Saat kekalahan atas tim seperti Udinese, Sassuolo atau Parma
sudah dipandang sebagai hal biasa, maka jelas ada yang salah dari Milan. Milan
bagaimanapun adalah bagian dari kejayaan sepak bola Italia. Sepak bola Italia
memiliki kultur keras yang mengutamakan hasil pertandingan di atas segalanya,
bahkan terlihat obsesif. Anda tidak akan menemukan presiden klub seperti
Maurizio Zamparini di Liga Inggris misalnya.
Memainkan sepak bola indah tanpa hasil adalah hal tak
termaafkan di Italia. Berbeda dengan di Spanyol, misalnya. Tanyakan saja kepada
Fabio Capello yang dipecat justru saat baru mengantar Real Madrid menjadi juara
liga. Alasannya, di tangan Capello, permainan Madrid tidak atraktif.
Namun sebaiknya kita memandang krisis yang terjadi secara
berimbang. Anda boleh berpendapat lain, namun menurut pandangan saya krisis ini
bukanlah kesalahan pelatih tertentu, bukan pula disebabkan oleh
kesalahan-kesalahan yang dilakukan awal musim ini atau musim lalu. Krisis ini ibarat
bom waktu yang telah meledak sejak ditanam kira-kira satu dekade lalu.
Satu dekade lalu, siapa tak gentar menghadapi tim yang
diperkuat poros serangan Pirlo, Kaka, Rui Costa, Seedorf dan Shevchenko, dengan
dilindungi seorang hard man bernama
Gattuso. Memasuki lini pertahanan, siapa yang tak terkesima dengan bek-bek
elegan (tidak usah jauh-jauh ke era Baresi) seperti Maldini, Nesta atau bek
raksasa seperti Jaap Stam.
Ya, Milan pernah mengalami masa itu. Masa di mana Liga
Champions adalah DNA mereka, masa di mana tim-tim lawan bergidik gentar ketika
memasuki halaman San Siro.
Namun sebagaimana kehidupan berjalan, terdapat sebuah siklus,
peralihan, perputaran. Saat mengalami masa-masa penuh kejayaan, memang akan
mudah berpikir untuk terus mempertahankan skuat alih-alih memikirkan
regenerasi. Lebih kece memikirkan pembelian pemain matang berusia 27 tahun ke
atas daripada mendidik tiga-empat orang teenagers
dan menyisipkan mereka sesekali ke tempat latihan dan starting line-up.
Sayangnya, pembelian pemain-pemain tua dan mempertahankan
para senatori hingga titik terakhir
karir mereka adalah pilihan yang diambil. Memang tidak salah, di tengah
industrialisasi sepak bola yang menggila, mungkin tidak ada klub yang
menghargai pemain-pemainnya yang telah berjasa seperti halnya Milan. Semangat
kekeluargaan ini pula yang membedakan Milan dengan klub lain. Saat Zlatan
Ibrahimovic dipanggil ke ruang direksi pasca insiden latihan dengan Oguchi
Onyewu, Ibra sudah berpikir bahwa hukuman berat telah menanti, namun Adriano
Galliani, layaknya seorang ayah yang sabar dan penuh kasih sayang, merangkulnya
sambil berbicara pelan namun tegas “Menghukummu? Ini adalah Milan. Di Milan,
kita tidak melakukan cara seperti itu.”
Bagaimanapun, tidak ada sistem buatan manusia yang dapat
berjalan sempurna. Kedigdayaan Maldini dkk membuat para petinggi menutup mata
pada pentingnya regenerasi. Praktis pemain terakhir lulusan akademi (atau tim
primavera) adalah Billy Costacurta, Demetrio Albertini dan Max Ambrosini. Terdapat
“masa tenggang” memainkan pemain dari akademi sebelum muncul Mattia De Sciglio
dan Bryan Cristante. Alessandro Matri dan Ignazio Abate malah harus “disekolahkan”
dulu sebelum ditarik kembali.
Sebelum timbul masalah keuangan, Milan mungkin masih bisa
mengabaikan lulusan akademi dan membeli pemain yang sudah jadi. Mereka juga
masih mampu membeli pemain muda dengan status hot prospect sekaligus membayar gaji mingguan mereka yang besar. Tapi,
itu dulu. Rangkaian kasus Berlusconi melalui Fininvest yang berakibat denda 400
juta euro menjadi pukulan telak yang membuat Milan harus menjual Kaka ke Madrid
tahun 2009 lalu. Kesulitan keuangan juga sudah terendus ketika Milan harus
menjual Sheva ke Chelsea tahun 2006.
