Pages

Tuesday, March 18, 2014

Krisis Milan Bukan Buah Kesalahan Selama Setahun-Dua Tahun

Saat kekalahan atas tim seperti Udinese, Sassuolo atau Parma sudah dipandang sebagai hal biasa, maka jelas ada yang salah dari Milan. Milan bagaimanapun adalah bagian dari kejayaan sepak bola Italia. Sepak bola Italia memiliki kultur keras yang mengutamakan hasil pertandingan di atas segalanya, bahkan terlihat obsesif. Anda tidak akan menemukan presiden klub seperti Maurizio Zamparini di Liga Inggris misalnya.

Memainkan sepak bola indah tanpa hasil adalah hal tak termaafkan di Italia. Berbeda dengan di Spanyol, misalnya. Tanyakan saja kepada Fabio Capello yang dipecat justru saat baru mengantar Real Madrid menjadi juara liga. Alasannya, di tangan Capello, permainan Madrid tidak atraktif.

Namun sebaiknya kita memandang krisis yang terjadi secara berimbang. Anda boleh berpendapat lain, namun menurut pandangan saya krisis ini bukanlah kesalahan pelatih tertentu, bukan pula disebabkan oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukan awal musim ini atau musim lalu. Krisis ini ibarat bom waktu yang telah meledak sejak ditanam kira-kira satu dekade lalu.

Satu dekade lalu, siapa tak gentar menghadapi tim yang diperkuat poros serangan Pirlo, Kaka, Rui Costa, Seedorf dan Shevchenko, dengan dilindungi seorang hard man bernama Gattuso. Memasuki lini pertahanan, siapa yang tak terkesima dengan bek-bek elegan (tidak usah jauh-jauh ke era Baresi) seperti Maldini, Nesta atau bek raksasa seperti Jaap Stam.

Ya, Milan pernah mengalami masa itu. Masa di mana Liga Champions adalah DNA mereka, masa di mana tim-tim lawan bergidik gentar ketika memasuki halaman San Siro.

Namun sebagaimana kehidupan berjalan, terdapat sebuah siklus, peralihan, perputaran. Saat mengalami masa-masa penuh kejayaan, memang akan mudah berpikir untuk terus mempertahankan skuat alih-alih memikirkan regenerasi. Lebih kece memikirkan pembelian pemain matang berusia 27 tahun ke atas daripada mendidik tiga-empat orang teenagers dan menyisipkan mereka sesekali ke tempat latihan dan starting line-up.

Sayangnya, pembelian pemain-pemain tua dan mempertahankan para senatori hingga titik terakhir karir mereka adalah pilihan yang diambil. Memang tidak salah, di tengah industrialisasi sepak bola yang menggila, mungkin tidak ada klub yang menghargai pemain-pemainnya yang telah berjasa seperti halnya Milan. Semangat kekeluargaan ini pula yang membedakan Milan dengan klub lain. Saat Zlatan Ibrahimovic dipanggil ke ruang direksi pasca insiden latihan dengan Oguchi Onyewu, Ibra sudah berpikir bahwa hukuman berat telah menanti, namun Adriano Galliani, layaknya seorang ayah yang sabar dan penuh kasih sayang, merangkulnya sambil berbicara pelan namun tegas “Menghukummu? Ini adalah Milan. Di Milan, kita tidak melakukan cara seperti itu.”

Bagaimanapun, tidak ada sistem buatan manusia yang dapat berjalan sempurna. Kedigdayaan Maldini dkk membuat para petinggi menutup mata pada pentingnya regenerasi. Praktis pemain terakhir lulusan akademi (atau tim primavera) adalah Billy Costacurta, Demetrio Albertini dan Max Ambrosini. Terdapat “masa tenggang” memainkan pemain dari akademi sebelum muncul Mattia De Sciglio dan Bryan Cristante. Alessandro Matri dan Ignazio Abate malah harus “disekolahkan” dulu sebelum ditarik kembali.

Sebelum timbul masalah keuangan, Milan mungkin masih bisa mengabaikan lulusan akademi dan membeli pemain yang sudah jadi. Mereka juga masih mampu membeli pemain muda dengan status hot prospect sekaligus membayar gaji mingguan mereka yang besar. Tapi, itu dulu. Rangkaian kasus Berlusconi melalui Fininvest yang berakibat denda 400 juta euro menjadi pukulan telak yang membuat Milan harus menjual Kaka ke Madrid tahun 2009 lalu. Kesulitan keuangan juga sudah terendus ketika Milan harus menjual Sheva ke Chelsea tahun 2006.

