Waktu masih sering main bola, posisi favorit gue ada 3, yaitu
penyerang kedua, trequartista dan penyerang tengah. Gue sangat suka mencetak
gol, dan posisi-posisi itu memungkinkan gue mencapai tujuan itu. Pernah juga
gue bermain sebagai sayap kiri, tapi penempatan itu lebih karena teman-teman
satu tim melihat gue memiliki lari yang cepat dan fasih menendang dengan kaki
kiri. Sesuai lah dengan taktik sepak bola masa itu.
Beberapa
pesepak bola dengan kategori ‘pemikir sejati’ mungkin akan menganggap visi gue
dangkal, karena hanya memikirkan gol. Tapi setidaknya berkat gol-gol yang
pernah gue ciptakan, tercipta kenangan-kenangan yang begitu membekas. Jika saja
dulu sudah ada ponsel kamera, mungkin gue bisa mengunggah saja videonya
ketimbang bercerita seperti ini. Kenangan-kenangan indah di berbagai jenis lapangan
(rumput asli, rumput sintetis, tanah merah, pasir, semen halus, semen kasar)
bisa gue gambarkan dalam lima laga paling berkesan yang pernah gue jalani.
5. 2-3 vs IPS-2 (Classmeeting SMA 1
Depok)
Jaman SMA
dulu, sepak bola mini adalah ajang yang paling bergengsi di ajang classmeeting sekolah. Pas duduk
di kelas dua, undian mempertemukan kelas gue dengan salah satu tim kuat kelas
3, yaitu anak-anak IPS-2. Jaman gue dulu sih, anak IPS itu identik dengan
anak-anak yang prestasinya kalah mentereng dibandingkan dengan anak IPA. Untuk itulah
para jagoan bola yang umumnya gak memikirkan prestasi akademik duduk di kelas
IPS. Dan kelas IPS-2 ini memiliki beberapa pemain yang memang skillnya bagus.
Semalam sebelum
pertandingan, sayangnya gue dan teman-teman harus begadang mengerjakan tugas
makalah. Jaman dulu, jarang yang punya komputer. Gue beruntung menjadi salah
satu anak yang punya, dan jadilah rumah gue dijadikan base camp setiap kali ada
tugas seperti ini. Ngerjain tugasnya sih sebentar, tapi main-main dan
ngobrolnya yang lama. Alhasil, kami begadang sampai pagi. Ada yang main PS,
main game di komputer, main gitar, main kartu, sampai ada yang curhat segala. Dalam
kelompok tugas, sebagian besarnya adalah anggota tim sepak bola. Jadilah kami
bertanding layaknya zombie pada keesokan harinya.
Meriahnya atmosfer
pertandingan membuat mata kantuk kami terbelalak. Tidak ada rasa capai, lelah,
apalagi mengantuk. Laga tensi tinggi pun kami jalani, karena senior-senior ini
memang amat bernafsu mengalahkan juniornya. Gue bukanlah pemain yang percaya
diri, karena itu butuh waktu buat gue agar bisa nge-grip dengan pertandingan.
Sempat beberapa kali kontrol gue gak sempurna, dan umpan-umpan juga kerap
salah.
Tapi sekalinya
udah panas, gue menjadi sangat menyatu, dan ternyata cukup mampu menjadi katalis performa tim. Pemantik itu semua adalah tendangan
keras gue yang membentur mistar gawang. Gue dan teman-teman melihat jelas bola
itu udah melewati garis gawang. Tapi karena bola kembali ke luar garis dan
kiper lawan menangkapnya, wasit urung mengesahkan gol itu.
Kampret.
Mereka lalu
unggul lewat sebuah skema serangan balik hingga turun minum.
Gue dan
teman-teman gak menyerah. Berposisi di belakang dua penyerang, gue terus
berusaha menerobos kukuhnya pertahanan lawan. Beberapa peluang berhasil
diciptakan, dan salah satunya berbuah gol lewat seorang teman. Pendukung pun
bergemuruh, suasana makin panas layaknya pertandingan sepak bola beneran. Laga berakhir
seri pada waktu normal, lalu dilanjutkan dengan perpanjangan waktu.
