Kongres Luar Biasa PSSI beberapa waktu lalu membuat banyak pihak berharap2 cemas. Tentunya harapan jangka pendek saat itu adalah Indonesia terbebas dari sanksi FIFA karena sebelumnya kongres di Palembang gagal gara2 ulah sekelompok b*ngsat bertopeng anak bangsa reformis.
Di kongres Solo ini kondisi memang lancar jaya, selancar tol JORR disiang hari. Sekelompok orang yg disebut kelompok 79 atau 69 apalah tau2 satu suara gak lagi mengacau kongres yg turut dihadiri salah satu pejabat FIFA, Jeremy Valcke itu. Tapi disitulah penyusupan2 politik kotor dimulai.
Sang ketua dan wakil terpilih, Djohar Arifin dan Farid Rahman sekarang semua orang taulah mereka bekerja atas nama siapa. Siapa yg bayarin pesawat pribadi timnas yg harganya miliaran demi aklimatisasi lebih awal timnas ke kota Asgabat, Turkmenistan. Yah untuk langkah itu, memang ada hasil kongkretnya karena akhirnya timnas bisa menahan tuan rumah 1-1 lalu menang 4-3 saat bertanding di GBK.
Tapi di mata gue sebagai awam penggemar sepakbola, hanya itulah "prestasi" rezim baru PSSI. Apa selanjutnya? Timnas rontok ditangan Iran dan Bahrain, dan paling aktual adalah Qatar dengan alasan kalah posturlah, apalah dan lalu kita disuguhi cerita sang pelatih Wim Risjbergen mencak2 nyalahin pemainnya saat konfrensi pers sesaat setelah takluk 0-2 ditangan Bahrain di GBK. Lalu timbul kubu pemain yg menolak dilatih Wim, pemain ngambek, pemain indisipliner. Ini sepakbola apa sinetron?
Kebelakang sebelum penunjukan Wim, atau beberapa hari setelah rezim baru berkuasa, PSSI membuat keputusan kontroversial dengan mendepak Alfred Riedl, pelatih cool yg berhasil membangkitkan euforia sepakbola tanah air berkat polesannya di Piala AFF yg berbuah runner-up (walaupun ini keempat kalinya kita jd runner-up tanpa juara).
Perlu diingat, Riedl-lah yg bertanggung jawab atas mencuatnya Ahmad Bustomi sebagai gelandang berkelas Asia, serta Nasuha dan Zulkifli duet fullback yg disiplin dan tak ketinggalan si artis Irfan Bachdim, yg dengan keartisannya sebenarnya punya basic sepakbola yg mumpuni, dan tentunya sebelum dia memutuskan main di Liga Indonesia. Selain itu, Riedl juga tampak memberi pemain kita semangat, nyali, keberanian, dan sikap pantang menyerah yg sebenernya udah lama gak kita lihat di wajah2 pemain timnas.
Tapi setelah naiknya rezim baru, pelatih karismatik itu udah didepak dengan alasan super konyol, karena surat kontraknya gak ketemu, dan karena Riedl dikontrak oleh Nirwan Bakrie, bukan PSSI. Blah! Omong2 soal keluarga Bakrie, sebenernya mungkin keluarga inilah yg kontribusinya nyata. Lihat siapa yg punya proyek SAD di Uruguay, amati pula manuvernya membeli klub Belgia CS Vise dan baru2 ini klub Liga Australia. Semua itu supaya pemain2 asal Indonesia bisa menimba ilmu sekaligus merasakan keras dan profesionalnya kompetisi sepakbola luar negeri, yg ujung2nya adalah menghasilkan pemain2 bagus untuk timnas merah putih.
Lalu apa yg dilakukan rezim sekarang? Setelah sebelum terpilih mereka dengan heroik menggulirkan 'break-away league' yg bermaterikan bintang uzur macam Lee Hendrie tapi itupun gak sampai semusim, kini PSSI akan menggulirkan Liga Profesional Indonesia, yang mengakomodir klub2 LPI dengan ISL, ada pula yg di merger, ada juga klub promosi divisi utama, dan paling lucu adalah 6 tim yg dianggap punya sejarah dan basis pendukung kuat serta diinginkan oleh sponsor. Belum cukup? Liga ini dibuat dalam format 1 wilayah, dan berdurasi 13 bulan! Wow, sebuah liga terpanjang di dunia siap hadir dihadapan kita.
