Cepat,
klinis dan tidak sekadar menunggu bola di kotak penalti lawan adalah ciri seorang
second striker klasik. Dan kira-kira
dua tahun lalu saya berkesempatan menyaksikan seorang mantan pemain yang mengusung
gaya tersebut. Dialah Andriy Shevchenko. Di stadion GBK kala itu, saya
menyaksikan Sheva yang bermain untuk Milan Glorie.
Sedikit memodifikasi
gaya bermain lantaran usia, Sheva kemudian menjadi seorang target man yang berada di antara dua bek tengah lawan. Dalam sebuah
kesempatan ketika berhasil lolos dari jebakan offside, Sheva membobol gawang tim gabungan Indonesia dengan sebuah
penyelesaian akhir yang amat dingin, tidak jauh berbeda ketika ia masih bermain.
Sheva seperti bisa mencetak gol bahkan dengan mata tertutup.
Bermain di
posisi deep-lying playmaker dapat membuat
kita amat menikmati permainan karena dari posisi itulah bola dialirkan ke
segala arah. Di posisi itu, siapa lagi yang lebih baik ketimbang seorang Andrea
Pirlo. Dan semalam, saya melihat langsung bagaimana Pirlo (susah memotretnya
karena kualitas kamera ponsel yang tidak secanggih kamera DSLR andalan para
turis kece) mengirim puluhan umpan terobosan diagonal ke sisi kiri pertahanan
lawan dengan amat smooth dan effortless dalam latihan terbuka klub
Juventus. Pirlo seperti bisa mengirim umpan bahkan dengan mata tertutup.
Saya tidak
ingin membahas detail statistik Pirlo bermain, atau bagaimana perannya secara
taktikal karena sudah ada 12334565437 orang yang telah membahasnya. Yang saya
ingin kedepankan adalah bagaimana Pirlo mengirim umpan.
Passing, passing, dan passing adalah senjata mematikan dalam sepak bola kekinian. Banyak tim
yang amat terobsesi dengan passing, namun lupa bahwa gol harus dicetak. Namun banyak
pula tim yang memang mengusung gaya possession
football demi meruntuhkan sistem pertahanan lawan lalu kemudian mencetak
gol ketika pertahanan tersebut melonggar. Bisa melakukan simple passing dengan presisi adalah keahlian yang dibutuhkan untuk
menyusun serangan.
Simple passing atau umpan pendek mendatar yang
dikirimkan kepada rekan terdekat terlihat amat sederhana dan mudah dilakukan. Namun
jika simple passing tersebut
dilakukan 10-20 kali dalam satu serangan, dan dalam satu babak terjadi 20
serangan, bayangkan betapa pentingnya kebisaan seorang pemain melakukan sebuah simple passing. Sepak bola jaman sekarang bukanlah mendribel bola melewati
dua-tiga pemain lanjut berlari dengan heroik, lalu seolah tidak masalah untuk
mengirim umpan yang salah. Sepak bola jaman sekarang adalah seperti yang
digambarkan oleh pelatih rekaan bernama Erick Dornhelm kepada pemain yang juga
rekaan bernama Santiago Munez dalam sebuah sesi latihan yang juga rekaan dalam
film bertema sepak bola berjudul Goal.
Bagi Pirlo,
mengirim umpan terobosan diagonal ke sisi sayap maupun umpan terobosan ke kotak
penalti mengalahkan perangkap offside
sudah seperti seorang Sergio Busquets mengirim umpan pendek kepada Xavi (Hernandez)
atau (Andres) Iniesta untuk mengolah permainan Barca.
Tanpa bermaksud
membandingkan Pirlo dengan Busquets, apa yang dilakukan Pirlo secara kasat mata
terlihat lebih menentukan. Ia tidak sekadar mengirim umpan diagonal, namun juga
menjadi algojo bola mati atau bahkan melakukan dummy running yang akan berperan langsung pada gol yang tercipta. Dengan
karakter unik dan kebisaan yang jarang
dimiliki pemain lain, maka tidak heran jika Pirlo akan menjadi pusat permainan
tim manapun yang diperkuatnya.
Sesuai dengan
judul biografinya, ‘I Think Therefore I Play’, Pirlo adalah pemikir di
lapangan. Ia tidak banyak beradu fisik dengan lawan dan jarang melakukan sliding tackle. Ia bermain dengan ratusan
skenario untuk membangun serangan, untuk itu sebagian orang menjulukinya
sebagai ‘sang arsitek’. Ia sudah teramat berkharisma tanpa harus berteriak dan
memarahi teman-temannya. Ia sudah mengalirkan bola sejauh puluhan meter tanpa
harus berlari kencang dengan dribel heroik. Entah kapan sepak bola Italia (atau
bahkan sepak bola di negeri manapun) mampu memproduksi lagi pemain seperti
Pirlo.
No comments:
Post a Comment