|
Johan Cruyff. Photo from jotdown.es |
(Entri ini menulis ulang dan mengedit seperlunya salah satu tulisan saya dari buku The Legends, Pesepak Bola Terbaik Dunia Yang Pernah Ada; Aditya Nugroho, Arsyad M. Fajri, M. Rezky Agustyananto, Mahir Pradana; Salaris Publisher, 2014)
Hendrik Johannes Cruyff lahir pada 25 April
1947, ia adalah anak dari seorang ayah bernama Hermanus dan ibu bernama Petronella.
Cruyff lahir di bagian timur Amsterdam, ibukota Belanda. Seakan mengikuti jejak
para seniman dan artis kelahiran kota ini, Cruyff kelak juga dikenang sebagai
seniman sepak bola papan atas.
Cruyff sudah menyukai sepak bola sejak kecil.
Idola masa kecilnya adalah Servas ‘Faas’ Wilkes, pemain nasional Belanda era 40
hingga 50an. Wilkes adalah seorang penyerang subur Belanda yang karirnya
membentang dari klub Xerxes Rotterdam, Internazionale Milan, Torino, hingga ke
Spanyol bersama Valencia. Wilkes juga merupakan pencetak gol terbanyak tim
nasional Belanda saat itu dengan catatan 35 gol sebelum rekor tersebut dipecahkan
oleh Patrick Kluivert dan Robin Van Persie.
Kesedihan melanda Cruyff saat sang ayah
meninggal akibat serangan jantung. Saat itu usianya masih 10 tahun. Ibunya yang
tak sanggup membuka toko seorang diri akhirnya mencari pekerjaan baru, dan ia
mendapatkannya di Ajax sebagai petugas pembersih. Cruyff pun menjalani
masa-masa remajanya tanpa didampingi sosok ayah. Namun justru dari peristiwa
inilah mentalnya terasah.
Cruyff bermimpi untuk menjadi pesepakbola
seperti Wilkes. Bakat besar Cruyff tercium oleh tim pemandu bakat Ajax, yang
kemudian menariknya. Cruyff menjalani kehidupan yang berat sebagai anak-anak.
Sekolah di pagi hari, berlatih di sore hari dan membantu ibu di sela-sela
waktu. Ia juga amat belajar banyak soal kedisiplinan dari hal ini.
Ajax memang dikenal sebagai klub yang sejak
lama memperhatikan betul akademi mereka. Bakat besar Cruyff tercium lantaran
para pelatih Ajax yang kala itu kebanyakan berasal dari Inggris meluangkan
banyak waktu untuk menyaksikan perkembangan pemain-pemain mudanya. Para staf
pelatih itu menginginkan pemain muda mereka bermain layaknya tim senior yang
atraktif, banyak menekan lawan dan lihai dalam menguasai bola.
Perjalanan
Karir Sebagai Pemain
Cruyff tumbuh sebagai remaja bertubuh tinggi
dan berkaki panjang. Rambutnya bergaya shaggy alias dibiarkan panjang natural tanpa ditata secara
berlebihan. Cruyff juga amat pintar berbicara, melambangkan kecerdasan dan
wawasannya yang luas. Kala diwawancarai wartawan, tata bahasanya amat runtut,
sistematis, filosofis dan elegan.
Cruyff adalah sosok yang tahu betul yang ia mau, dan tahu cara meraihnya. Filosofi sepak bola di kepalanya
makin melekat kala ia ditugasi sebagai ball
boy dalam pertandingan final European Cup antara Benfica melawan Real
Madrid. Cruyff yang saat itu baru berusia 15 tahun berdecak kagum menyaksikan
pemain-pemain seperti Eusebio dan Di Stefano. Mereka berdua adalah pemain yang
amat cerdas dengan menggabungkan skill tinggi dan pergerakan yang tak terlacak
bek lawan. Sebuah pemandangan yang menginspirasi Cruyff muda.