Extra time
ini menggunakan sistem sudden death. Sialnya, kiper tim gue emang sangat
grogian. Upayanya meninju bola hasil lemparan ke dalam malah masuk ke gawang sendiri.
Bitter. Pait banget. Kami semua gak percaya dengan yang baru terjadi. Lawan pun
bersorak girang bercampur lega. Kiper lawan pun menghampiri lalu menyelamati gue sambil bilang “Sorry
ya, tendangan lo tadi memang udah gol.”
Setelah itu,
gue dibelikan minuman oleh cewek-cewek :)
4. IPA-4 vs
IPS-1 (Liga Kelas 3, SMA 1 Depok)
Seperti yang
gue bilang, kelas IPS memang megang banget dalam urusan persepak bolaan
sekolah. Kelas IPS-1 di angkatan gue pas kelas 3 ini berisi ‘The Dream Team’
dalam skala SMA kami. Pemain-pemain handal berkumpul di situ. Mereka bahkan
lebih cocok untuk menjadi pemain bola beneran.
Ini adalah
sebuah laga dalam liga kelas 3 yang kami buat menjelang ujian. Hal ini
sekaligus menunjukkan betapa bahagianya masa SMA kami dulu yang gak ada ujian
penentuan kelulusan. Buktinya, udah mau lulus aja masih bisa bikin liga sepak
bola. Kelas gue, IPA-4 bertemu dengan kelas The Dream Team itu dalam sebuah
laga yang di mana kelas kami semestinya menjadi bulan-bulanan.
Bayangan akan
bully dari lawan semakin jelas saat laga baru berjalan beberapa menit,
penyerang andalan IPS-1 yang terkenal dengan tendangan kerasnya berhasil
membobol gawang kami. “Dengarkan jeritannya!” seru salah seorang pemain IPS-1
ketika gol tersebut tercipta.
Tapi gue
sedang menjalani hari yang indah saat itu. Gak sampai tiga menit, gue udah
membalas gol itu. Bola berhasil gue curi dari bek tangguh lawan, lalu gue
giring dengan cepat dan gue tendang sekeras-kerasnya. Gol.
Wajah mereka
berubah menjadi tegang. Laga yang semula menjadi milik mereka, berubah menjadi
imbang. Gue yang tadinya gak terlalu diperhatikan lawan, mendadak dijaga ketat.
Gol tadi memang mengubah segalanya. Kami berhasil memaksa tim hebat bermain
kagok.
Laga hampir
berakhir imbang ketika kelas kami dihukum tendangan bebas. Tendangan pun
diambil, dan kiper gue gagal mengantisipasi bola yang sebetulnya pelan. Lagi-lagi
bitter, dan kelas gue kalah.
Tapi gue memiliki kesan tersendiri untuk laga barusan. Seusai pertandingan, sang andalan lawan
menghampiri gue dengan bilang bahwa gue bermain baik dan berhasil membuat
mereka kesulitan.
3. 2-4 vs
2-6 (Pertandingan Antarkelas, SMP 2 Depok)
Ini adalah
pertandingan perdana gue di jenjang SMP. Waktu SMP dulu, gue cukup jadi korban
bully lantaran badan gue yang pendek, kecil dan gaya gue yang cenderung culun.
Bukan gaya yang dilirik cewek-cewek saat itu lah. Beda sama mereka-mereka anak
basket yang gayanya (dan sepatunya) keren. Jadi, kalo ada
pertandingan sepak bola, gue gak pernah diajak. Gak ada yang mengira anak
seculun ini bisa main bola.
Tapi, saat pembuktian
itu akhirnya tiba. Beberapa anak yang jago bola itu memilih main basket (yang
banyak ditonton cewek-cewek), padahal di saat bersamaan ada jadwal tanding
sepak bola antarkelas. Gue pun diajak main dengan alasan kurang orang.
