Sinisa Mihajlovic (Photo from Bleacher Report) |
Bagi siapa pun yang sehari-harinya bekerja
dalam tekanan berat dari atasan dan dihantui masa depan yang tidak jelas, plus
arah yang juga tidak jelas dari tempatnya bekerja, sejenak kembali ke kampung
halaman bisa membantu mengurangi beban, jika menghilangkannya sama sekali juga
tidak mungkin.
Sinisa Mihajlovic, pelatih Milan yang memiliki
ayah seorang Serbia dan ibu seorang Kroasia, memanfaatkan libur natal dan tahun
baru untuk mendatangi rumah masa kecilnya di Borovo, perbatasan antara Kroasia
dan Serbia. Rumah yang terakhir kali dilihatnya 24 tahun yang lalu. Dalam foto,
Mihajlovic mengenakan topi dan kacamata, mungkin agar tidak terlalu mencolok
dan mudah dikenali, sehingga ia bisa meresapi betul momen nostalgia yang
berharga ini, sebelum kembali ke kota mode metropolitan untuk dituntut memberi
hasil dari investasi besar 150 juta euro (and still counting).
Mihajlovic dikenal sebagai pemain yang keras
ketika masih bermain. Namun di luar lapangan, ia adalah pribadi yang berbeda.
Jonathan Wilson, penulis buku Behind The Curtain, Travels in Eastern European
Football, pernah menceritakan seklumit masa lalu dan awal karir bermain
Mihajlovic di situs media Guardian sekitar tahun 2013. Dalam tulisannya yang
begitu kaya data, tidak bias seperti fanboy,
dan penuh dengan cerita yang jarang dibicarakan orang ini, Wilson menceritakan
bahwa perang saudara di kawasan Balkan pada awal 90an banyak berpengaruh pada
kepribadian dan gaya main Mihajlovic, dan bukan tidak mungkin, gaya melatihnya
kini. "Ia adalah murid yang pandai ketika di sekolah. Selalu duduk di
kursi paling depan," ujar guru sejarah sekaligus pelatih tim sepak bola
sekolahnya. Seorang temannya juga menambahkan tentang sisi kompetitif
Mihajlovic yang membuatnya selalu ingin memenangi pertandingan olahraga yang
diikuti, meskipun tetap cemerlang di pelajaran sastra Serbia-Kroasia.
Bagi seseorang dengan latar belakang seperti
ini, menghadapi presiden klub yang begitu demanding dan kadang megalomania seperti Silvio Berlusconi mungkin
saja tidak sebanding dengan situasi perang. Namun Mihajlovic tentu mahfum bahwa
menggigit tangan orang yang memberi kita makan adalah perbuatan tak berkelas yang tidak tahu
diuntung.
Berlusconi, di sisi lain adalah sosok presiden
klub yang jika dibolehkan akan bersedia duduk di bangku cadangan tim untuk
meneriaki pemain-pemainnya, bahkan akan mengambil tendangan penalti sendiri
untuk Milan. Berlusconi sudah sering mengatur
dan mendikte pelatih-pelatih Milan sebelumnya, mendatangi mereka pada jeda pertandingan, dan merobek selembar buku jurnalnya untuk menulis taktik yang diinginkan dan siapa yang harus bermain dan tidak boleh bermain.
Mengritik mereka di media juga
bukan hal luar biasa baginya, termasuk untuk Mihajlovic. Tanyakan saja hal ini
kepada Zaccheroni, yang ia sebut sebagai seorang penjahit yang tidak mampu
mengolah bahan bermutu tinggi, atau bagaimana ia menyuruh Ancelotti untuk
memainkan dua penyerang ketimbang memainkan Rui Costa dan Seedorf di belakang
Shevchenko, meski formasi pohon natal Carletto memenangkan banyak pertandingan penting.
Mihajlovic tentu sudah melakukan segala yang ia
mampu. Datang dengan diwarisi skuat dengan mentalitas loyo yang dijangkiti krisis
kepemimpinan dan mudah puas, hingga saat ini setidaknya ia telah menciptakan
lini belakang temporer yang cukup menjanjikan dan lini tengah yang mau
bertarung. Jangan lupa, Milan juga amat mungkin menembus final Coppa Italia
karena di babak perempat final ‘hanya’ perlu menyingkirkan Carpi untuk bertemu
salah satu di antara klub divisi di bawah mereka, Spezia dan Alessandria di
babak semi final.
