Lemmy Kilmister, David Bowie,
Glenn Frey wafat pada rentang waktu yang tidak terlalu lama. Bagi para musisi
yang besar di era 80 dan 90an, tiga nama ini adalah inspirasi. Poster mereka
terpajang di kamar, di studio dan di jendela bis tur sebagai panutan, dengan lagu Ace of Spades, Ziggy Stardust dan Hotel California yang mengalun. Meski dunia musik memang
telah berubah sejak era milenium, namun kepergian tiga legenda ini bagaikan
pukulan gong pamungkas yang menandai selesainya sebuah pertunjukan.
Baik Lemmy, Bowie, ataupun Frey
memiliki talenta luar biasa, dedikasi tanpa batas pada dunia musik, juga
penggemar yang begitu loyal. Kemahsyuran diraih tidak dengan bermodal sebuah
video Youtube enam puluh detik yang menjadi viral akibat kepo berlebihnya
pengguna internet, namun semua berkat karir fenomenal yang akan
terlalu panjang jika harus diceritakan.
Pergantian era di dunia musik ini
membuat saya tidak antusias mengikuti perkembangan musik kekinian. Imbasnya,
playlist lagu yang saya punya didominasi dengan lagu-lagu angkatan
para Oom saya, dengan era 90an sebagai batasannya.
Dalam beberapa hal, saya
memandang diri sebagai seorang yang rela menunggu lama untuk sesuatu yang
menurut saya patut ditunggu. Halah, apa sih. Gini deh, misalnya ketika saya
kepingin makan steak, saya rela tuh menabung demi bisa makan steak paling enak yang
tentunya berharga mahal. Steak yang lebih murah memang sudah banyak dijual,
tapi tanpa bermaksud sok kelas menengah, saya memilih menunggu. Imaji akan
daging steak yang juicy, kematangan yang pas, dan saus barbeque yang cocok tidak dapat disubstitusi.
Seperti halnya pandangan saya
terhadap musik kekinian, saya juga merasakan keengganan yang sama untuk
mengikuti sepak bola belakangan ini. Mengapa demikian?
Sepak bola kekinian itu terlalu
sempurna. Lihatlah tim seperti Barcelona atau Bayern Muenchen sebagai contoh. Mereka
bisa dengan mudah mengeksploitasi lini belakang lawan, menguasai ball possession, mencebol gawang lawan
sesuka hati, dan memenangkan kejuaraan. Sulit
mencari cela dalam permainan mereka. Umpan, pergerakan, tembakan yang sudah
hafalan, dan gol seperti dapat dicetak bergiliran.
Pemain-pemain mereka juga mampu
memerankan banyak posisi. Pemain depan dapat diminta bertahan, pemain belakang dapat diminta membangun serangan, gelandang serang dapat diinstruksikan
mengganggu pengatur serangan lawan, atau bek sayap yang dapat digeser ke tengah. Kedigdayaan tim ini menjadikan mereka
sebagai model kesuksesan. Jika ingin sukses, bermainlah seperti ini. Mereka
bahkan tak henti-hentinya memaksa para haters untuk setidaknya bertepuk tangan,
karena mereka memang terlalu bagus untuk dicela.
Menyaksikan sepak bola seperti
ini seperti menyaksikan sekumpulan musisi jazz yang sedang berimprovisasi. Saya
kagum, saya senang, saya salut dan tercengang melihat bagaimana mereka bisa bergantian
memainkan solo pada masing-masing instrumen. Tapi bukan seperti inilah musik
yang saya bisa nikmati. Mohon maaf, tapi ini sudah masalah selera.
Di dunia sepak bola, saya memandang Juan Roman
Riquelme sebagai lead guitarist dalam sebuah band classic rock. Posisinya amat vital dalam memberi nyawa dan variasi pada sebuah lagu. Ia dibebaskan memencet nada-nada di
perangkat gitar enam string miliknya, sementara rekan-rekannya bertugas menjaga tempo. Teknik
apapun boleh dipakainya. Tidak terpaku, tidak kaku dan tidak harus mencontoh
pola yang sudah berlaku umum.
