Tidak ada buku manual bagaimana cara menjadi penggila sepak bola, namun seperti yang selalu saya bilang, mendukung tim lokal adalah cara yang paling menggugah.
Sepak bola Indonesia memang terus mengalami degradasi, bukan lagi stagnansi. Apapun yang kita lihat, baca maupun dengar adalah hal-hal mengecewakan, kekalahan demi kekalahan, dan juga baru-baru ini sepak bola gajah. Bagi suporter lokal, hal itu nyatanya tidak menyurutkan minat mereka untuk menonton bola. Sebagaimanapun bobroknya sepak bola, passion dari suporter akan selalu ada. Dan tidak akan mati.
Saya sendiri belum merasa mantap ketika seseorang bertanya “klub Indonesia favorit lo apa?” beberapa waktu lalu di sebuah acara nonton bareng Liga Inggris. Maklum, saya tidak dilahirkan dari keluarga dengan minat sepak bola yang tinggi, sehingga meskipun ayah saya berasal dari Surabaya dan ibu saya dari Bandung, tidak pernah sedikitpun saya pernah mendengar cerita-cerita yang memercikkan kebanggaan atas klub Persebaya maupun Persib.
Masuknya sepak bola ke dalam hidup saya sepertinya kebetulan kosmik. Setelah diolok-olok dalam permainan sepak bola masa kanak-kanak, saya merasa amat sebal kepada para pencela itu, lalu dengan amarah yang mendidih di kepala, saya belajar bermain sepak bola, bukannya berusaha menonjok mereka (gak berani juga sih, mereka berjumlah banyak dan berusia lebih tua daripada saya saat itu). Cerita layaknya kapten Tsubasa tidak menghinggapi kehidupan saya, karena saya toh gagal menjadi pesepakbola profesional sesuai keinginan saya, dan berakhir sebagai ‘tukang insinyur’ bidang pajak. Tapi setidaknya saya bukanlah penendang, pengumpan dan penggocek bola yang buruk. Dan yang terpenting, berkat celaan masa kanak-kanak itu, sepak bola datang memberi warna hidup dalam bentuk tontonan, dunia tulis menulis, dan teman-teman baru.
Ketiadaan pengaruh keluarga, plus fakta bahwa saya besar di pinggiran kota Jakarta membuat saya sempat berpaling kepada tim ibukota, Persija Jakarta. Saya sempat mendukung tim tersebut, namun rasanya aneh ketika mendukung Persija namun masih menyimpan simpati promordial atas Persib, klub yang menjadi rival dalam satu dekade terakhir ini. Dukungan inipun agak terasa hambar.
Lalu ketika denyut sepak bola kota Depok mengalir, klub Persikad Depok tampil mengarungi belantara sepak bola Indonesia divisi bawah. Saya pun sempat menceburkan diri dengan menonton langsung beberapa laga kandang mereka di Stadion Merpati, tempat saya biasa bermain semasa SMP. Menyaksikan Persikad adalah bentuk romantisme sepak bola sesungguhnya, karena dari segi apapun, Persikad sulit mengambil hati penonton netral seperti saya. Namun jika menyaksikan sendiri betapa sulitnya keadaan mereka, cerita miris dari para pemain, stadion yang ala kadarnya, juga investor yang datang dan pergi dengan begitu mudahnya, orang tidak berperasaan pun akan tersentuh mendukung klub ini.
Saya sudah cukup lama tidak menyaksikan Persikad di stadion Merpati karena sekarang sedang libur kompetisi. Gairah sepak bola lokal saya pun sempat terhenti. Namun hal ini sesaat berubah semalam. Momen tersebut adalah saat Persib bertanding di final kompetisi ISL melawan Persipura, klub yang dalam lima tahun terakhir begitu superior dan baru-baru ini mencapai babak semifinal AFC Cup. Ketika menyaksikan tim ini di layar kaca, saya masih merasakan sedikit unsur Persib dalam diri karena keterkaitan asal usul, dan saya pun turut gembira ketika sepakan penalti Ahmad Jufriyanto berhasil memastikan gelar juara. Namun rasanya, kegembiraan ini lebih pantas dimiliki oleh para Bobotoh beneran.
Kemenangan Persib lantas membawa lamunan saya kepada Persikad. Menantikan Persikad menjuarai liga Indonesia mungkin sama saja berharap Indonesia menjadi peserta Piala Dunia. Para pendukung Persikad boleh jadi tidak akan pernah merasakan momen paripurna sebagai pendukung sepak bola, yaitu menyaksikan klubnya juara. Namun mendukung Persikad bagi saya bukanlah soal kapan menjadi juara, namun lebih kepada wujud nyata kecintaan terhadap olahraga sepak bola. Hanya dengan mendukung klub inilah saya bisa menyelami denyut sepak bola Indonesia secara langsung dan merasakan seperti apa mendukung klub lokal, klub yang ada di depan mata. Tidak jauh seperti mereka yang ada di Eropa sana. Menyoraki, merasa cemas, senang dan sedih sekaligus mengintimidasi pemain dan suporter lawan dapat dirasakan hanya dengan meluangkan waktu selama 90 menit di stadion Merpati, dan buat saya sih kegiatan ini lebih menyenangkan ketimbang menonton film seru di bioskop sekalipun. Ya, menonton sepak bola di stadion, bagi saya sudah seperti piknik.
Momen kemenangan Persib ini, bagaimanapun telah meluruskan pikiran saya untuk terus menonton sepak bola langsung dari dekat. Siapa tahu kebetulan kosmik lainnya hadir dalam bentuk kesempatan menyaksikan langsung pertandingan sepak bola di Eropa. Siapa tahu.
No comments:
Post a Comment