Cruyff mendapatkan kesempatan melakoni debut
tim senior Ajax Amsterdam delapan tahun setelah bergabung atas rekomendasi Vic
Buckingham, pelatihnya asal Inggris saat itu. Dalam debutnya menghadapi GVAV
tersebut, ia langsung mencetak gol namun sayang Ajax harus menyerah 1-3. Dalam
musim perdananya ini, prestasi Ajax tidaklah memuaskan dan harus menduduki
posisi 13, atau salah satu peringkat terendah sepanjang sejarah. Cruyff sendiri
membukukan 4 gol dalam 10 laga yang ia lakoni musim itu. Bukanlah pencapaian
buruk bagi seorang pemain muda.
Namun musim berikutnya Cruyff membawa Ajax pada
fase kebangkitan. Lewat sumbangan 16 golnya, Ajax berhasil merebut gelar
Eredivisie pertama mereka dalam lima tahun. Semusim berselang, Cruyff memenangi
gelar topskor Eredivisie dengan torehan 33 gol dari 30 laga. Total, Cruyff
mencetak 41 gol dari 41 laga di semua ajang dan membawa Ajax kembali meraih
titel domestik.
Kejayaan di level domestik kemudian menular
ke Eropa. Yang paling dikenang tentu saja tiga gelar beruntun European Cup
(sekarang Liga Champions) tahun 1970 hingga 1972 yang membuat mereka menyamai
prestasi Real Madrid tahun 50an kala Di Stefano dan Puskas menjadi andalan.
Pencapaian ini sekaligus menjadikan Ajax dianugerahi penghargaan abadi Badge of Honour, sebuah penghargaan bagi
klub yang mampu merebut tiga gelar beruntun European Cup atau mengumpulkan
minimal lima gelar secara total. Hingga kini, baru lima klub yang memperoleh
kehormatan itu, yaitu Real Madrid, Bayern Muenchen, Liverpool, AC Milan dan
Ajax.
Tak pelak, Ajax era 70an adalah salah satu tim yang layak disebut terbaik sepanjang masa.
Menggabungkan permainan atraktif dengan dominasi absolut atas lawan dan
menguncinya dengan kemenangan menandai sebuah filosofi baru dalam dunia
sepak bola, yang kemudian dikenal sebagai Total Football. Ajax yang saat itu dimotori oleh Cruyff bersama Barry Hulshoff, Henk Groot, Sjaak
Swart, Bennie Muller, Wim Suurbier dan Piet Keizer adalah tim impian.
Penghargaan individual pun tak lepas dari
genggaman Cruyff. Ia adalah pemain Belanda pertama yang menyabet gelar Ballon
d’Or saat pertama kali merengkuhnya tahun 1970. Ia kelak meraih Ballon d’Or
sebanyak tiga kali, di mana sampai saat ini hanya empat pemain yang pernah
mencapainya. Cruyff bersama Michel Platini dan Marco Van Basten adalah peraih
tiga kali Ballon d’Or sebelum Lionel Messi memecahkan rekor mereka setelah
meraih gelar keempat tahun 2012.
Gelar topskor liga Belanda juga didapat
Cruyff musim 1971/1972, termasuk topskor European Cup tahun yang sama saat
mereka menjuarai ajang tersebut. “Kami tidak memiliki kesempatan. Johan Cruyff
sangat luar biasa.” Ujar salah seorang suporter Panathinaikos, klub yang
dikalahkan Ajax pada final European Cup tahun 1971 seperti dikutip dalam buku The Brillian Orange, The Neurotic Genius of
Dutch Football karya David Winner.
Winner menambahkan bahwa setahun berselang,
Arsenal yang kala itu merajai sepak bola Inggris pun dibuat tak berdaya di
tangan Ajax di bawah pimpinan Cruyff. Winner mengutip perkataan komentator
radio BBC dalam pertandingan itu. “Arsenal
bertanding melawan tim yang jauh lebih kuat dan modern, dan sebagai pemain, Cruyff
telah berada di level yang jauh berbeda dengan pemain-pemain Arsenal.”
