Pembenahan lini pertahanan menjadi salah satu prioritas
Milan pada bursa transfer musim panas ini. Alessio Romagnoli pun berhasil direkrut
dengan bayaran 25 juta euro setelah melalui negosiasi yang panjang. Pemain
berusia 20 tahun ini dianggap sebagai sosok yang dapat memperbaiki kualitas
lini belakang Rossoneri.
Bagaimanapun, Milan tidak bisa menempatkan asa mereka pada Romagnoli
seorang diri untuk menuntaskan problem pertahanan. Romagnoli jelas perlu diapit
dua bek sayap yang disiplin, diproteksi oleh para gelandang yang berdiri di
depannya, dan tentu saja ditemani rekan duet yang saling mengisi. Setelah
kedatangan Romagnoli, sepertinya tidak ada lagi pembelian pemain bertahan baru.
Keadaan ini memaksa pelatih Sinisa Mihajlovic untuk memaksimalkan stok bek
tengah yang masih dimiliki untuk dipasangkan dengan Romagnoli.
Di atas kertas, sosok yang lebih berpengalaman seperti (Philippe)
Mexes, Alex, (Gabriel) Paletta dan (Cristian) Zapata tentu lebih difavoritkan
untuk mengisi posisi itu. Namun Mihajlovic sepertinya tengah mematangkan sosok
yang sebelumnya tak disangka-sangka untuk menjadi bagian dari back four andalan baru. Rodrigo Ely
adalah sosok yang dimaksud.
Pemain berpostur 188 cm ini tiba di Milan tahun 2010 untuk bergabung
dengan tim primavera. Saat itu usianya masih 16 tahun, namun oleh sang agen,
Mino Raiola, Ely digambarkan akan menjadi pemain berkualitas. “Ia pemain yang
hebat dan suatu saat dapat menjadi bagian sukses dari Milan. Hanya butuh waktu
baginya untuk menembus tim utama,” ujarnya ketika kali pertama memperkenalkan
Ely pada publik Milan.
Mungkin semua orang menganggap apa yang dikatakan Raiola saat
itu hanya sebatas lip service untuk
mengatakan hal yang baik-baik tentang kliennya. Dan benar saja, setelah datang,
tidak ada hal luar biasa yang ditunjukkan Ely untuk meyakinkan staf pelatih agar
merekomendasikannya ke tim utama.
Karena itulah Ely kemudian harus menjalani peminjaman ke kesebelasan-kesebelasan
yang bermain di divisi lebih rendah yaitu Reggina, Varese dan Avellino agar
kemampuannya berkembang. Penampilan cemerlangnya bersama Avellino musim lalu di
kompetisi Seri B Italia akhirnya membuat Milan tidak membuang waktu untuk
mengikatnya dengan kontrak baru yang berlaku hingga tahun 2019 sebelum masa
latihan pramusim dimulai.
Bergabung sejak awal ternyata menguntungkan bagi pemain yang
bulan November nanti akan berusia 22 tahun ini. Mihajlovic bersama tim
pelatihnya memiliki waktu yang cukup untuk mengamati perkembangan Ely dari
latihan ke latihan. Performa baik saat latihan inilah yang sepertinya membuat
Mihajlovic tertarik memainkan Ely sebagai starter
dalam laga-laga pramusim yang dimainkan Milan. Dan Ely memanfaatkan
kesempatan itu dengan baik.
Kepercayaan Mihajlovic pun berlanjut. Dalam laga resmi
perdana Milan musim 2015-16 melawan Perugia di ajang Coppa Italia awal minggu
ini, Ely diduetkan dengan Romagnoli di jantung pertahanan. Dengan merumputnya
duet ini bersama Mattia De Sciglio dan Luca Antonelli, rataan usia back four Milan dalam pertandingan itu jelas
sangat menjanjikan: 22,75 tahun. Ditambah fakta bahwa Ely memiliki kemungkinan
untuk memperkuat timnas senior Italia (ia memiliki dual citizenship, Italia dan
Brasil), maka prospek untuk menyaksikan back
four timnas Italia dihuni oleh seluruh pemain Milan jelas terbuka lebar.
Ely pun sukses menjalani debut kompetitifnya. Bukan hanya berbuah
kemenangan, tapi gawang Milan juga bersih dari kebobolan. Melihat keberanian
Mihajlovic dalam menurunkan pemain muda dan inkonsistensi yang masih melanda
bek-bek sentral Milan yang lain, boleh jadi ini adalah blessing in disguise bagi Ely. Siapa tahu, perkataan Raiola 5 tahun
lalu memang baru dapat dibuktikan sekarang.
