Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Pandit Sharing di situs Pandit Football http://panditfootball.com/pandit-sharing/paradoks-mexes/ disalin setelah mendapatkan izin dari administratornya
Philippe Mexes adalah sebuah paradoks.
Orang-orang niscaya berdecak kagum menyaksikan bagaimana Mexes mencetak gol ke gawang Inter Milan di International Champions Cup. Gol yang indah. Tendangan yang sangat elok. Tapi dalam setiap momen keindahan yang diciptakan Mexes, banyak orang yang juga ingat kebrengsekan-kebrengsekan Mexes.
Tak ada yang meragukan talenta pemain yang bergabung dengan Milan sejak 2011 ini. Gol-gol spektakuler, kemampuannya dalam membangun serangan, positioning yang baik, kekuatannya di udara ditambah kemampuan dalam man marking semestinya menjadi modal yang lebih dari cukup untuk menjadikannya pemain top.
Gol ‘tendangan ninja’ ke gawang FC Internazionale pekan lalu masih jadi bahan perbincangan, dan itu bukan satu-satunya. Publik juga kembali mengingat-ingat golnya ke gawang Anderlecht dua tahun lalu. Bahkan sampai ada yang menyebut bahwa Mexes memang jarang mencetak gol, namun sekalinya gol tercipta darinya, maka gol tersebut selalu layak dinominasikan di ajang Puskas Award.
Namun sayangnya semua kelebihan itu dibarengi berbagai kekurangan yang sifatnya mendasar: temperamen buruk. Dalam dua musim terakhirnya bersama Milan, dua kali ia dihukum sebanyak empat pertandingan akibat konfrontasi dengan pemain lawan. Dua tahun lalu dengan bek Juventus, Giorgio Chiellini dan beberapa bulan lalu dengan gelandang Lazio, Stefano Mauri.
Bukan hanya temperamen buruk berujung hukuman kartu dari wasit, ia juga kerap melakukan pelanggaran-pelanggaran ceroboh berujung hukuman tendangan bebas di posisi rawan. Karena hal inilah Mexes dinilai tidak memiliki efektifitas dan kehati-hatian, dua atribut yang amat dituntut dari seorang bek tengah. Beberapa nama seperti Alessandro Nesta dan Paolo Maldini adalah contoh bek-bek yang mampu menghadang lawan dengan elegan sekaligus keras, namun amat jarang terkena hukuman kartu.
Begitulah paradoks seorang Mexes. Jangan heran juga jika AC Milan sempat ragu kepadanya.
Awal Juli 2015, Presiden Milan, Silvio Berlusconi, memberi titah untuk menawarkan kontrak baru kepada Mexes. Kontrak lama senilai 4 juta euro per tahun telah berakhir 30 Juni 2015 lalu, dan Sky Italia sempat mengabarkan bahwa kontrak pemain asal Prancis ini tidak akan diperpanjang. Ia memang sempat menganggur, namun hal tersebut hanya berlangsung kurang lebih selama seminggu. 8 Juli 2015, Mexes menandatangani kontrak baru senilai 1,5 juta euro yang akan membuatnya bertahan di San Siro setidaknya hingga bulan Juni tahun depan.
Kalau memang jasa Mexes dirasa masih layak dihargai, mengapa Milan tak memperpanjang kontrak sebelumnya? Kenapa harus menunggu kontraknya habis? Apakah tidak cemas jika Mexes diboyong kesebelasan lain?
Tapi nyatanya Milan melakukan hal itu. Dan tindakan Milan itu bisa dibaca sebagai sebentuk kontradiksi yang merespons paradoks.
Keputusan sudah diambil. Tepat atau tidaknya keputusan Berlusconi memang belum dapat dijustifikasi hingga musim kompetisi 2015/16 berakhir. Waktu yang nanti akan membuktikannya.
Yang pasti, Mexes sudah tak punya banyak waktu lagi. Usianya sudah 33 tahun, jelas sudah tak muda lagi. Tinggal sedikit waktu baginya untuk memperlihatkan diri sebagai pemain yang patut dikenang, ya… dikenang dengan baik, setidaknya oleh sejumlah orang, setidaknya oleh para suporter dari kesebelasan yang mempekerjakannya.
