Menyaksikan
laga tim nasional U-19 tidaklah seperti menyaksikan tim nasional Indonesia,
begitulah ungkapan banyak orang. Tidak sekadar memberikan gelar Piala AFF U-19
dan melaju ke putaran final Piala Asia termasuk di dalamnya mengalahkan Korea
Selatan, namun juga penyajian permainan cantik.
Permainan
cantik, jika ingin dijabarkan secara spesifik, berarti memainkan sepak bola
dengan benar dan mampu mengikuti perkembangan (taktik) zaman. Jika pada era
90an pola playmaker nomor 10 dan striker nomor 9 begitu meraja, kini
perkembangan taktik membuat permainan sepak bola terlihat lebih kolektif, meski
tidak sedikit yang menilainya lebih rumit.
Sepak
bola sejatinya sejak dulu amat memperhatikan ruang dan jarak. “Sepak bola
adalah seni memanfaatkan ruang.” Tegas penulis buku Inverting The Pyramids: The
History of Football Tactics, Jonathan Wilson. Menurut sejarahnya pula, perumus
ahli taktik pada awal peraturan sepak bola dirumuskan juga berasal dari
Inggris. Ada yang mengatakan bahwa ahli taktik sepak bola juga menguasai ilmu
pengetahuan lainnya seperti matematika dan arsitektur. Arsitektur? Iya benar. Memang
masuk akal karena ilmu arsitektur juga mempelajari tentang ruang.
Jimmy
Hogan adalah seorang pelatih kelahiran Inggris yang banyak menghabiskan
hidupnya di Eropa Tengah. Ia tidak asing dengan budaya perbincangan sepak bola
kafe ala Austria, dan ia juga berteman akrab dengan Hugo Meisl, pelatih
legendaris yang menyutradarai kelahiran The Wunderteam Austria. Kombinasi Meisl
bersama Hogan melahirkan tim yang amat cepat dalam memainkan bola, tidak banyak
melakukan dribble percuma, juga tidak
banyak melepas umpan panjang.
Hasil
kerja dua orang inilah yang kemudian banyak menginspirasi pelatih-pelatih besar
lainnya untuk melahirkan tim-tim terbaik. Il Grande Torino tahun 1940an,
Hungaria tahun 1954, Brasil tahun 1962, Belanda tahun 1974, Ajax Amsterdam
tahun 1970an, AC Milan tahun 80an, hingga Barcelona era kekinian adalah tim-tim
yang dipandang terbaik dunia baik dari sisi permainan maupun pencapaian.
Kembali
ke konteks tim nasional Indonesia U-19, memang terlalu naif jika hendak
membandingkan tim ini dengan para tim terbaik. Namun setidaknya –dalam level
yang berbeda- tim ini telah melakukan pendekatan permainan yang tepat untuk
menjadi tim hebat –setidaknya tim nasional yang hebat untuk ukuran Indonesia-
dan syukur-syukur menapak naik level Asia.
Salah
satu panutan saya menulis sepak bola, Hedi Novianto telah dengan bernas
mengupas ciri permainan tim nasional U-19 dalam esainya di situs Goal
Indonesia. Ia menggambarkan pendekatan permainan anak asuh Indra Sjafri yang
amat memperhatikan jarak antar pemain baik ketika menguasai bola maupun ketika
bola dikuasai lawan.
Trio
gelandang Hargianto-Zulfiandi-Evan Dimas disebutnya spesial karena kerap
membentuk segitiga untuk menjaga jarak agar saat salah satu dari mereka
menguasai bola, posisi tidak merenggang sehingga terhindar dari situasi harus
mengumpan panjang.
Pemahaman
taktik dan posisi sebetulnya hal lumrah ketika kita bermain bola. Seringkali
pelatih kita berteriak “Deketin temennya! Jangan nunggu!” dengan maksud
menginstruksikan pemainnya untuk menjaga zona permainan, mempertahankan bentuk
formasi dan intensitas umpan pendek agar bola tidak mudah direbut lawan.
Serangan
juga dibangun dari belakang. Ketika penjaga gawang menguasai bola, ia tidak
langsung melepas tendangan gawang ke tengah, melainkan mengoper kepada bek
terdekat. Di sinilah peran bek sebagai ball
player mutlak diperlukan. Seorang bek handal memang tidak hanya dituntut
untuk asal main gaprak, tapi juga
harus bisa menjadi pengumpan yang baik dan tenang dalam menguasai bola. Apalagi
dengan sistem zonal, garis pertahanan memang tinggi, tidak heran jika atribut
pemahaman posisi mutlak diperlukan bagi tim U-19.
Tim U-19 bagaimanapun belum teruji hingga level
kontinental. Piala Asia Junior yang akan berlangsung akhir tahun ini akan
menjadi ujian sesungguhnya bagaimana tim ini menghadapi lawan yang level
permainannya setara, bahkan lebih baik. Tim nasional Korea Selatan U-19 yang
dikalahkan tempo hari memang sedang mengalami penurunan kualitas, sehingga
mengalahkan mereka bukanlah ukuran kekuatan yang pas.
Satu
hal lagi, tim ini masih belum teruji pemain pelapisnya. Jika salah satu trio
lini tengah absen (apalagi Evan Dimas), maka kualitas permainan tim nasional
sudah pasti menurun drastis. Tim ini masih harus mencari plan b atau alternatif lain jika para pemain utamanya absen.
Selain
itu, kompetisi junior yang belum memadai turut menjadi penghalang, meskipun
pelatnas jangka panjang telah digelar. Menghadapi negara lain dengan kompetisi
yang lebih rapi dan terstruktur, bukan tidak mungkin euforia yang telah
terbentuk dan asa yang telah terlanjur tertanam akan hilang tanpa bekas di
tanah Burma, dan lagu-lagu sumbang siap berkumandang.