Riquelme memang bukan seorang
pionir. Ia sudah pasti tumbuh menyaksikan pemain era sebelumnya seperti Cruyff Maradona,
Platini, Zico, Mostovoi, Boban, Rui Costa, atau Paul Gascoigne bermain seperti halnya para gitaris yang mengidolakan Jimi Hendrix, Jimmy Page, Randy Rhoads, Stevie Ray Vaughan, George Harrison dan Ritchie Blackmore. Jadi, akan teramat
berlebihan jika ia didengungkan sebagai pemain paling orisinil. Namun jika
menyebut bahwa ia adalah spesies nomor sepuluh klasik yang terakhir di sepak
bola level tertinggi, mungkin saja itu benar.
Riquelme adalah tipe pegawai yang
rela terlambat datang ke kantor demi mengantarkan anaknya sekolah terlebih
dahulu. Ia bukanlah sosok Daniel Passarella yang begitu rapi, disiplin dan amat
kaku. Ia hidup dengan cara meresapi betul slow culture. Cara hidup ini terlihat
secara gamblang di lapangan: malas berlari, malas menutup pergerakan lawan, apalagi membantu pertahanan. Tugasnya hanya satu: mengejawantah imajinasi untuk membongkar pertahanan lawan.
Hal yang unik lain dari Riquelme
adalah pilihan-pilihan katanya yang menarik ketika diwawancara oleh wartawan. Ia
begitu blak-blakan, alih-alih diplomatis, dan karena itu selalu memberikan bahan berita menarik bagi
para jurnalis, yang membuat sosoknya selalu dirindukan di mixed zone atau
press conference room. Seperti menegaskan bahwa ia adalah seorang pemikir out
of the box.
“Saya tidak membunuh orang. Saya hanya
gagal menendang penalti,” ujarnya ketika ditanya soal kegagalan
penalti ke gawang Arsenal dalam semifinal Liga Champions tahun 2006. Riquelme ketika itu membela Villareal, dan seandainya gol, maka Yellow Submarine akan melaju ke partai puncak. Namun tanpa diduga, Riquelme menanggapinya dengan amat santai, seraya menganggap peristiwa semacam ini bisa terjadi kapan pun kepada
siapa pun.
Pemain yang identik dengan nomor
punggung sepuluh ini juga telah pensiun dari dunia sepak bola pada Januari
tahun lalu. Ketiadaan pemain nomor sepuluh klasik memang sudah bukan lagi bahan
perbincangan baru, namun tetap saja pensiunnya seorang Riquelme menandai sebuah
‘permufakatan jahat’ untuk menyingkirkan nomor sepuluh klasik di dunia sepak
bola selama-lamanya. Sepak bola kekinian sudah tidak lagi memberi tempat untuk pemain nomor sepuluh klasik seperti Riquelme.
Tulisan ini tidak bermaksud
objektif dan memang dimaksudkan untuk tendensius. Karena saya amat terganggu ketika
melihat sepak bola kekinian yang sudah berani-beraninya menyuruh seorang
berkemampuan playmaker untuk bermain lebih ke pinggir sebagai inverted winger. Ia juga tidak boleh lagi berlama-lama dengan bola, melainkan hanya boleh menyentuh bola empat atau lima kali saja. Mendribel, apalagi melakukan La Pausa adalah dosa besar.
Riquelme terus berkata tidak pada pergeseran peran dan cara bermain hingga akhir karirnya, tanpa peduli jika akhirnya ia terpinggirkan dari puncak piramida sepak bola. Pun tanpa gelar pemain terbaik dunia. Toh dia sudah puas dengan histeria yang didengarnya dari setiap sudut La Bombonera, juga gelar-gelar tidak resmi dari para pendukung loyal tentang pengkultusannya.
Riquelme terus berkata tidak pada pergeseran peran dan cara bermain hingga akhir karirnya, tanpa peduli jika akhirnya ia terpinggirkan dari puncak piramida sepak bola. Pun tanpa gelar pemain terbaik dunia. Toh dia sudah puas dengan histeria yang didengarnya dari setiap sudut La Bombonera, juga gelar-gelar tidak resmi dari para pendukung loyal tentang pengkultusannya.
Sebuah pencapaian yang dalam
beberapa hal membuat saya iri.