Paolo Rossi, taken from Old School Panini |
Perjalanan
karir sepak bola seorang Paolo Rossi memang amat berwarna. Mengawali karirnya
di Juventus, Rossi sempat cedera lutut parah yang membuatnya harus dioperasi. Bianconeri
kemudian meminjamkannya ke Como dan Vicenza sambil menjalani penyembuhan. Di
Como, ia hanya bermain sebanyak enam kali dengan nihil gol.
Rossi yang mengawali
karir bermain sebagai pemain sayap, patut berterima kasih pada sosok Edmondo
Fabbri, pelatihnhya kala memperkuat Vicenza. Fabbri melihat naluri gol yang
tinggi sebagai aset utama Rossi, sehingga pelatih yang pernah menukangi timnas
Italia tahun 60an ini tidak ragu menempatkan pemain kidal ini sebagai penyerang
tengah.
Rossi,
penyerang kelahiran Prato tahun 1956 ini seperti diketahui kemudian muncul
sebagai salah satu penyerang tertajam sepanjang sejarah klub yang bermarkas di
stadion Romeo Menti dengan torehan 60 gol dalam 94 pertandingan, termasuk
menjadi topskor kompetisi Seri B saat usianya masih 20 tahun. Karirnya di
Vicenza inilah yang kemudian menjadi titik balik dari pemain yang semula
terancam mengakhiri karir di usia muda menjadi penyerang legendaris Italia.
Cerita
kemudian berlanjut. Rossi menjadi tumpuan serangan Italia dalam Piala Dunia
1978. Bersama Franco Causio dan Roberto Bettega, mereka membentuk tridente menakutkan meski kemudian harus
puas menduduki posisi ke-4 turnamen yang dimenangi tuan rumah Argentina itu.
Rossi sendiri membukukan tiga gol pada turnamen yang melesatkan nama Mario
Kempes tersebut.
Pahitnya
karir mewarnai perjalanan selanjutnya. Tahun 1980, Rossi terjerat skandal judi Totonero yang membuatnya dihukum tiga
tahun tidak boleh bermain. Ia kembali ke Juve saat menjalani hukuman, yang kemudian
berkurang setahun setelah menjalani sidang banding. Pengurangan hukuman
tersebut berandil membawa Rossi ke status legenda. Hukumannya usai hanya
beberapa bulan sebelum Piala Dunia 1982 berlangsung, dan pelatih timnas Italia
Enzo Bearzot melakukan perjudian besar dengan memanggilnya.
Sisanya adalah
sejarah. Rossi berandil besar membawa Italia juara, salah satunya dengan
torehan hat-trick ke gawang tim super
Brasil yang beranggotakan Socrates, Zico dan Paulo Roberto Falcao. Rossi, pada
usianya yang ke-26 saat itu, telah melalui hal-hal yang amat berwarna sebagai
pesepak bola. Cedera parah, pergeseran posisi, terjerat skandal, lalu memenangi
Piala Dunia sekaligus merebut gelar pemain terbaik. Rossi sendiri tercatat
sebagai pemain ketiga setelah Garrincha dan Kempes yang mendapatkan tiga gelar
sekaligus dalam satu Piala Dunia, yaitu juara, pemain terbaik dan pencetak gol
terbanyak.
Nama Rossi kemudian
identik dengan Juventus setelah ia menjadi andalan Bianconeri pasca Piala Dunia
1982. Ia berandil besar membawa Juve berjaya di Eropa dengan merebut gelar
European Cup (sekarang Liga Champions) tahun 1985 untuk kali pertama dengan
torehan lima gol dan kolaborasi apik dengan Michel Platini. Gelar ini
melengkapi kemenangan mereka pada Cup Winners Cup dan Piala Super Eropa setahun
sebelumnya. Kini ia pun bekerja sebagai pengamat di stasiun Juventus Channel,
yang menegaskan keterikatannya yang erat dengan Si Nyonya Tua. Ketika membicarakan
namanya, publik pun lebih mengingat kiprahnya di Juve, di samping kiprahnya
bersama tim Azzurri.
Tidak banyak
yang mengangkat cerita singkatnya kala memperkuat Milan. Ya, Rossi sempat
bersama Milan pada musim 1985-86. Sayangnya, karir pria bertinggi 178 cm ini tidaklah cemerlang di
Rossoneri. Selain fakta bahwa Milan tengah berada dalam titik nadir sebelum
kedatangan Silvio Berlusconi, permainan Rossi juga tengah menurun akibat rangkaian
cedera yang diderita meskipun baru menyumbangkan gelar Eropa untuk Juventus.
Selama 20 kali memperkuat klub merah-hitam, Rossi hanya mencetak dua gol.
Namun siapa
sangka jika dua gol tersebut sebetulnya terjadi pada momen yang amat megah:
Derby Della Madonnina. Laga yang berlangsung pada 1 Desember 1985, atau 29
tahun silam ini kemudian berakhir imbang 2-2.
Dua gol
itulah yang menjadi torehan paling sensasional Rossi untuk Milan, dan sayangnya
menjadi satu-satunya karena tidak ada lagi gol dari pemain ini untuk Rossoneri.
Torehan ini kemudian sempat diikuti oleh seorang penyerang yang juga mantan
penggedor Vicenza seperti Rossi, Gianni Comandini pada tahun 2001. Seperti halnya
Rossi, dua gol ke gawang Inter juga menjadi sumbangan tunggal Comandini untuk
Milan karena ia memang tidak mampu mencetak gol ke gawang tim lain selain
Nerazzuri selama berbaju Milan.
Baik Rossi,
maupun Comandini tetaplah berada di hati Milanisti meskipun mereka tidak
termasuk jajaran legenda terkait minimnya kontribusi secara keseluruhan. Namun ketika
membicarakan Derby Della Madonnina, sulit untuk tidak membicarakan jasa dua
pemain ini.
Dalam derby yang akan berlangsung dini hari
(24/11) nanti, adakah penyerang Milan yang mengikuti jejak Rossi dan Comandini
dengan sumbangan dua gol? Tentu saja dengan harapan sumbangan golnya tidak
mandek setelahnya. Jawablah pertanyaan ini, Torres, Menez, El Shaarawy dan
Pazzini!