Dilihat dari
nama besar, jelas tidak ada yang meragukan kiprah Inter Milan. 18 gelar
scudetto dan 3 gelar Liga Champions adalah gelar major yang sudah bersemayam di
lemari trofi Appiano Gentile. Langkah Erick dalam akuisisi ini jelas akan
membuatnya semakin dikenal.
Dulu, selain orang Rusia, tidak ada yang mengenal Roman Abramovich sebelum ia mengakuisisi Chelsea. Tidak ada pula yang banyak membicarakan nama Ekaterina Rybolovleva, yang mendapatkan hadiah ulang tahun berupa dua buah pulau di wilayah Yunani dari ayahnya sebelum sang ayah membeli AS Monaco. Sepak bola, sebagai olahraga paling populer di dunia jelas menjamin popularitas bagi para pelakunya. Dengan membeli klub sepak bola, otomatis nama dari sang pemilik juga terangkat.
Silvio Berlusconi
juga mengeluarkan jargon revolusi di partainya Forza Italia pada awal
pencalonannya sebagai Perdana Menteri Italia. Namun siapapun tahu bahwa
keberhasilannya membawa AC Milan berprestasi adalah kendaraan yang kencang
baginya untuk menduduki posisi ketua pemerintahan di negeri peninsula.
Bagi Erick
Thohir, entah apapun motifnya, akuisisi Inter Milan akan membawa keuntungan
meski tidak akan mudah dilakukan. Sementara bagi Massimo Moratti, melepas kepemilikan
mayoritas Inter Milan akan menjadikannya anak durhaka. Ia pasti takut arwah
Angelo Moratti akan bangkit mengejar-ngejarnya jika saham mayoritas Inter jadi
dijual.
Bagi Moratti,
Inter adalah candu. Ia seperti halnya seorang pencinta masokis pada klubnya
itu. 400 juta euro dari kantong pribadi secara total telah ia keluarkan untuk
mendatangkan pemain-pemain kelas dunia ke kota Milan sejak tahun 1995. Dan setelah
regulasi Financial Fair Play mengudara, sang taipan minyak tak mampu lagi
mengelak. Ia tidak boleh lagi mendonor Inter dari kocek pribadi.
Inter telah
dibawanya menjadi klub yang seperti tidak ada kenyangnya. Suntikan dana besar
terus diberikan demi kelangsungan hidup. Financial Fair Play ala UEFA kemudian
menyetop keran itu, dan mewajibkan Inter mencari sumber pemasukan murni dari
sepak bola, bukan dari sang pemilik. Diperparah dengan buruknya kebijakan
transfer dan regenerasi yang telat, Nerazzuri dan Moratti seakan tidak bisa
kemana-mana lagi. Posisi 9 di klasemen menandai era terburuk sepanjang kepemimpinannya.
Sebuah perubahan dan suntikan dana jelas kata-kata yang menyegarkan bagi
Interisti.
Erik Thohir,
yang juga ketua Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara, pemilik Philadelphia 76ers
dan Washington DC United melihat hal ini sebagai peluang. Mengetahui morat-maritnya
kondisi finansial Il Biscione, Thohir datang dengan keinginan besar pada akuisisi
saham mayoritas si biru hitam.
Jika Thohir
berhasil membuat Moratti mengeluarkan pulpen Mont Blanc dari saku jas peraknya
lalu menandatangani pelepasan saham, menarik menanti efek dominonya. Mungkin saja
akan ada lagi pengusaha asal Indonesia lainnya yang kemudian berbondong-bondong
menyeponsori tim ini. Logo perusahaan-perusahaan Indonesia boleh jadi akan
menjadi pemandangan lazim di San Siro (Oke, Giuseppe Meazza).
Para pengusaha
Indonesia akan melihat sepak bola Eropa sebagai mainan baru mereka. Portofolio mereka
akan mentereng jika dalam ruang kerja mereka terpampang jersey-jersey original,
maket stadion, potongan rumput stadion, hingga sepatu-sepatu match worn pemain.
Ya, seorang pengusaha berjiwa muda yang senang olahraga.
Sebagai orang
yang memang suka berandai-andai, saya jadi dipaksa berandai-andai jika saja 10
persen dari uang 260 juta itu, alias 26 juta euro alias 390 miliar rupiah saja
dianggarkan untuk kepentingan sepak bola nasional.
Klub-klub di
piramida atas sepak bola Indonesia katakanlah memiliki rataan anggaran 10
miliar rupiah per tahunnya, atau maksimal 15 miliar. Maka 220 miliar dari 390
miliar dapat dijadikan anggaran bagi 18 klub tanpa adanya ancaman penunggakan
gaji. Sisanya sebanyak 170 miliar bisa dipakai untuk membiayai klub-klub hingga
Divisi Tiga. Pendeknya, uang sebanyak itu bisa dipergunakan untuk menggerakkan
kompetisi sepak bola nasional selama setahun penuh.
Bayangkan pula
jika uang itu dipakai sedikitnya saja untuk mendatangkan seorang Tom Byer, lalu
mendukung program-program pembinaan pemain mudanya. Bayangkan apa yang terjadi
pada persepakbolaan Indonesia dalam waktu 10 tahun.
Memang, berinvestasi pada pembinaan sepak bola nasional akan kalah kece dibanding membeli saham mayoritas klub ternama Eropa.
Memang, berinvestasi pada pembinaan sepak bola nasional akan kalah kece dibanding membeli saham mayoritas klub ternama Eropa.
No comments:
Post a Comment