Ketika krisis finansial baru sebatas gejala, atau setidaknya
masih bisa diatasi dengan performa stabil di Eropa yang mendatangkan uang
banyak, Milan memang masih mampu membeli banyak pemain, tapi ya itu tadi,
kualitas pemain-pemain yang dibeli pun tidak sebaik sebelumnya. Seraya mempertahankan
para senatori, Milan pun masih bisa
melaju dan bersaing.
Milan bahkan masih mampu menggeliat ketika Ibra dan Robinho
didatangkan sekaligus. Keberadaan pemain berbakat yang disia-siakan klub mereka
sebelumnya ini adalah berkah bagi Milan karena mereka langsung menyumbangkan
gelar scudetto. Namun tibalah masa
itu. Masa di mana senatori tersebut
sudah waktunya meninggalkan Milanello lantaran usia senja. Tidak punya dana
cukup untuk mengganti pemain yang memiliki kualitas sebaik mereka, Milan pun
terpaksa mendatangkan pemain-pemain yang “seperti itu”.
Keputusan mendatangkan pemain seperti Ibra maupun Robinho
harus diakui adalah keputusan yang sifatnya temporer. Usia membuat mereka hanya
bisa bermain bagus semusim-dua musim saja, dengan pengecualian untuk Ibra. Saat
senatori tersebut pergi, tiba pula
saat persiapan Financial Fair Play. Dengan biaya gaji yang nyaris mencapai 200
juta euro semusim, tentu tidak feasible
bagi Milan yang pendapatannya hanya berkisar 230-250 juta. Milan pun beroperasi
dengan kerugian, dan Financial Fair Play mengharamkan hal itu.
Milan tidak mampu menahan kibasan euro dari nouveu riche PSG yang menginginkan Ibra
sekaligus Thiago Silva, pembelian terbaik Milan seperti halnya pembelian mereka
kepada Kaka dan Sheva di masa lalu. Kini, Milan tidak mampu menahan Thiago
selama mereka menahan Sheva dan Kaka. Tanpa Ibra dan Thiago Silva, tanpa senatori, tidak mampu membeli pengganti
yang sepadan, beginilah jadinya.
Keadaan ini akhirnya membuat klub kembali melirik akademi. Pembelian
pun sempat bijak, misalnya pembelian Montolivo, Balotelli, El Shaarawy,
Saponara, Gabriel atau Niang. Keikutsertaan Liga Champions pun masih dapat
dipertahankan. Namun saat momentum sedang bagus, sayangnya kekeliruan kembali
terjadi. Pembelian yang terlalu berat ke lini depan adalah bunuh diri seakan
mereka menganggap duet Mexes-Zapata tidak jauh berbeda dengan Maldini-Nesta. Belum
lagi masalah intervensi taktik, cedera pemain dan pemain-pemain tidak
berkontribusi positif yang masih saja dipertahankan.
Sekarang, Milan dihadapkan pada berbagai kesulitan. Masa-masa
mediokritas di depan mata. Tanpa mengikuti kompetisi Liga Champions, Milan
jelas kehilangan potensi pendapatan hingga 50 juta euro. Secara hitungan kasar,
pendapatan Milan akan turun drastis menjadi di bawah 200 juta euro semusim. Jika
ingin mematuhi Financial Fair Play, tidak ada jalan lain selain melakukan cuci
gudang demi meringankan biaya gaji, sekaligus menjadikan youth project berporos De Sciglio-Cristante-El Shaarawy sebagai
andalan, bukan slogan kosong semata.
Sudah saatnya Milan bertransformasi menjadi klub yang lebih
berpikiran bisnis. Hal ini memang boleh jadi membuat Berlusconi harus melepas
sebagian sahamnya demi kelangsungan hidup Milan. Identitas boleh jadi tergerus,
namun dalam sepak bola modern seperti sekarang ini, hal tersebut memang tak
terhindarkan, bukan?
Pembangunan stadion baru memang akan memaksa Milan untuk
berkata arrivederci kepada San Siro
yang megah dan bersejarah. Namun dengan membangun stadion baru modern berkapasitas
55 ribu-70 ribu, Milan dapat berharap untuk memperoleh pendapatan 100 juta euro
setahun, yang tentu saja mengikis ketergantungan berlebih pada pemasukan dari
hak siar. Tidak ada salahnya pula Milan mencontoh kebijakan klub seperti Dortmund
yang hanya membeli pemain muda dan meningkatkan peran pemain akademi. Lihatlah bagaimana
Dortmund kini menjadi klub papan atas setelah 1 dekade lalu sempat bangkrut.
Ibarat sebuah siklus, Milan kini memang berada di bawah. Namun
kehidupan selalu memberi pilihan untuk merangkak ke atas. Sekarang, klub-klub Seri
A seperti Juventus, Napoli, dan Roma sudah beberapa langkah lebih maju
ketimbang Milan. Mengejar mereka mungkin sulit sekarang ini, namun tentu dapat
dimulai secara gradual dan terukur.