Kegemilangan Cruyff juga diakui hingga
seantero Eropa, dan saat itu dua klub besar Spanyol, Real Madrid dan Barcelona
meminatinya. Karena ketidaksukaannya pada rezim diktator Jenderal Franco yang
sering diasosiasikan dengan Madrid, tahun 1973 Cruyff memilih Barcelona meski
Madrid rela membayar lebih mahal. Cruyff pun pindah dengan nilai transfer 900
ribu pound, sebuah rekor saat itu. Sebuah pilihan yang mulai memperlihatkan
kepada dunia tentang sisi lain Cruyff, yang amat keras hati dan teguh memegang
prinsip.
Bergabung kembali dengan pelatih favoritnya, Rinus
Michels, Cruyff tidak menjalani awal harinya di Camp Nou dengan mudah. Saat
Cruyff datang, kompetisi telah dimulai dan Barca tengah terpuruk. Namun
kedatangannya memberi dampak luar biasa dengan membawa tim ini bangkit.
Penampilan memukau Cruyff bahkan membawa kemenangan 5-0 atas Madrid di Santiago
Bernabeu, sebuah kemenangan tak terlupakan. Di akhir musim, Barcelona akhirnya
keluar sebagai juara.
Setelah menjalani lima musim yang berkesan di
Barcelona, Cruyff hijrah ke utara Amerika untuk bermain di kompetisi NASL
(North American Soccer League) bersama klub Los Angeles Aztecs. Di usianya yang
sudah 32 tahun, ia masih mampu bermain baik, bahkan terpilih sebagai Most
Valuable Player (MVP).
Cruyff menghabiskan setahun berikutnya masih
di Amerika Serikat, kali ini bersama klub Washington Diplomats. Ia sebetulnya
bisa bertahan lebih lama, namun cedera yang menimpa pada awal musim kedua
membuatnya memutuskan hengkang. Ia lantas kembali ke Spanyol untuk bermain di
divisi dua bersama Levante.
Pilihannya bermain di Levante ternyata kurang
menguntungkannya, meski Levante berada di Spanyol, tanah yang ikut membesarkan
namanya. Ketidakcocokan dengan manajemen membawanya hengkang, dan akhirnya
tahun 1982 pulang ke Belanda, ke klub tempatnya memulai karir, Ajax. Kali ini,
Cruyff juga merangkap sebagai penasihat pelatih saat itu, Leo Beenhakker dan
juga sebagai pemain.
Sihir Cruyff di lapangan masih ada. Yang
paling ternama jelas tendangan passing
penalty yang ia ambil saat bertanding melawan Helmond Sport. Bukannya
menendang langsung, Cruyff mengoper bola dengan pelan kepada rekannya Jesper
Olsen. Olsen yang bergerak cepat lantas memancing kiper Otto Versfeld untuk
menghadangnya, namun sebelum itu terjadi, Olsen mengembalikan bola kepada
Cruyff yang langsung menceploskan bola ke gawang kosong.
Dua dekade setelah kejadian ini, Robert
Pires, pemain sayap elegan Arsenal berniat meniru apa yang Cruyff lakukan
bersama Olsen. Bermaksud mengoper kepada Thierry Henry, Pires justru luput
menendang bola dengan benar, sehingga ia malah dinyatakan melakukan
pelanggaran. Ya, ternyata melakukan sebuah simple
passing yang presisi tidak semudah itu, bukan?
Sudah sepantasnya seorang legenda menghakhiri
karir bersama klub yang membawanya mengawali karir. Cruyff pun inginnya
menjadikan Ajax sebagai pelabuhan terakhir karir sepak bolanya yang yang luar
biasa. Namun apa mau dikata, Ajax enggan memperpanjang kontrak sang legenda
hidup.
