Rasanya, semua
penggemar sepak bola pernah memiliki keinginan untuk menjadi pesepak bola
profesional. Bayangan akan popularitas yang berbanding lurus dengan kemapanan
finansial tanpa batas serta kebanggaan membela nama bangsa di lapangan hijau
adalah lamunan yang lebih indah dari apapun juga.
Berbagai hal
melatarbelakangi kegagalan jutaan anak untuk menjadi pesepakbola. Mereka pada
akhirnya menggeluti profesi lain, meski sepak bola tidak pernah hilang begitu
saja dari benak mereka. Sepak bola hadir dalam bentuk lain seperti tulisan, kerelaan
begadang menonton siaran langsung, atau kerelaan merogoh kocek dalam-dalam
untuk membeli jersey original. Apapun itu, saya rasa semua orang punya momen
sepak bolanya masing-masing.
Momen sepak bola
yang saya maksud di sini adalah momen ketika mereka masih bisa memainkan sepak
bola tanpa beban. Tanpa takut dicari istri, tanpa takut diambek pacar, tanpa
memikirkan dibayar berapa dan sebagainya. Permainan sepak bola kanak-kanak yang dimulai saat yang punya bola datang, dan baru berhenti
jelang adzan maghrib berkumandang, atau ketika bel masuk sekolah berbunyi. Ya,
sepak bola murni tanpa aturan-aturan ribet dan jargon-jargon modernitas. Permainan
sederhana sebelas lawan sebelas, malah bisa lebih bisa kurang.
Saya merasakan
momen seperti itu di bangku sekolah dan kuliah. Saat itulah kondisi fisik
berada pada puncaknya dan saya juga belum terjebak pada ikatan-ikatan (you know what I mean) tertentu. Sepak bola
saat itu bukanlah pelarian, bukanlah motif rekreasi, melainkan hanya permainan
belaka. Permainan menyenangkan yang memiliki gravitasi dan candu.
Di sekolah, saya
menikmati segala ledekan karena saat itu badan saya kecil dan perawakan saya yang
tidak meyakinkan sebagai pesepakbola. Segala ledekan itu kemudian saya ubah
menjadi gol-gol yang kebanyakan berasal dari lekatnya imaji saya pada permainan
Andriy Shevchenko. Ya, permainan simpel yang mengandalkan kecepatan dan penyelesaian
akhir klinis adalah gaya saya saat SMA dulu.
Tuhan menjadikan
sepak bola sebagai alat pengatrol posisi di pergaulan. Di masa SMA yang katanya
masa-masa paling indah itu, saya bukanlah sosok populer. Saya tidak pandai ngebanyol
dan mencela teman, tidak jago-jago amat main gitar, tidak pintar-pintar amat di
kelas, tidak pandai menggombali perempuan, juga tidak mengoleksi sepatu Nike Air Jordan. Average Joe yang mudah diabaikan. Tapi berbekal sedikit kebisaan bermain sepak bola itulah, saya
pada akhirnya cukup mendapat pengakuan. Ya, setidaknya teman-teman di sekolah
dulu akan dengan mudah mengindentifikasi saya sebagai si pemain bola classmeeting, atau mungkin si penggila
sepak bola yang malas mencatat pelajaran dan mengerjakan PR.
Cerita ini
berlanjut sampai kuliah. Saya masih rajin bermain sepak bola di lapangan dekat
kampus. Meski tidak pernah terpilih mewakili tim fakultas, tapi setidaknya saya
pernah mencetak gol kemenangan dalam sebuah laga final sarat gengsi melawan tim
gabungan senior dan alumni. Saat melakukan tendangan jarak jauh itu, entah
bagaimana saya seperti menjadi orang lain. Atmosfer pertandingan saat itu
menjadikan kaki lebih ringan dan insting lebih tajam dari biasanya, sehingga
gol tersebut memang seperti hanya menunggu waktu untuk terjadi.
Sebegitulah kepingan
kenangan sepak bola yang saya punyai, di samping puluhan atau bahkan ratusan
kenangan sepak bola lapangan kecil
yang telah saya mainkan.
Detik ini, saya
sudah genap 6 bulan tidak memainkan sepak bola dengan varian apapun entah di
lapangan besar (standar sepak bola) ataupun di lapangan futsal. Memang ada alasan
kondisi fisik, namun yang mengkhawatirkan adalah mulai terbentuknya
kemalasan-kemalasan tak beralasan. Entah merasa terlalu capai dan malas
bergerak, terlalu sibuk atau sok sibuk, malas mengeluarkan motor atau mobil
untuk menuju lapangan, malas ini dan malas itu, takut begini takut begitu.
Mungkin saya
telah memasuki fase hilangnya rasa kehilangan tidak bermain sepak bola. Rasa di mana
tidak memainkan sepak bola bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan karena banyak
hal-hal lain yang (terasa) lebih penting. Saya tahu fase ini akan datang, tapi
saya akan coba untuk menolaknya sebisa mungkin atau setidaknya menundanya selama mungkin.
Bagi kalian yang
masih punya kondisi fisik dan waktu yang memungkinkan untuk terus bermain sepak
bola santai atau kompetitif, nikmatilah masa-masa itu. Lawanlah segala
kemalasan dan cobalah abaikan segala urusan-urusan rekreasional lain. Nikmatilah
bermain sepak bola sebelum sepak bola hanya menjadi bahan obrolan atau bahan
tulisan saja.