Ada semacam pendapat
umum bahwa hasil-hasil laga pre-season tidak dapat dijadikan ukuran prestasi di
ajang sesungguhnya. Dalam fase ini tim baru berkumpul setelah libur kompetisi. Otot-otot
masih kaku, aura kompetitif masih samar-samar. Banyak pula pemain yang masih
menjalani liburan karena tambahan turnamen yang harus mereka lakoni. Seperti halnya
kita (orang biasa, non tentara) yang baru terbangun dari tidur, tentunya akan
sulit jika langsung disuruh berlari.
Pre-season, bagi
Milan adalah sebuah fase yang sama dengan tim lainnya. Beberapa pemain baru
bergabung, beberapa masih cedera. Namun ketika saya menyaksikan tim ini
bertanding tiga kali menghadapi lawan berbeda termasuk menghadapi Manchester
City dan Chelsea, sepertinya saya dapat sedikit membaca bagaimana tim ini akan
bermain di kompetisi sesungguhnya.
Bagi Milan, ini
adalah tahun kedua setelah revolusi besar dalam skuat. Tahun kedua dari siklus
pemaksaan mediokritas skuat karena alasan finansial yang tak bisa dihindari. Mereka
telah menghadapi fase terburuk revolusi itu pada paruh pertama kompetisi musim
lalu dimana mereka sempat menduduki posisi ke-15 sebelum mengakhiri musim
dengan sensasional di posisi ketiga. Sekarang, alasan overhaul sudah tidak
relevan lagi. Harus ada peningkatan kelas dan level permainan. Fans galak mulai
tidak sabar.
Dengan skuat
yang ada, Max Allegri mencoba menjadikan Milan sebagai tim yang solid dalam
permainan. Tidak punya bek kelas dunia, ia meminta pemain-pemain tengah dan
bahkan penyerang untuk aktif dalam membantu pertahanan. Tidak jarang kita
melihat Stephan El Shaarawy berjibaku melapis posisi Kevin Constant, atau Mario
Balotelli turun jauh menjemput bola.
Menghadapi lawan
dengan skuat super seperti City maupun Chelsea, terlihat jelas bagaimana
perbedaan kelas kedua tim elit sokongan oligarki itu dengan Milan, tim milik presiden
yang gemar mendatangi Milanello dengan helikopter dan gemar bolak-balik pengadilan.
Pada laga lawan
City, kecepatan umpan dan ketajaman mengerikan skuat Manuel Pellegrini sungguh
membuat pemain-pemain Milan seperti mendapatkan coaching clinic berharga. Gol-gol tercipta dengan mudah seakan
pemain-pemain bertahan Milan tidak ada. Ketiadaan bek yang mampu membaca
permainan memang menjadi masalah Milan sejak musim lalu.
Jika anda
khawatir akan hal ini, tidak usah banyak berharap karena petinggi Rossoneri sepertiya
tidak menjadikan penguatan posisi bek sebagai prioritas. Matias Silvestre
didatangkan bukan untuk menambah kekuatan, melainkan menambal cedera Daniele
Bonera. Meski Silvestre bukanlah pemain yang buruk, tapi saya tidak akan
berusaha terlihat menyebarkan positivisme dengan mengatakan bahwa kedatangannya
adalah jawaban yang dibutuhkan Milan akan bek berkualitas.
Sesuatu yang
lebih penting dan menjadi prioritas bagi para petinggi adalah keberadaan pemain
kreatif, atau pemain bernaluri serang. Romansa sebagai klub yang pernah
diperkuat pemain-pemain berbudaya seperti Manuel Rui Costa, Zvonimir Boban,
Dejan Savicevic maupun Ricardo Kaka memang membuat Milan terus menempel Keisuke
Honda. Sedihnya, meski kualitas Honda tetaplah masih dibawah nama-nama barusan,
Milan tetap saja terkesan tidak serius mengejarnya.
Saya setuju jika
problem Milan adalah kreativitas. Setuju sekali. Kita bisa melihat bagaimana
Boateng berlari tanpa arah, jarang mendapat bola dan tidak memiliki imajinasi
memadai untuk membongkar barikade pertahanan lawan. Boateng memang pernah
menjadi kejutan kala melakoni musim pertama. Ia juga tidak asing bermain
sebagai gelandang serang ketika masih membela Hertha Berlin. Tapi bagaimanapun,
Boateng tetaplah bukan si nomor 10 kreatif yang mampu memecah kebuntuan.
Boateng bukanlah
Rui Costa, Boban, Savicevic atau Clarence Seedorf, pengguna nomor 10 sebelumnya.
Ia adalah seorang gelandang tengah alias mezz’alla yang bagus, tapi ia adalah
seorang trequartista yang buruk. Saat ini di skuat Milan tidak ada satupun
pemain dengan kualifikasi memadai sebagai trequartista untuk memimpin tim
sepanjang tahun. Saponara belum tentu siap. Penolakan Berlusconi akan skema
4-3-3 memang menunjukkan keinginan sang presiden untuk melihat Milan bermain
dengan kelas yang lebih tinggi. Bukannya 4-3-3 jelek, tapi kebesaran Milan yang
selama ini terlihat dengan topangan pemain nomor 10 handal dirasa perlu
dikembalikan, meski keinginan itu hanya terlihat konyol tanpa keberadaan si
nomor 10 sungguhan.
Kemungkinan besar,
kita tidak akan melihat Milan mengangkat trofi musim depan, kecuali terjadi
sesuatu yang menurunkan kekuatan rival secara drastis, atau terjadi pembelian
hebat dari Milan. Stabilitas (terutama stabilitas finansial) adalah yang
diutamakan, dan itu hanya bisa dilakukan dengan bertahap sembari tim marketing
dan tim stratejik bekerja mencari sumber-sumber pendapatan baru.
Jalan menapaki
kesuksesan memang tidak ada yang instan. Butuh proses yang sangat panjang. Dan di
era industri dan komersialisasi sepak bola sekarang ini, tidak ada klub sukses
tanpa ketahanan finansial memadai. Melihat apa yang beberapa tahun kebelakang dilakukan
oleh para petinggi, Milan sebenarnya telah berada di jalur financial sustainability yang tepat. Ketimbang mendebatkan siapa pelatih yang pantas, siapa pemain yang seharusnya dibeli, saya lebih memilih berharap pada keberhasilan Galliani mendatangkan pemain bagus tapi murah, dan
determinasi dan muka tembok Allegri dalam meracik tim. Sampai stabilitas
finansial itu benar-benar terjadi, ikutilah mentalitas seperti suporter … (isi
sendiri).
No comments:
Post a Comment