Cruyff membalasnya dengan tindakan yang amat
menyakitkan pendukung Ajax sekaligus mencoreng muka direksi klub, yaitu dengan
hijrah ke rival berat, Feyenoord Rotterdam. “Saat Amsterdam bermimpi, Rotterdam
bekerja” sudah menjadi kalimat yang terkenal bagi warga Rotterdam kepada warga
Amsterdam. Kedatangan Cruyff, dipandang mereka akan membuat Amsterdam (Ajax)
hanya bisa bermimpi melihat kejayaan Rotterdam (Feyenoord) yang mulai bekerja.
Cruyff memainkan nyaris seluruh partai liga
dan piala liga bersama Feyenoord yang saat itu juga diperkuat pemain berbakat,
Ruud Gullit. Talenta besar Gullit berpadu dengan magis Cruyff akhirnya membawa
kejayaan bagi Feyenoord. Pada akhir karirnya ini, Cruyff akhirnya membawa
Feyenoord merebut gelar ganda. Gelar liga yang diraih Feyenoord ini juga
menjadi yang pertama bagi mereka dalam satu dekade.
Bersama
De Oranje
Meski kehebatannya sudah berkali-kali
dipertontonkan di level klub, namun dunia baru benar-benar mengenal sosoknya
saat ia memimpin 10 orang berseragam oranye lainnya dalam bendera negara
Belanda. Wajar saja, saat itu jangkauan siaran langsung sepak bola belumlah
seperti sekarang. Baru ajang antar negara macam Piala Dunia yang mendapat porsi
perhatian dan peliputan yang besar.
Cruyff memulai debutnya bersama tim nasional
Belanda tahun 1966. Dalam laga keduanya bersama tim nasional Belanda melawan
Cekoslowakia, tempramen buruk Cruyff memberinya masalah. Cruyff dikeluarkan
wasit lalu dihukum tidak boleh memperkuat tim nasional selama setahun. Ini
adalah satu dari sekian kontroversi yang dilakukan sang legenda lantaran
sikapnya yang blak-blakan.
Cruyff juga menunjukkan sikap pemberontaknya
dalam hal kontrak profesional dengan penyedia peralatan olahraga. Tim nasional
Belanda yang kala itu disponsori oleh produk Adidas tentu menggunakan seragam
yang bercirikan merk raksasa tersebut. Cruyff, di lain pihak telah mengikat
perjanjian eksklusif dengan rival Adidas, Puma. Dengan tegas, Cruyff menolak
mengenakan jersey Belanda yang
dihiasi tiga garis ciri khas Adidas. Sebagai gantinya, Cruyff ingin mengenakan jersey dengan versi hiasan dua garis.
Hal-hal tersebut tidak membuat Cruyff
menyerah. Ia kemudian memimpin Belanda untuk lolos ke Piala Dunia 1974 yang
berlangsung di Jerman. Di bawah kepemimpinan Cruyff sebagai kapten tim, Belanda
yang saat itu tidak diperhitungkan justru tampil amat impresif. Sepanjang
penyisihan grup, mereka berhasil mengukir dua kemenangan dan sekali hasil
imbang untuk lolos ke babak penyisihan grup fase kedua.
Dalam grup yang berisi Jerman Timur,
Argentina dan Brasil inilah Cruyff menunjukkan superioritas. Ia membawa Belanda
menundukkan seluruh lawan, termasuk dua tim kuat Argentina dan Brasil. Dua
jagoan Amerika Latin itu ditaklukkan Belanda dengan permainan yang amat
mengagumkan, terutama dari Cruyff. Belanda kemudian melaju ke babak final
menghadapi tuan rumah Jerman Barat, di mana mereka akhirnya menyerah dengan
skor 1-2.
Meski gagal memberi gelar juara kepada
negaranya, namun permainannya bersama tim nasional Belanda tak mungkin
dilupakan begitu saja. Dengan kehebatannya itu, banyak yang lantas menyamakan
kemampuannya dengan Pele, pemain terbaik yang terakhir mengikuti Piala Dunia
tahun 1970.