“Elu
main jadi bek aja ya. Kalo ada bola, elu buang aja jauh-jauh sekuat tenaga.”
“Nanti
kalo elu dapet bola, langsung aja oper ke gua daripada elu bingung.”
“Kalo
gak kuat, bilang aja ya, nanti bisa digantiin yang lain.”
Tuh kan,
betapa gue dianggap sebagai anak laki-laki lemah yang berkebutuhan khusus.
Pertandingan
berjalan, dan tim kami terus kebobolan. Gue memang gak seneng jadi bek, jadilah
gue sering kalah duel dengan penyerang-penyerang lawan. Performa gelandang dan
penyerang-penyerang gue amat memprihatinkan. Gak tajam dan lesu darah. Gue gemes
melihat itu semua, dan kemudian maju meninggalkan pos di belakang. Bola berhasil
gue kuasai, lalu umpan gue kirim ke sisi lapangan. Dari situ, serangan diolah
dan gue kemudian mendapat umpan tarik yang gue selesaikan dengan tendangan kaki
kiri yang keras. Gol.
Bukan hanya
lawan yang terkejut, tapi ternyata teman-teman gue ikut terperangah. Lha,
mereka kan belum pernah melihat gue main bola, dan mereka udah punya mindset
untuk menganggap gue sebagai ‘anak bawang’.
Sekarang gue tunjukin kalo elu bawangnya, dan gue ulekannya. Hahaha.
Satu gol belum cukup bikin puas. Sebuah solo run gue lakukan yang gue akhiri dengan tendangan
keras yang juga berbuah gol. Dan menjelang laga usai, gue memberi assist untuk
seorang rekan. Pertandingan selesai dan kami memang kalah, tapi pertandingan itu mengubah masa-masa
sekolah gue.
“Gak nyangka
gue, ternyata elu bisa juga ya main bola!” kata seorang teman.
Berakhir sudah
era dianggap enteng dan gue secara informal diterima dalam pergaulan.
2. Deloitte
vs KPMG (BIG 4 Accounting Firm friendly match)
Sewaktu
masih sibuk berat di Deloitte, gue masih menyempatkan diri main bola,
walaupun hanya di lapangan rumput sintetis. Ada masa di mana kami terus
menantang sesama firma akunting Big Four untuk bermain bola, dan kami selalu
menang dalam laga informal itu.
Salah satu yang berkesan buat gue adalah saat
menghadapi KPMG.
Pertandingan
itu adalah salah satu pertandingan di mana gue berhasil mencetak gol dalam
setiap percobaan tendangan yang gue lakukan. Posisi gue waktu itu adalah
penyerang tengah. Classic number nine poacher.
Entah berapa
gol yang gue bikin dalam pertandingan itu, gue sendiri sampai lupa. Yang jelas, waktu itu gue berhasil
mencetak gol dalam berbagai posisi, berbagai cara. Sundulan, tendangan keras,
tendangan bebas, bola muntah. Dengan kaki kanan dan kiri. Dalam salah satu gol
yang gue bikin, temen gue sampai bilang “Gila lu ya, mau nendang dari manapun
bisa gol”
1. Tim Angkatan Jurusan vs Alumni (Final Pekan Olahraga
Jurusan)
Jaman kuliah
dulu pernah ada slogan “Jangan sampai kuliah ngeganggu bola” seakan menunjukkan
fanatisme jurusan kami akan olahraga ini. Banyak laga seru dan panas tercipta,
tapi buat gue sendiri sih, gak ada yang lebih berkesan dari laga ini.
Laga final
ini berlangsung saat gue ada jadwal kuliah. Karena gue menjadi kordinator
kelas, gue gak bisa bolos, dan sialnya pertandingan tetap berjalan tanpa gue
(ya iyalah). Gue pun ketinggalan satu babak di mana tim gue tertinggal satu gol.