Sudah terlalu lama waktu terbuang oleh aksi-aksi yang tidak perlu, yang membuat Mexes bisalah dibilang sebagai cerita klasik tentang wasted talent — tepatnya: pemain dengan bakat yang besarnya sama dengan temperamennya.
Ia memperkuat Auxerre sejak berusia 12 tahun, dan menjadi bagian dari generasi muda emas kesebelasan yang kala itu dilatih Guy Roux. Bersama Jean-Alain Boumsong, Djibril Cisse, dan Olivier Kapo, Mexes tampil sebagai pemain kunci yang membawa Auxerre tampil di Liga Champions. Ia layak disebut sebagai salah satu pemain kunci ketika kesebelasan yang sempat disinggahi mantan penyerang nasional Indonesia, Rochi Putiray, menjuarai Coupe de France edisi 2003.
Kala itu, Mexes adalah bakat terbesar bukan hanya bagi Auxerre, tapi juga sepakbola Prancis. Saat media mulai mendengungkan namanya, Roux turut mengamini, namun sekaligus mengerem pujian-pujian tersebut.
“Ia sangat berbakat. Tetapi untuk pemain muda yang tengah berkembang, pujian-pujian ini tidak membantunya dan tidak membantu saya sebagai pelatihnya,” ujar Roux saat itu.
Pengakuan atas bakat pemain kelahiran Toulouse juga ditunjukkan dengan berlimpahnya kesebelasan yang meminatinya. Pemandu bakat Arsenal, Liverpool dan beberapa kesebelasan di Italia kerap terlihat di stadion Abbe Deschamps milik Auxerre. Mexes akhirnya memutuskan untuk pindah ke AS Roma pada 2004, setelah melalui saga transfer yang pelik hingga harus melibatkan pengadilan. Transfer terjadi tanpa persetujuan Auxerre, dan untuk itu Roma harus membayar 7 juta euro kepada Auxerre. Mexes pun terkena getahnya: dihukum larangan tampil sebanyak enam laga.
Hukuman yang diakibatkan transfer ilegal ini berbuntut panjang. Musim 2005/2006, Roma dilarang melakukan transfer pemain, kecuali yang berstatus free agent. Tanpa diduga, hukuman ini menjadi berkah terselubung bagi Mexes. Pelatih Roma saat itu, Luciano Spalletti menjadikannya sebagai kunci lini belakang bersama Cristian Chivu dan Matteo Ferrari, dua pemain bertahan lain yang juga menjanjikan. Mexes turut berkontribusi membawa Roma memenangi dua gelar Coppa Italia secara beruntun tahun 2007 dan 2008.
Namun masalah kedisiplinan lagi-lagi muncul dalam karir pemain bertinggi badan 187 cm ini. Hanya dalam tiga musim saja, ia mengoleksi 28 kartu kuning. Pada 2009, Roma akhirnya meminjam Nicolas Burdisso dari Inter, yang memengaruhi jatah bermain Mexes. Mexes juga mengalami kerusakan ligamen lutut kiri pada awal 2011.
Kombinasi semua hal itulah yang membuat waktu bermainnya di Roma mendekati habis. Roma memutuskan tidak memperpanjang kontrak Mexes. Ia meninggalkan Si Serigala dalam status bebas transfer — sesuatu yang agak menyedihkan bagi pemain dengan bakat sebaik Mexes. Dari situlah kisah Mexes di Milan akhirnya dimulai.
Awal karir internasional Mexes juga menjanjikan. Ia dianggap sebagai penerus ideal Laurent Blanc di jantung pertahanan tim Ayam Jantan. Namun, bakat besar yang dimiliki Mexes tidak otomatis menjadikannya pilihan utama.
Dalam rentang 2002 hingga 2012, ia hanya 29 kali membela Les Blues, itu pun hanya sekali saja tampil di turnamen besar yaitu Piala Eropa 2012. Pada era usia emasnya sebagai pesepakbola, ia kerap kalah bersaing dengan bek-bek dengan bakat yang sekilas tidak lebih baik ketimbang dirinya, namun memiliki perilaku yang lebih tenang di lapangan semisal William Gallas, Boumsong, Mikael Silvestre atau Sebastien Squilacci.