Selain
tim nasional Hungaria tahun 1954, mungkin hanya tim nasional Belanda tahun 1974
ini yang ramai-ramai dinobatkan sebagai ‘juara tanpa mahkota’ berkat penampilan
yang teramat memukau. Ini sekaligus mematahkan anggapan umum bahwa sejarah
hanya mengingat tim pemenang saja.
Cruyff boleh jadi tidak pernah memberi trofi
Piala Dunia kepada negaranya, namun visi dan filosofi yang dimiliki Cruyff adalah
warisan yang berharga tidak hanya bagi tim yang pernah diperkuatnya, tapi untuk
dunia sepak bola secara keseluruhan. Ia bermain dengan visi dan filosofi yang
sudah diyakininya itu, dengan cara memainkan sepak bola yang sederhana. Sepak
bola yang terlihat amat mudah dimainkan namun sebetulnya sangat sulit
dimainkan.
Sistem
Total Football dan Warisan Cruyff Kepada Sepak Bola
Seperti disinggung sebelumnya, Cruyff besar
seiring kemunculan Total Football,
dan tim nasional Belanda amat beruntung memilikinya sebagai pemain. Belanda
semula bukanlah tim yang diperhitungkan pada Piala Dunia 1974 tersebut. Sebelum
tahun ini, mereka tidak pernah melaju hingga babak final, apalagi juara.
Kedigdayaan klub Ajax Amsterdam yang juga dipimpin Cruyff pada awal 1970 pun
tidak serta merta menggiring opini publik untuk menjagokan Belanda.
Cruyff meraih berbagai prestasi di lapangan
bersama pelatih yang dikenang sebagai pencetus Total Football, Rinus Michels. Di bawah asuhannya, Michels
menginginkan tim dengan kemampuan teknis yang merata. Pergerakan pemain sungguh
membingungkan lawan karena para pemain tidak memiliki posisi yang baku di
lapangan. Mereka juga bergerak simultan dalam menyerang dan bertahan. Formasi
juga kerap berubah dari W-M, 4-2-4 hingga 4-3-3 dengan transisi yang
mengagumkan.
Ditambah lagi, mereka mengalirkan bola dengan
sangat cepat, menerapkan perangkap offside,
dan melakukan tekanan saat lawan menguasai bola. Inilah Total Football yang revolusioner yang saat itu amat sulit
diantisipasi lawan. Menggabungkan permainan cantik dan dominasi total untuk merebut kemenangan, sebuah kriteria tim impian yang
terpenuhi oleh tim ini, sekaligus menandai kelahiran filosofi
baru dalam permainan sepak bola.
Filosofi sepak bola
memang tidak melulu melahirkan hal yang benar-benar baru, begitu pun Total Football.
Sebelum lahir tim Ajax asuhan Michels, Torino yang menguasai liga Italia tahun
40an juga dikenal memiliki permainan serupa. Dengan pola 4-2-4, mereka
memainkan bola dengan amat cepat dan mendominasi lawan. Lalu satu dekade
sebelumnya, ada The Wunderteam
Austria asuhan pelatih legendaris Hugo Meisl yang mencapai babak semi final
Piala Dunia 1934.
Rinus Michels amat mengandalkan Cruyff
sebagai pemimpin tim meski usia Cruyff saat itu masih terbilang muda. Ia adalah
pengejawantah Total Football yang
sempurna, sehingga kerjasama antara mereka terjalin dengan amat baik.
Jika Total
Football adalah sebuah sistem, maka Cruyff adalah inti dari sistem itu. Ia
adalah sang Total Football. Ia
mengatur permainan, melakukan terobosan, memberi umpan, mendistribusi bola dan
tidak jarang mencetak gol. Cruyff sebetulnya bermain sebagai penyerang tengah
dalam sistem ini. Namun ia kerap menjemput bola hingga jauh ke belakang dan kadang
bergerak ke sayap. Saat itu, sangat jarang seorang penyerang bermain sepertinya.