“Alessio (Romagnoli) dan saya berduet dengan baik, kami juga
bekerja dengan baik dengan semua pemain. Kami perlu melanjutkan apa yang kami
lakukan sekarang, dan akan menjalani musim yang hebat,” demikian petikan
wawancara pemain ini dengan Milan Channel.
Lawannya memang hanya Perugia, sebuah kesebelasan dari Seri
B. Namun demikian, sebuah laga resmi, sekalipun hanya melawan kesebelasan dari Seri
B, tetaplah laga yang penting. Pujian yang datang pun berlanjut dengan masuknya
penawaran fantastis untuk Ely dengan nilai berkisar 12-13 juta euro dari sebuah
klub Liga Primer Inggris, yang tentu saja langsung ditolak oleh Milan.
Namun demikian, kemunculan Ely ini sedikit mengingatkan saya
pada sosok pemain belakang berbakat yang pernah sebentar memperkuat Milan pada
tahun 90an, Dario Smoje.
Tahun 1997 kala usia Smoje masih 19 tahun, Milan memenangkan
perebutan dengan Juventus dan Parma yang juga tertarik dengan bek tengah asal
Kroasia ini. Ketertarikan klub-klub besar memang wajar karena sejak usianya
masih muda, Smoje sudah menjadi andalan klub NK Rijeka dan timnas Kroasia U-15
hingga kemudian U-21. Fabio Capello, pelatih Milan saat itu bahkan menilainya
dengan amat tinggi. “Ia mengingatkan saya pada Fulvio Collovati,” ujar Capello
saat itu, seraya membandingkan Smoje dengan salah seorang bek tengah legendaris
Milan dan timnas Italia.
Namun sayangnya karir Smoje hanya berumur singkat di
Rossoneri. Dalam debutnya melawan Reggiana di ajang Coppa Italia, Smoje hanya
bertahan 10 menit di lapangan karena dikartu merah wasit. Hingga musim 1997-98
berakhir, Smoje hanya diberi kesempatan merumput sebanyak enam kali di
kompetisi Seri A. Meski menunjukkan performa yang tidak buruk, namun Capello
sendiri sudah dibuat kecewa dengan debut Smoje –dan merasa telah salah menilai terlalu
tinggi kemampuan pemainnya.
Akhir musim 1997-98, bek dengan postur 194 cm ini
dipinjamkan selama dua musim ke Monza. Meski tampil rutin di klub satelit Milan
itu, Rossoneri tidak menariknya kembali. Smoje kemudian dilepas ke Ternana,
hanya untuk menjalani tiga pertandingan saja. Merasa sudah cukup, Smoje
kemudian memilih mudik untuk bergabung dengan Dinamo Zagreb. Rangkaian
kemalangannya selama berkarir di Italia inilah yang kemudian membuat Smoje
dikategorikan sebagai pemain bidone, atau
gagal.
Gagal di Italia bukan berarti Smoje adalah pesepakbola yang
buruk. Terbukti, Smoje berkontribusi besar membawa Dinamo Zagreb memenangkan
Piala Kroasia dan juara liga Kroasia. Performa gemilang ini bahkan sempat berbuah
satu caps timnas senior Kroasia pada
tahun 2003. Tahun 2004 hingga 2010, Smoje kembali berpetualang ke luar negeri
bersama Gent dan Panionios, lalu kemudian mengakhiri karir di klub lokal,
Hrvatski Dragovoljac.
Cerita singkat dari Smoje seperti membuktikan bahwa
perjalanan karir seorang bek di Milan memang tidak bisa ditebak. Seorang bek
berbakat pun bisa saja gagal bersinar di Milan akibat tidak mampu mengemban
ekspektasi yang tinggi. Status Milan sebagai klub papan atas dan kultur keras
sepakbola Italia yang amat menyorot permainan para pemain bertahan juga
memberikan beban yang berat bagi pemain muda seperti Smoje.
Pemain seperti (Paolo) Maldini dan (Alessandro) Costacurta seperti
telah dijadikan standar. Jika ingin menembus tim utama, kemampuan sang pemain
minimal haruslah mendekati mereka. Smoje tentu saja bukan satu-satunya pemain
yang nasibnya seperti ini. Bek-bek seperti Roberto Ayala, Fabricio Coloccini,
Martin Laursen atau Roque Junior juga merasakan betul betapa tingginya standar
itu.
Hal ini juga berlaku pada Ely, yang baru saja menjalani
debut kompetitif mengesankan untuk Milan. Debut mengesankan tentu saja membuat sorotan
mulai mengarah kepadanya, dan lawan sudah mulai mempelajari
kelemahan-kelemahannya. Hal ini berbeda jauh dengan keadaannya beberapa bulan
lalu saat namanya sama sekali belum terkenal.