Hukuman kartu memang identik dengan perjalanan karir Mexes. Lima musim bermain di Auxerre, ia mengoleksi 23 kartu kuning dan sebuah kartu merah. Rekor kedisiplinan Mexes tidak membaik saat ia mulai bermain di Serie-A. Dalam tujuh musim di Roma, ia mengoleksi 42 kartu kuning dan empat kartu merah. Masalah kedisiplinan ini tidak juga hilang ketika ia bermain di Milan, padahal kala Milan mendatangkannya, ia sudah berusia 29 tahun — usia yang cukup matang bagi seorang pemain. Padahal ia sedang bermain di kesebelasan yang menjadi tempat sejumlah bek-bek hebat menemukan panggungnya.
Pada musim pertama berseragam merah-hitam, Mexes yang masih dalam pemulihan cedera hanya menjadi pelapis Nesta. Ia hanya bermain 14 kali di liga dengan mengumpulkan tiga kartu kuning. Semusim kemudian, saat Milan ditinggal Nesta, Mexes dipercaya menempati posisi inti di jantung pertahanan bersama Thiago Silva. Di musim inilah rekor kedisiplinan Mexes memburuk dengan total koleksi 11 kartu kuning dari 25 penampilan.
Dua musim beruntun setelahnya, rekor kedisiplinan itu makin’tak terkendali. Ia mengumpulkan 16 kartu kuning dan tiga kartu merah. Secara total, Mexes mengoleksi 30 kartu kuning dan tiga kartu merah selama 81 kali membela Milan di Seri A. Jika dirata-rata, Mexes menerima kartu kuning setiap 243 menit, atau setara kurang lebih tiga pertandingan.
Jika diakumulasi, hukuman-hukuman dari kartu merah yang diterimanya selama berbaju Milan itu senilai dengan masa hukuman sepertiga musim kompetisi. Bandel betul, bukan?
Dalam pertandingan sepakbola, pemain belakang yang tugas utamanya menghadang serangan lawan memang sudah sewajarnya rentan terkena hukuman kartu. Namun akan menjadi tidak termaafkan bagi sang pemain jika hukuman kartu diberikan bukan atas pelanggaran profesional untuk mencegah lawan mencetak gol, tetapi karena ketidakmampuan mengendalikan emosi.
Sikap pendukung Milan atas perpanjangan kontrak Mexes pun terbagi dua. Sebagian menentang, namun tidak sedikit pula yang menginginkannya bertahan. Bagi yang kontra, Mexes tetaplah pemain yang sama, yang ketika diturunkan berisiko merugikan timnya lewat kecerobohan dan hukuman kartu. Namun bagi yang pro, terlihat kurang fair jika menilai Mexes hanya dari sisi hukuman kartu lalu mengesampingkan talenta, pengalaman dangrinta yang dimilikinya.
Kelebihan langka Mexes dalam mencetak gol-gol spektakuler juga dapat menjadikannya seorang game changersaat Milan mengalami kebuntuan dalam membobol gawang lawan. Para pendukung juga dapat berharap Sinisa Mihajlovic, pelatih baru Milan, mampu menjadikan Mexes sebagai pemain penting musim depan. Sebagaimana diketahui, Mihajlovic memiliki kisah sukses musim lalu di Sampdoria kala menjadikan Matias Silvestre, bek senior yang semula tidak diperhitungkan, sebagai kunci lini pertahanan Il Samp.
Dengan komposisi bek-bek tengah Milan sekarang, Mexes dianggap sedikit lebih baik, terlebih ia kini yang paling senior. Cristian Zapata kerap tampil inkonsisten, Gabriel Paletta masih mencari form terbaik, Alex sudah lamban dan Rodrigo Ely masih perlu pembuktian.
Milan memang sudah hampir pasti akan mendatangkan seorang bek tengah lagi, dengan bek berbakat Alessio Romagnoli dari Roma sebagai target utama. Kedatangan Romagnoli (atau siapapun bek tengah baru nantinya) kemungkinan besar akan mengorbankan salah satu dari Alex, Zapata, Paletta ataupun Rodrigo Ely. Dengan demikian, Mexes memang memiliki peluang terbesar untuk mendampingi sang bek tengah baru Milan.
Sepakbola memang penuh dengan kesempatan kedua, dan bagi Mexes kesempatan langka ini boleh jadi yang terakhir jelang penghujung karir.
No comments:
Post a Comment