Fakta yang makin menunjukkan kehebatan Cruyff
dalam ajang Piala Dunia adalah bahwa ia hanya bermain dalam satu kejuaraan
saja, yaitu 1974. Cruyff absen di Piala Dunia 1978 karena masalah non-teknis
yang membuatnya mengambil sikap untuk tidak berangkat ke Argentina, tuan rumah
saat itu.
Meski tanpa sang jenderal, Belanda kembali
berhasil menembus babak final, namun lagi-lagi menyerah atas tuan rumah
mengulangi cerita empat tahun sebelumnya. Banyak yang berpendapat jika Cruyff
hadir maka bukan tidak mungkin Belanda yang akan merebut trofi Piala Dunia. Total,
Cruyff tercatat membela Belanda sebanyak 48 laga dengan torehan 33 gol.
Selepas gantung sepatu, Cruyff pun menjadi
pelatih. Karir manajerialnya sebetulnya sudah ia cicil sejak bermain di Ajax
awal tahun 80an kala ia merangkap sebagai penasihat teknis pelatih Leo
Beenhakker. Posisi pelatih kepala baru digenggamnya tahun 1985, juga di klub
Ajax. Kelak, Cruyff meneruskan filosofinya dengan melahirkan kembali sistem Total Football.
Meski tidak serupa seperti saat ia bermain,
namun sistem dasar berupa keberadaan tiga pemain belakang dinamis, seorang
gelandang bertahan, dua orang gelandang tengah, dua penyerang sayap dan seorang
penyerang tengah mampu menghadirkan masa kejayaan kembali bagi Ajax.
Cruyff mungkin hanya menyumbangkan dua Piala
Belanda dan sebuah Piala Winners untuk Ajax, namun banyak pihak yang mengakui
bahwa gelar Piala Champions yang didapatkan Ajax tahun 1995 adalah andil dari
sistem yang diterapkannya.
Karir kepelatihan Cruyff merekah di
Barcelona. Kembali menginjakkan kaki di Camp Nou tahun 1988, Cruyff turut
mengambil manfaat dari akademi La Masia, sebuah akademi yang digagasnya kala ia
masih bermain bagi El Barca tahun 1979 lalu. Pep Guardiola adalah salah seorang
pemain lulusan La Masia yang kemudian menjadi bagian dari tim impian Barcelona
bersama bintang-bintang seperti Jose Maria Bakero, Romario, Ronald Koeman,
Michael Laudrup dan Hristo Stoitchkov.
Cruyff kemudian memenangi 11 trofi bersama
Blaugrana, berupa 4 trofi La Liga, sebuah Copa Del Rey, sebuah Piala Winners,
sebuah Piala Champions, tiga buah Piala Super Spanyol dan sebuah Piala Super
Eropa. Torehan ini menjadikannya pelatih tersukses klub dari perspektif gelar
sebelum dipecahkan Guardiola, mantan anak asuhnya dengan capaian 15 trofi. Pep
sendiri mengakui bahwa kesuksesannya bersama Barca dengan permainan tiki-taka banyak diilhami oleh filosofi Total Football dan warisan akademi La
Masia yang digagas Cruyff.
Berbagai aral merintangi perjalanan karir
Cruyff sebagai pelatih. Kebiasaannya merokok membuatnya jantungnya harus
dioperasi, meski kemudian Cruyff dapat melanjutkan karirnya. Sikap kerasnya
kemudian menjadi penyebab rusaknya hubungan dengan presiden Josep Luis Nunez,
yang akhirnya memecatnya tahun 1996. Sebuah akhir ironis dari dua orang yang
sebelumnya berhubungan dengan amat baik.
Bagaimanapun, Cruyff dan Barcelona seperti
berjodoh. Sejak pertama kali bergabung sebagai pemain, Cruyff seperti langsung
terikat secara emosional tidak hanya dengan klub, namun juga wilayah Catalonia.