Namun Berlusconi tetap Berlusconi. Jangan
sesekali berbicara taktik dengannya, apalagi menguliahi bagaimana cara
mengelola klub sepak bola. Suka atau tidak, torehan gelar liga domestik dan
kontinental adalah pencapaian tak terbantahkan yang menjadikannya salah satu
presiden klub sepak bola tersukses sepanjang masa, yang menjadikan namanya pantas diabadikan menjadi nama stadion Milan. Apalagi intuisinya dalam menunjuk
pelatih. Siapa yang begitu visioner menunjuk Arrigo Sacchi hingga pelatih ini
kemudian menjadi salah satu yang tersukses di Eropa pada masa jayanya, dan siapa yang memulai era sugar daddy sepak bola ini jika bukan Milan tahun 90an?
Sejak awal, Mihajlovic memang bukan pilihan
utama untuk melatih Milan. Kedatangan Ancelotti, Emery atau Conte lebih
diharapkan. Bahkan Sarri lebih dulu disebut-sebut sebelum pilihan dijatuhkan
pada Mihajlovic. Sebagai pilihan kesekian, memang akan lebih mudah bagi
Berlusconi untuk mengkritisi sang pelatih ketika satu-dua kekalahan didapat,
dan para pemain terlihat begitu sulit mengalahkan lawan yang lebih lemah. Berlusconi
tetap bersikukuh bahwa membongkar pasang skuat dan menggonta-ganti pelatih
adalah solusi tepat guna yang akan segera membawa Milan kembali pada era kejayaan
Sacchi, Capello atau Ancelotti.
Meski baru menjalani seperempat jalan dari
kontrak dua tahun yang ditandatangani, pekerjaan Mihajlovic seperti sudah dicap
gagal. Milan masih menyebut-nyebut nama Conte, Emery dan yang terbaru adalah Di Fransesco untuk menangani Milan mulai musim depan. Mihajlovic seperti hanya diperlakukan sebagai batu loncatan pengisi kekosongan sebelum Milan mendapatkan pelatih yang benar-benar diinginkan. Terlebih Mihajlovic bukan legenda Milan seperti halnya Seedorf dan Inzaghi, maka memecatnya tidak akan memberi tanggung jawab moral berlebih, bukan?
Sayangnya bagi Mihajlovic, jadwal
berat telah menanti. Setelah Bologna pada pembukaan tahun, Roma, Fiorentina,
Empoli dan Inter Milan telah menanti di Seri A, dan Carpi telah menunggu di
perempat final Coppa Italia pada pertengahan bulan. Januari bukanlah bulan bersahabat bagi Milan
tahun lalu. Ketika itu di bawah Inzaghi, Milan menutup tahun
dengan menahan imbang Roma di Olimpico dan mengalahkan Real Madrid dalam laga
uji coba di Dubai, namun kemudian Milan mengalami tiga kekalahan dari empat
laga Seri A pada Januari 2015 atas Sassuolo, Atalanta dan Lazio.
Kekalahan ini
meredupkan momentum positif yang akhirnya menggelincirkan mereka dari papan
atas hingga akhir musim. Padahal Milan mendatangkan cukup banyak pemain pada
winter transfer seperti Salvatore Bocchetti, Gabriel Paletta dan Alessio Cerci.
Musim ini juga begitu, bukan? Sudah datang para pemain di musim panas dan
dingin, kok masih gagal juga? Pecat saja pelatihnya. Siklus
ini masih akan berjalan entah sampai kapan.
Sudah empat pelatih menangani
Milan sejak tahun 2012, dan para fans akan lebih mudah mencari-cari kesalahan
dan kelemahan pelatih-pelatih malang itu, ketimbang berpikir bahwa permasalahan
yang lebih besar berada pada bagaimana klub ini dijalankan. Bagi Mihajlovic,
tidak ada pilihan selain memaksimalkan 'Kevin-Prince Boateng yang akan membantu di banyak area' dan 'kembalinya Balotelli dan Menez bagai mendapat pemain baru'.