hanya bisa bermain cantik
dan mengesankan di awal turnamen, namun melempem jelang akhir turnamen. Karena alasan
itulah, Loew kemudian beradaptasi.
Kedatangan Pep
Guardiola ke Bayern Muenchen awal musim lalu memberi ide pada Loew. Dengan bermaterikan
sebagian besar pemain Bayern, Loew juga sedikit mengkopi apa yang dilakukan Pep
terhadap kapten Philipp Lahm, yaitu menggeser sang bek sayap ke gelandang
bertahan. Dengan kemampuan yang lengkap, Lahm ternyata tidak canggung
memerankan posisi ini.
Kondisi ini
menambah variasi permainan bagi Loew. Pola 4-1-4-1, 4-2-3-1 atau 4-3-3 dapat
digunakannya sekaligus dalam satu pertandingan. Dan dengan trend taktik baru
belakangan ini, Loew juga berani memainkan seorang single pivot dalam diri
Lahm. Dipakainya single pivot, berarti memperkaya variasi serangan karena
gelandang-gelandang lain memiliki lisensi untuk menyerang. Bedakan saja
permainan Khedira di Real Madrid dengan di Nationalmannschaft sebagai contoh.
Yang jelas,
adaptasi yang dilakukan Loew berhasil membawa Jerman ke babak final untuk
pertama kalinya sejak 12 tahun silam. Baginya, inilah pencapaian tertinggi
setelah final Piala Eropa 2008. Menang atau kalah nantinya, Loew telah
meninggalkan impresi positif sekaligus memperlihatkan suatu hal. Bahwa dengan
materi yang dimilikinya sekarang, Jerman akan tetap menjadi kandidat juara
Piala Dunia setidaknya dalam tiga Piala Dunia ke depan.