Liga yg panjang, apalagi melebihi 12 bulan tentu akan kacau. Kompetisi tahun2 selanjutnya bakal gak jelas kapan dimulainya, dan tiap tahun liga jadi beda2 bulan mulai dan selesainya. Cuma di Indonesia. Apakah orang2 pinter itu gak sadar bahwa segala jadwal harus mengikuti agenda FIFA? Agenda2 uji coba internasional, kualifikasi dan turnamen internasional, liga champion asia dan piala AFC, apakah pengurus udah berpikir soal itu? Jago kalo udah.
Beginilah kalo organisasi ditunggangi oleh kepentingan2, serta ditempati oleh orang2 yg gak ngerti bola. Klub, pemain, dan komponen sepakbola-lah yg jadi korban. Klub disuruh mandiri, tapi kompetisi malah dibuat nyusahin dan nyekek keuangan. Siapa sanggup biayai biaya operasional kompetisi yg berjalan lebih dari setahun? Apalagi gak ada pemisahan wilayah padahal Indonesia negara kepulauan yg luas. Gimana kalo PSMS mau bertanding lawan Persipura, abis itu menjamu Persib, setelah itu bertandang ke PSM? Apa biaya mereka gak membengkak? Atau kalo mereka mensiasati dengan membuat jadwal tur berdekatan untuk setiap tim, apakah PSMS akan berturut2 melakukan laga tandang sampai 5 kali baru berlanjut ke laga kandang beruntun? Saya rasa kompetisi semacam itu sangat tidak sehat dan sangat tidak seru sodara2.
Belum lagi sekarang PSSI melakukan langkah2 buruk kepada klub2nya. Penyelesaian pertikaian pengurus sangat lamban. Persija misalnya, mereka mengakui pengurus yg lebih punya kedekatan dengan 'break-away league' daripada yg bercokol sekarang, akibatnya mereka jadi gak bisa mempersiapkan diri untuk kompetisi karena dualisme pengurus. Jangan heran belakangan muncul hashtag #savepersija, #savearema, #savepersebaya dll sebagai buntut kekecewaan suporter akan keberpihakan tidak sehat PSSI.
Kalo gini, pemain jugalah yg jd korban. Kompetisi molor gak jelas sampe kapan, membuat pemain kehilangan nafkah. Main di klub mana juga belum jelas, karena khawatir tidak diakui PSSI. Kompetisi gak berjalan juga membuat kaki2 pemain bakal kaku, dan aroma persaingan hilang, akibatnya berimbas pula ke timnas. Padahal timnas sedang menghadapi 2 hajatan besar yaitu SEA Games dan Pra Piala Dunia. Belum lagi nasib komponen sepakbola lain seperti pelatih, ofisial, suporter, wasit, dan semua pihak yg menggantungkan hidupnya pada dunia kulit bundar Indonesia.
Jadi, apa bedanya rezim sekarang sama rezim lalu? Nurdin Halid pasti lagi ketawa2 liat badut2 gak ngerti bola sekarang lagi joget2 menggerakkan organisasi harapan bangsa ini. Selama rezim PSSI masih disusupi kepentingan pihak2 tertentu, jangan harap perbaikan prestasi terwujud. Piala dunia? Mungkin tahun 2200 baru kita bisa ikutan.
Tapi apapun itu, kita sebagai supporter tolong jangan kaya banci mellow kecewa sampe gak mau dukung timnas di GBK. Timnas adalah timnas. Merekalah pahlawan sejati kita, dibalik tikus2 berdasi PSSI itu. Biarlah apa tingkah PSSI, tetaplah dukung timnas. Mereka butuh gemuruh kita di GBK, mereka butuh kecintaan kita lewat dukungan tanpa henti, bukan kekecewaan, boikot dan ngambek ala ABG!
No comments:
Post a Comment