Pages

Saturday, August 10, 2013

Dicari: Pemain Berbudaya

Ada semacam pendapat umum bahwa hasil-hasil laga pre-season tidak dapat dijadikan ukuran prestasi di ajang sesungguhnya. Dalam fase ini tim baru berkumpul setelah libur kompetisi. Otot-otot masih kaku, aura kompetitif masih samar-samar. Banyak pula pemain yang masih menjalani liburan karena tambahan turnamen yang harus mereka lakoni. Seperti halnya kita (orang biasa, non tentara) yang baru terbangun dari tidur, tentunya akan sulit jika langsung disuruh berlari.

Pre-season, bagi Milan adalah sebuah fase yang sama dengan tim lainnya. Beberapa pemain baru bergabung, beberapa masih cedera. Namun ketika saya menyaksikan tim ini bertanding tiga kali menghadapi lawan berbeda termasuk menghadapi Manchester City dan Chelsea, sepertinya saya dapat sedikit membaca bagaimana tim ini akan bermain di kompetisi sesungguhnya.

Bagi Milan, ini adalah tahun kedua setelah revolusi besar dalam skuat. Tahun kedua dari siklus pemaksaan mediokritas skuat karena alasan finansial yang tak bisa dihindari. Mereka telah menghadapi fase terburuk revolusi itu pada paruh pertama kompetisi musim lalu dimana mereka sempat menduduki posisi ke-15 sebelum mengakhiri musim dengan sensasional di posisi ketiga. Sekarang, alasan overhaul sudah tidak relevan lagi. Harus ada peningkatan kelas dan level permainan. Fans galak mulai tidak sabar.

Dengan skuat yang ada, Max Allegri mencoba menjadikan Milan sebagai tim yang solid dalam permainan. Tidak punya bek kelas dunia, ia meminta pemain-pemain tengah dan bahkan penyerang untuk aktif dalam membantu pertahanan. Tidak jarang kita melihat Stephan El Shaarawy berjibaku melapis posisi Kevin Constant, atau Mario Balotelli turun jauh menjemput bola.

Menghadapi lawan dengan skuat super seperti City maupun Chelsea, terlihat jelas bagaimana perbedaan kelas kedua tim elit sokongan oligarki itu dengan Milan, tim milik presiden yang gemar mendatangi Milanello dengan helikopter dan gemar bolak-balik pengadilan.

Pada laga lawan City, kecepatan umpan dan ketajaman mengerikan skuat Manuel Pellegrini sungguh membuat pemain-pemain Milan seperti mendapatkan coaching clinic berharga. Gol-gol tercipta dengan mudah seakan pemain-pemain bertahan Milan tidak ada. Ketiadaan bek yang mampu membaca permainan memang menjadi masalah Milan sejak musim lalu.
Jika anda khawatir akan hal ini, tidak usah banyak berharap karena petinggi Rossoneri sepertiya tidak menjadikan penguatan posisi bek sebagai prioritas. Matias Silvestre didatangkan bukan untuk menambah kekuatan, melainkan menambal cedera Daniele Bonera. Meski Silvestre bukanlah pemain yang buruk, tapi saya tidak akan berusaha terlihat menyebarkan positivisme dengan mengatakan bahwa kedatangannya adalah jawaban yang dibutuhkan Milan akan bek berkualitas.

Sesuatu yang lebih penting dan menjadi prioritas bagi para petinggi adalah keberadaan pemain kreatif, atau pemain bernaluri serang. Romansa sebagai klub yang pernah diperkuat pemain-pemain berbudaya seperti Manuel Rui Costa, Zvonimir Boban, Dejan Savicevic maupun Ricardo Kaka memang membuat Milan terus menempel Keisuke Honda. Sedihnya, meski kualitas Honda tetaplah masih dibawah nama-nama barusan, Milan tetap saja terkesan tidak serius mengejarnya.

Saya setuju jika problem Milan adalah kreativitas. Setuju sekali. Kita bisa melihat bagaimana Boateng berlari tanpa arah, jarang mendapat bola dan tidak memiliki imajinasi memadai untuk membongkar barikade pertahanan lawan. Boateng memang pernah menjadi kejutan kala melakoni musim pertama. Ia juga tidak asing bermain sebagai gelandang serang ketika masih membela Hertha Berlin. Tapi bagaimanapun, Boateng tetaplah bukan si nomor 10 kreatif yang mampu memecah kebuntuan.

Boateng bukanlah Rui Costa, Boban, Savicevic atau Clarence Seedorf, pengguna nomor 10 sebelumnya. Ia adalah seorang gelandang tengah alias mezz’alla yang bagus, tapi ia adalah seorang trequartista yang buruk. Saat ini di skuat Milan tidak ada satupun pemain dengan kualifikasi memadai sebagai trequartista untuk memimpin tim sepanjang tahun. Saponara belum tentu siap. Penolakan Berlusconi akan skema 4-3-3 memang menunjukkan keinginan sang presiden untuk melihat Milan bermain dengan kelas yang lebih tinggi. Bukannya 4-3-3 jelek, tapi kebesaran Milan yang selama ini terlihat dengan topangan pemain nomor 10 handal dirasa perlu dikembalikan, meski keinginan itu hanya terlihat konyol tanpa keberadaan si nomor 10 sungguhan.

Kemungkinan besar, kita tidak akan melihat Milan mengangkat trofi musim depan, kecuali terjadi sesuatu yang menurunkan kekuatan rival secara drastis, atau terjadi pembelian hebat dari Milan. Stabilitas (terutama stabilitas finansial) adalah yang diutamakan, dan itu hanya bisa dilakukan dengan bertahap sembari tim marketing dan tim stratejik bekerja mencari sumber-sumber pendapatan baru.


Jalan menapaki kesuksesan memang tidak ada yang instan. Butuh proses yang sangat panjang. Dan di era industri dan komersialisasi sepak bola sekarang ini, tidak ada klub sukses tanpa ketahanan finansial memadai. Melihat apa yang beberapa tahun kebelakang dilakukan oleh para petinggi, Milan sebenarnya telah berada di jalur financial sustainability yang tepat. Ketimbang mendebatkan siapa pelatih yang pantas, siapa pemain yang seharusnya dibeli, saya lebih memilih berharap pada keberhasilan Galliani mendatangkan pemain bagus tapi murah, dan determinasi dan muka tembok Allegri dalam meracik tim. Sampai stabilitas finansial itu benar-benar terjadi, ikutilah mentalitas seperti suporter … (isi sendiri).

No comments:

Post a Comment