Ia menamai anaknya Jordi, lafal Catalan dari George atau Jorge. Jordi sendiri
kemudian tumbuh mengikuti jejak sang ayah dengan menjadi pesepakbola
profesional. Ia sempat berkarir sebentar bersama Barcelona.
Salah satu prinsip Cruyff adalah
kesederhanaan. Kesederhanaan dalam permainan bahkan mematahkan premis umum
bahwa pemain sepak bola haruslah memiliki skill
tinggi. Bagi Cruyff, skill tinggi
yang berasal dari talenta memang perlu. “Namun talenta
besar tidak akan berarti banyak jika sang pemain tidak mampu menjadi
seorang pemain yang mampu bekerja dalam tim,” ujarnya.
“Mereka (pesepakbola
bertalenta tinggi) mampu melakukan apapun dengan bola di kaki mereka, namun
semua percuma jika ia tidak piawai melepaskan sebuah umpan pendek sederhana
dengan waktu dan kecepatan yang presisi dan tidak paham pergerakan kawannya.” Pemain seperti ini, lanjutnya, “Hanya bermain
dengan tujuan memampangkan kehebatan teknis yang mereka miliki, dengan
kepentingan tim berada di bawah prioritas mereka.”
Namun bukan berarti Cruyff tidak memiliki
skill tinggi. Ia jelas memiliki kemampuan teknis mumpuni untuk menjadi
pesepakbola hebat. Ia juga memiliki kecepatan, akselerasi dan gocekan yang
sederhana namun efektif. Ingatkah pada gocekannya saat laga melawan Swedia
tahun 1974 yang berakhir imbang tanpa gol itu? Gocekan yang lantas dikenal
dengan nama Cruyff Turn itu dikenang
sebagai salah satu pertunjukan skill terbaik sepanjang Piala Dunia berlangsung.
Warisan
Kepada Dunia Sepak Bola
“Playing
football is very simple, but playing simple football is the hardest thing there
is.”
Sepak bola adalah olahraga yang sederhana,
namun untuk memainkannya dengan sederhana adalah hal tersulit. Ungkapan di atas
mungkin hanya sebaris panjangnya. Untuk diucapkan pun sangat mudah, tidak
sampai harus berkali-kali mengambil nafas. Hanya ada sedikit jeda, tanpa ada
rima, tanpa gaya bahasa yang berlebihan. Ya, barisan kata-kata dalam kalimat
ini memang sesederhana maknanya. Namun untuk mewujudkannya adalah hal paling
sulit.
Seorang pengajar yang baik adalah mereka yang
mampu memilah kata-kata yang mudah dimengerti, menggunakan bahasa sehari-hari
yang sederhana namun apa yang diajarkannya tepat sasaran, tidak lebih dan kurang.
Presisi, tegas dan meluruskan. Perkataannya tidak menimbulkan multi tafsir dan
misinterpretasi.
Kata-kata dalam kalimat sederhana tersebut
terucap dari Cruyff, yang kelak bukan hanya dikenal sebagai salah satu pemain
terbaik sepanjang masa, namun juga salah satu pelatih terbaik sekaligus aktor
di balik kemunculan tim-tim terbaik dunia pada generasi setelahnya. Dari segala
hasil karyanya itu, visi, kecerdasan dan keyakinan diri yang kuat adalah kunci
keberhasilan seorang Johan Cruyff.
Dengan prinsip-prinsip dan visi inilah Cruyff
mengarungi karirnya di sepak bola, baik sebagai pemain maupun pelatih.
Kalangan luas boleh jadi menganggap level
Cruyff masih di bawah Pele dan Maradona dari sisi skill individu. Kehebatan
Cruyff memang lebih menonjol dari visi dan kecerdasannya di lapangan. Namun
dari segi pengaruh kepada permainan secara umum, perkembangan taktik, andilnya
dalam pembentukan tim-tim hebat dunia, dan inspirasi yang diberikannya kepada
generasi-generasi setelahnya, rasanya belum ada satu pun pesepakbola yang mampu menandinginya.