Pages

Sunday, March 8, 2015

Leonid Slutsky dan Kehebatannya Yang Kurang Terdengar

Leonid Slutsky, photo from Zimbio

Malam minggu kemarin sepertinya akan menyenangkan ketika siang harinya saya bertemu teman-teman lama. Dari pertemuan tidak sengaja itu, kami sempat menyepakati acara kumpul-kumpul kecil di rumah saya. Namun karena urusan domestik rumah tangga mendadak yang tidak bisa tidak didahulukan, mereka batal datang ke rumah.

Tidak masalah, pikir saya. Toh, malam minggu ini adalah jadwalnya Liga Primer Rusia. Ya, setelah istirahat selama kurang lebih dua bulan, Liga sepak bola negara tuan rumah Piala Dunia 2018 ini kembali bergulir. Dan alangkah indahnya ketika mengetahui dimulainya kembali kompetisi musim 2014-15 ini ditandai dengan siaran langsung pertandingan antara Terek Grozny melawan CSKA Moskow, dua klub yang memang tengah tampil baik dan menduduki papan atas musim ini.

Namun hidup memang penuh kejutan, dan kejutan tidak selalu menyenangkan. Fox 2 Sports yang tadinya dijadwalkan menayangkan laga ini, tanpa alasan yang saya mengerti, tidak jadi menayangkannya. Karena malas menonton dengan media streaming, saya memutuskan untuk menonton film komedi romantis, The Other Woman, lalu dilanjut dengan menonton film yang tiba-tiba membuat banyak orang ingin bermain drum dan mendengarkan musik jazz, Whiplash.

Tidak, saya tidak ingin me-review film Whiplash, apalagi mencoba membandingkan Terence Fletcher dengan pelatih CSKA, Leonid Slutsky, misalnya, mumpung saya sedang membahas Liga Rusia. Namun sulit untuk tidak berandai-andai, apakah yang sudah dilakukan oleh seorang pecinta hamburger seperti Slutsky sehingga berhasil membawa CSKA, klub yang tentunya tidak sekaya Zenit St. Petersburg, untuk terus meramaikan papan atas Liga Rusia?

Saya mengingat ucapan Fletcher tentang filosofinya dalam melatih kepada Andrew Neiman, si drummer asuhan. Intinya adalah pimpinan band konser sekolah berkepala botak ini selalu menginginkan anak asuhannya untuk mengeluarkan kemampuan yang bahkan melebihi batasnya. Sebagai pengajar yang seakan tidak pernah puas, kegalakan dan kebengisan Fletcher memang bagaikan pisau bermata dua: bisa menjadikan anak asuhnya menjadi drummer terhebat, atau sebaliknya, keluar dari tim dan kemudian lupakan drum. Because the next Charlie Parker will never get discouraged.

Slutsky, terus terang, saya tidak tahu bagaimana gayanya melatih, apakah ia seperti Fletcher atau tidak. Apakah ia seperti Jose Mourinho, atau Pep Guardiola atau Arsene Wenger pun saya tidak yakin. Memenangi dua gelar Liga Rusia dan membawa klub pada pencapaian tertinggi di Liga Champions sepanjang sejarah keikutsertaannya tidak lantas membuatnya menjadi sorotan publik, dan membuat pencapaiannya itu tidak terlalu dibesar-besarkan. Penampilan dan pembawaan yang tidak sekeren pelatih-pelati top yang disebutkan tadi, dan fakta bahwa ia tidak berkecimpung di liga utama Eropa mungkin menjadi penyebabnya.

Hanya dua cerita mengenai dirinya yang paling terkenal, yaitu insiden terjatuh dari pohon saat ia menolong seekor kucing dan tersebarnya foto-foto saat ia membeli hamburger dalam perjalanannya menonton film di bioskop. Terjatuh dari pohon tersebut nampaknya yang lebih berpengaruh. Akibat insiden tersebut, Slutsky yang kala itu masih berusia 19 tahun dan menduduki posisi sebagai penjaga gawang klub Zvezda Gorodishche, harus merelakan karir sepak bolanya. Sepuluh tahun kemudian, barulah ia memulai karir sebagai kepelatihan di klub Olimpia Volgograd.

Kepercayaan sebagai manajer baru didapatkannya di klub FC Moskow. Di klub yang telah bubar tahun 2010 lalu dan pernah dilatih oleh Miodrag Bozovic, eks bek Pelita Jaya pada Liga Indonesia musim pertama ini, Slutsky mencatatkan rekor kemenangan yang cukup mengesankan, yaitu 44%. Pencapaian ini termasuk membawa klub yang saat masih eksis bermarkas di stadion Eduard Streltsov (berbagi dengan Torpedo Moskow) ini ke Piala Intertoto.

Petualangan mengesankan ini kemudian membawanya ke Kyrlia Sovetov, klub dari kota Samara yang dibawanya menduduki posisi ke-6 Liga Rusia tahun 2008 (saat itu Liga Rusia masih berformat tahun kalender Januari-Desember). Sebelum kompetisi tahun 2009 usai inilah Slutsky ditunjuk untuk melatih CSKA Moskow menggantikan Juande Ramos hingga sekarang.

Seperti telah disinggung, CSKA bukanlah klub kaya, namun untuk ukuran klub Rusia, juga bukanlah klub miskin. Seperti halnya klub-klub Rusia lain, Slutsky telah merasakan ‘fenomena batu loncatan’ di mana para pemain-pemain andalannya hengkang untuk bermain di liga yang lebih top. Tak terhitung nama-nama seperti Milos Krasic, Vagner Love, hingga Keisuke Honda dan baru-baru ini Seydou Doumbia sudah meninggalkan skuatnya menuju klub yang lebih besar.

Namun hebatnya Slutsky adalah kemampuannya memaksimalkan skuat yang ada, sekaligus membentuk pemain-pemain yang namanya semula tidak terlalu dikenal. Selain Doumbia, Slutsky juga telah membantu Ahmed Musa, Pontus Wernbloom, Bibras Natkho atau Roman Eremenko untuk angkat nama. Tidak cukup sampai di situ, Slutsky juga berhasil membujuk para talenta lokalnya seperti Igor Akinfeev, Alan Dzagoev, hingga trio bek Alexey dan Vasilli Berezoutsky serta Sergei Ignasevich untuk loyal kepada klub yang bermarkas di Arena Khimki ini.

Sejak dilatih pria berbadan tambun ini, CSKA tidak pernah finis di luar tiga besar Liga Rusia, dan jangan lupakan musim ini CSKA mampu mengalahkan Manchester City di City of Manchester Stadium dalam babak penyisihan Liga Champions musim ini. Meski mereka pada akhirnya menduduki juru kunci dari grup yang juga dihuni Bayern Muenchen dan AS Roma tersebut, namun lima poin yang berhasil didapat dan hanya kalah selisih sebuah gol dari Roma untuk menduduki peringkat ketiga bukanlah sesuatu yang buruk.

Prestasi tinggi meskipun berada di tengah kepungan klub-klub kaya, juga kemampuan dalam memaksimalkan skuat, mengembangkan karir pemain dan mempertahankan harmoni di tim telah berbicara lebih banyak ketimbang sekadar impresi positif dan ketenaran. Sepertinya, hanya masalah waktu saja yang akan membuat namanya sejajar dengan pelatih-pelatih top Rusia lainnya, seperti Oleg Romantsev atau Valeri Gazzaev.

No comments:

Post a Comment