Ketika krisis finansial baru sebatas gejala, atau setidaknya masih bisa diatasi dengan performa stabil di Eropa yang mendatangkan uang banyak, Milan memang masih mampu membeli banyak pemain, tapi ya itu tadi, kualitas pemain-pemain yang dibeli pun tidak sebaik sebelumnya. Seraya mempertahankan para senatori, Milan pun masih bisa melaju dan bersaing.

Milan bahkan masih mampu menggeliat ketika Ibra dan Robinho didatangkan sekaligus. Keberadaan pemain berbakat yang disia-siakan klub mereka sebelumnya ini adalah berkah bagi Milan karena mereka langsung menyumbangkan gelar scudetto. Namun tibalah masa itu. Masa di mana senatori tersebut sudah waktunya meninggalkan Milanello lantaran usia senja. Tidak punya dana cukup untuk mengganti pemain yang memiliki kualitas sebaik mereka, Milan pun terpaksa mendatangkan pemain-pemain yang “seperti itu”.

Keputusan mendatangkan pemain seperti Ibra maupun Robinho harus diakui adalah keputusan yang sifatnya temporer. Usia membuat mereka hanya bisa bermain bagus semusim-dua musim saja, dengan pengecualian untuk Ibra. Saat senatori tersebut pergi, tiba pula saat persiapan Financial Fair Play. Dengan biaya gaji yang nyaris mencapai 200 juta euro semusim, tentu tidak feasible bagi Milan yang pendapatannya hanya berkisar 230-250 juta. Milan pun beroperasi dengan kerugian, dan Financial Fair Play mengharamkan hal itu.

Milan tidak mampu menahan kibasan euro dari nouveu riche PSG yang menginginkan Ibra sekaligus Thiago Silva, pembelian terbaik Milan seperti halnya pembelian mereka kepada Kaka dan Sheva di masa lalu. Kini, Milan tidak mampu menahan Thiago selama mereka menahan Sheva dan Kaka. Tanpa Ibra dan Thiago Silva, tanpa senatori, tidak mampu membeli pengganti yang sepadan, beginilah jadinya.

Keadaan ini akhirnya membuat klub kembali melirik akademi. Pembelian pun sempat bijak, misalnya pembelian Montolivo, Balotelli, El Shaarawy, Saponara, Gabriel atau Niang. Keikutsertaan Liga Champions pun masih dapat dipertahankan. Namun saat momentum sedang bagus, sayangnya kekeliruan kembali terjadi. Pembelian yang terlalu berat ke lini depan adalah bunuh diri seakan mereka menganggap duet Mexes-Zapata tidak jauh berbeda dengan Maldini-Nesta. Belum lagi masalah intervensi taktik, cedera pemain dan pemain-pemain tidak berkontribusi positif yang masih saja dipertahankan.

Sekarang, Milan dihadapkan pada berbagai kesulitan. Masa-masa mediokritas di depan mata. Tanpa mengikuti kompetisi Liga Champions, Milan jelas kehilangan potensi pendapatan hingga 50 juta euro. Secara hitungan kasar, pendapatan Milan akan turun drastis menjadi di bawah 200 juta euro semusim. Jika ingin mematuhi Financial Fair Play, tidak ada jalan lain selain melakukan cuci gudang demi meringankan biaya gaji, sekaligus menjadikan youth project berporos De Sciglio-Cristante-El Shaarawy sebagai andalan, bukan slogan kosong semata.

Sudah saatnya Milan bertransformasi menjadi klub yang lebih berpikiran bisnis. Hal ini memang boleh jadi membuat Berlusconi harus melepas sebagian sahamnya demi kelangsungan hidup Milan. Identitas boleh jadi tergerus, namun dalam sepak bola modern seperti sekarang ini, hal tersebut memang tak terhindarkan, bukan?

Pembangunan stadion baru memang akan memaksa Milan untuk berkata arrivederci kepada San Siro yang megah dan bersejarah. Namun dengan membangun stadion baru modern berkapasitas 55 ribu-70 ribu, Milan dapat berharap untuk memperoleh pendapatan 100 juta euro setahun, yang tentu saja mengikis ketergantungan berlebih pada pemasukan dari hak siar. Tidak ada salahnya pula Milan mencontoh kebijakan klub seperti Dortmund yang hanya membeli pemain muda dan meningkatkan peran pemain akademi. Lihatlah bagaimana Dortmund kini menjadi klub papan atas setelah 1 dekade lalu sempat bangkrut.


Ibarat sebuah siklus, Milan kini memang berada di bawah. Namun kehidupan selalu memberi pilihan untuk merangkak ke atas. Sekarang, klub-klub Seri A seperti Juventus, Napoli, dan Roma sudah beberapa langkah lebih maju ketimbang Milan. Mengejar mereka mungkin sulit sekarang ini, namun tentu dapat dimulai secara gradual dan terukur.

No comments:

Post a Comment