Saat gue
bergegas menuju lapangan, baru sadar kalau gak bawa celana pendek. Akhirnya gue
tetap memakai celana jeans yang digulung. Untung aja pertandingan ini gak resmi-resmi amat,
jadinya gue tetap diperbolehkan main. Skor kemudian berubah satu sama ketika
seorang teman gue mencetak gol penyeimbang. Setelah itu, laga berlangsung amat
seru.
Pertandingan
itu seolah seperti menjadi milik gue. Langkah lebih ringan dari biasanya, dan umpan-umpan
gue begitu akurat saat itu. Memang magical moment benar adanya. Saat laga sudah
mau habis, gue yang berdiri agak jauh dari kotak penalti mendapatkan bola liar.
Setelah gue kontrol, seorang teman meminta bola itu dioper kepadanya, tapi
insting gue bilang untuk menembak langsung aja.
Kali ini,
gue mengikuti insting. Begitu berada di sudut yang tepat, bola gue hajar keras
dengan kaki kanan. Cukup tinggi untuk menjauhi jangkauan kiper, namun bola
bergerak parabolik untuk menukik tepat ke arah pojok kiri atas gawang. Gol.
Dalam kondisi
normal, mungkin akan sulit buat gue mengulangi tendangan tadi. Penyerang Italia
Raimondo Orsi pun pernah mengalami momen serupa saat final Piala Dunia 1934
menghadapi Cekoslowakia. Saat itu, ia melepas tendangan voli dari angle yang
sulit, namun berhasil berbuah gol penyama kedudukan. Ketika wartawan memintanya
mengulangi gerakan tendangannya dalam sebuah wawancara, Orsi pun tidak mampu
melakukannya. Tentu apa yang dilakukan Orsi memiliki skala yang jauh lebih besar, tapi setidaknya banyak kesamaan yang tercipta antara momen gue dan Orsi.
Ya begitulah
sepak bola. Ia memiliki momen ajaib yang sulit terjadi dalam situasi normal. Dalam
pertandingan, kita kadang seperti menjadi orang lain, padahal itu adalah versi
terbaik dari diri kita. Sepak bola mampu mengaduk-aduk emosi dan membawa
pelakunya seakan menuju dimensi yang berbeda. Padahal tidak sama sekali. Ilusi-ilusi
seperti inilah yang tampaknya jarang gue alami ketika melakukan kegiatan lain.
Sepak bola
buat gue udah seperti gambaran hidup. Kadang senang kadang sedih. Sepak bola
juga seperti sosok kakak yang membela adiknya yang di-bully teman-temannya.
Selang beberapa
waktu kemudian, sepak bola hadir dalam bentuk tulisan. Gue yang berpikir bisa
sedikit menulis, kemudian memberanikan diri untuk tercebur dalam belantara
dunia tulis menulis. Banyak hal menyenangkan, tapi tidak sedikit juga yang
tidak menyenangkan. Sekarang gue memilih untuk vakum sejenak untuk menulis secara komersil, dan kembali ngeblog sendiri.
Anyway,
itulah cerita pertandingan-pertandingan berkesan buat gue, si penggemar sepak
bola yang gagal jadi pesepak bola profesional, dan masih jauh juga dari kata
penulis profesional. Dan akhirnya gak jadi penulis profesional juga sih. Sekarang,
sayangnya gue udah jarang bermain sepak bola. Ada rasa kehilangan yang amat
sangat akan sebuah momen ajaib dan momen-momen menyenangkan yang hanya bisa
terjadi di lapangan.
Saat permainan
sepak bola remeh temeh sudah berubah menjadi semakin komersil, yang ditunjukkan dengan tarif mahal
lapangan futsal, harga sepatu dan jersey yang juga semakin gak masuk akal, dan waktu luang
yang semakin sedikit, memang tidak bisa dipungkiri lagi jika bermain sepak bola
adalah hal yang kini teramat mewah.