Leonid Slutsky, photo from Zimbio |
Malam minggu
kemarin sepertinya akan menyenangkan ketika siang harinya saya bertemu
teman-teman lama. Dari pertemuan tidak sengaja itu, kami sempat menyepakati
acara kumpul-kumpul kecil di rumah saya. Namun karena urusan domestik rumah
tangga mendadak yang tidak bisa tidak didahulukan, mereka batal datang ke rumah.
Tidak
masalah, pikir saya. Toh, malam minggu ini adalah jadwalnya Liga Primer Rusia. Ya,
setelah istirahat selama kurang lebih dua bulan, Liga sepak bola negara tuan
rumah Piala Dunia 2018 ini kembali bergulir. Dan alangkah indahnya ketika
mengetahui dimulainya kembali kompetisi musim 2014-15 ini ditandai dengan
siaran langsung pertandingan antara Terek Grozny melawan CSKA Moskow, dua klub
yang memang tengah tampil baik dan menduduki papan atas musim ini.
Namun hidup
memang penuh kejutan, dan kejutan tidak selalu menyenangkan. Fox 2 Sports yang
tadinya dijadwalkan menayangkan laga ini, tanpa alasan yang saya mengerti,
tidak jadi menayangkannya. Karena malas menonton dengan media streaming, saya memutuskan
untuk menonton film komedi romantis, The Other Woman, lalu dilanjut dengan
menonton film yang tiba-tiba membuat banyak orang ingin bermain drum dan mendengarkan
musik jazz, Whiplash.
Tidak, saya
tidak ingin me-review film Whiplash,
apalagi mencoba membandingkan Terence Fletcher dengan pelatih CSKA, Leonid
Slutsky, misalnya, mumpung saya sedang membahas Liga Rusia. Namun sulit untuk
tidak berandai-andai, apakah yang sudah dilakukan oleh seorang pecinta
hamburger seperti Slutsky sehingga berhasil membawa CSKA, klub yang tentunya
tidak sekaya Zenit St. Petersburg, untuk terus meramaikan papan atas Liga
Rusia?
Saya
mengingat ucapan Fletcher tentang filosofinya dalam melatih kepada Andrew
Neiman, si drummer asuhan. Intinya adalah pimpinan band konser sekolah
berkepala botak ini selalu menginginkan anak asuhannya untuk mengeluarkan
kemampuan yang bahkan melebihi batasnya. Sebagai pengajar yang seakan tidak
pernah puas, kegalakan dan kebengisan Fletcher memang bagaikan pisau bermata
dua: bisa menjadikan anak asuhnya menjadi drummer terhebat, atau sebaliknya,
keluar dari tim dan kemudian lupakan drum. Because
the next Charlie Parker will never get discouraged.
Slutsky,
terus terang, saya tidak tahu bagaimana gayanya melatih, apakah ia seperti
Fletcher atau tidak. Apakah ia seperti Jose Mourinho, atau Pep Guardiola atau
Arsene Wenger pun saya tidak yakin. Memenangi dua gelar Liga Rusia dan membawa
klub pada pencapaian tertinggi di Liga Champions sepanjang sejarah
keikutsertaannya tidak lantas membuatnya menjadi sorotan publik, dan membuat
pencapaiannya itu tidak terlalu dibesar-besarkan. Penampilan dan pembawaan yang tidak sekeren pelatih-pelati top yang disebutkan tadi, dan fakta bahwa ia tidak berkecimpung di liga
utama Eropa mungkin menjadi penyebabnya.
Hanya dua cerita
mengenai dirinya yang paling terkenal, yaitu insiden terjatuh dari pohon saat
ia menolong seekor kucing dan tersebarnya foto-foto saat ia membeli hamburger
dalam perjalanannya menonton film di bioskop. Terjatuh dari pohon tersebut
nampaknya yang lebih berpengaruh. Akibat insiden tersebut, Slutsky yang kala
itu masih berusia 19 tahun dan menduduki posisi sebagai penjaga gawang klub Zvezda Gorodishche, harus merelakan karir
sepak bolanya. Sepuluh tahun kemudian, barulah ia memulai karir sebagai kepelatihan
di klub Olimpia Volgograd.
Kepercayaan
sebagai manajer baru didapatkannya di klub FC Moskow. Di klub yang telah bubar tahun
2010 lalu dan pernah dilatih oleh Miodrag Bozovic, eks bek Pelita Jaya pada
Liga Indonesia musim pertama ini, Slutsky mencatatkan rekor kemenangan yang
cukup mengesankan, yaitu 44%. Pencapaian ini termasuk membawa klub yang saat
masih eksis bermarkas di stadion Eduard Streltsov (berbagi dengan Torpedo
Moskow) ini ke Piala Intertoto.
Petualangan mengesankan
ini kemudian membawanya ke Kyrlia Sovetov, klub dari kota Samara yang dibawanya
menduduki posisi ke-6 Liga Rusia tahun 2008 (saat itu Liga Rusia masih
berformat tahun kalender Januari-Desember). Sebelum kompetisi tahun 2009 usai
inilah Slutsky ditunjuk untuk melatih CSKA Moskow menggantikan Juande Ramos hingga
sekarang.
Seperti
telah disinggung, CSKA bukanlah klub kaya, namun untuk ukuran klub Rusia, juga
bukanlah klub miskin. Seperti halnya klub-klub Rusia lain, Slutsky telah
merasakan ‘fenomena batu loncatan’ di mana para pemain-pemain andalannya hengkang
untuk bermain di liga yang lebih top. Tak terhitung nama-nama seperti Milos
Krasic, Vagner Love, hingga Keisuke Honda dan baru-baru ini Seydou Doumbia
sudah meninggalkan skuatnya menuju klub yang lebih besar.
Namun hebatnya
Slutsky adalah kemampuannya memaksimalkan skuat yang ada, sekaligus membentuk
pemain-pemain yang namanya semula tidak terlalu dikenal. Selain Doumbia,
Slutsky juga telah membantu Ahmed Musa, Pontus Wernbloom, Bibras Natkho atau
Roman Eremenko untuk angkat nama. Tidak cukup sampai di situ, Slutsky juga
berhasil membujuk para talenta lokalnya seperti Igor Akinfeev, Alan Dzagoev,
hingga trio bek Alexey dan Vasilli Berezoutsky serta Sergei Ignasevich untuk loyal
kepada klub yang bermarkas di Arena Khimki ini.
Sejak
dilatih pria berbadan tambun ini, CSKA tidak pernah finis di luar tiga besar Liga Rusia, dan jangan
lupakan musim ini CSKA mampu mengalahkan Manchester City di City of Manchester
Stadium dalam babak penyisihan Liga Champions musim ini. Meski mereka pada
akhirnya menduduki juru kunci dari grup yang juga dihuni Bayern Muenchen dan AS
Roma tersebut, namun lima poin yang berhasil didapat dan hanya kalah selisih
sebuah gol dari Roma untuk menduduki peringkat ketiga bukanlah sesuatu yang
buruk.