Allegri, si kambing hitam |
Hingga bulan lalu, saya menganggap Allegri adalah pelatih Milan
yang biasa saja, yang hanya mengandalkan Zlatan Ibrahimovic sebagai kunci
serangan dan Thiago Silva sebagai kunci pertahanan. Dalam dua musimnya, Allegri
membawa Milan dan sekali menjuarai liga, sekali menjadi runner-up musim lalu. Di
kancah Eropa, pencapaian Allegri hanya sebatas perempat final musim lalu setelah
dikalahkan Barcelona.
Di mata saya beberapa waktu lalu, Allegri tidak mampu
berbuat banyak setelah Ibra dan Thiago Silva dijual ke Paris Saint Germain.
Allegri seperti pelatih kaku yang tidak punya banyak pilihan taktik dan
formasi. Pola 4-3-1-2 seperti satu-satunya pola yang bisa dimainkan Allegri.
Banyak yang menghujatnya, terutama setelah tiga hasil buruk
di awal musim. Kalah 0-1 di San Siro melawan Sampdoria dan Atalanta serta seri
0-0 lawan Anderlecht di pembukaan Liga Champions. Dalam pertandingan-pertandingan
itu, terutama saat takluk dari Atalanta, Allegri terlihat kaku dengan tetap
memaksakan pola 4-3-1-2 terlebih setelah tertinggal, alih-alih mencoba strategi
lainnya yang bisa memberi kemungkinan lebih banyak terhadap perubahan hasil pertandingan.
Allegri juga disorot atas hubungan kurang baiknya dengan
para senior, yang seolah terjustifikasi dengan sempurna lewat kabar pertengkarannya
dengan Filippo Inzaghi, yang sebenarnya bisa saja dibesar-besarkan oleh media,
atau dengan Gennaro Gattuso yang terus mengkritiknya. Kedua pemain ini memang
barisan sakit hati Allegri karena kurang mendapat peran di musim terakhir
mereka. Soal itu, Allegri tentu punya pertimbangan mengingat menurunnya
performa Gattuso pasca cedera mata yang memaksanya absen lama, atau kurang
klopnya Inzaghi dengan Ibra. Dengan kata lain, Allegri juga dianggap tidak
menguasai ruang ganti.
Well, segala hal tersebut memang yang dihembuskan media, dan
pertengkarannya dengan Pippo memang boleh jadi benar-benar terjadi, tapi
pantaskah kita semata-mata hanya menyalahkannya atas buruknya start Milan di
musim ini?
Fakta terbaru, Milan menyerah 1-2 lawan Udinese di Friuli. Skor memang tidak memihak Rossoneri, tapi jika kita menonton pertandingan semalam, terlihat Allegri telah melakukan segalanya untuk membawa skuadnya mengalahkan Udinese. Allegri menjawab segala permintaan publik dengan memakai formasi 4-3-3. Ia menempatkan Riccardo Montolivo dan Antonio Nocerino, dua gelandang langganan timnas dengan kapten Massimo Ambrosini. Dia juga memasang tridente Urby Emanuelson, Stephan El Shaarawy dan Giampaolo Pazzini di depan. Di belakang, Cristian Zapata dan Philippe Mexes diduetkan di sentral, diapit Ignazio Abate dan Djamel Mesbah.
Milan bermain bagus hingga 10 menit awal pertandingan. Kombinasi
tridente di depan dan permainan rapi Montolivo di tengah setidaknya
menghasilkan 4 peluang di menit-menit awal itu, yang kebanyakan mampu
digagalkan kiper Udinese yang bermain gemilang. Allegri juga memainkan
Kevin-Prince Boateng setelah Milan tertinggal, yang melalui upayanya membuat
Milan menyamakan kedudukan lewat El Shaarawy.
Keadaan berubah memburuk ketika Cristian Zapata diusir
keluar dan Milan mendapat hukuman penalti. Tapi perlu diingat bahwa setelah
tertinggal, Allegri tidak memarkir bus untuk menghindari kekalahan lebih telak,
dia justru memasukkan Bojan Krkic. Allegri jelas menginginkan kemenangan, dia
tidak menyerah. Sayangnya, Boateng berbuat bodoh dengan dua pelanggarannya yang
tidak perlu. Well, pemain dengan nomor 10 memang ada saatnya bertindak bodoh
alih-alih membantu tim memenangi laga, dan Boateng nampak masih berusaha
memenuhi ekspektasi tifosi terkait nomor punggungnya itu.
Semua pasti juga ingat, pelatih sesukses Carlo Ancelotti juga tidak selamanya mengalami hari yang menyenangkan di Milanello. Tidak jarang Berlusconi mengintervensi taktik Carletto. Bukan rahasia lagi bahwa Berlusconi menginginkan ada dua orang penyerang dalam sebelas pemain, sementara Carletto menyukai taktik satu orang penyerang saja. Bagaimana dengan Leonardo? Milanisti sudah mengecapnya sebagai penghianat karena menyebrang ke Inter Milan. Jika kita melihat pada sisi Leo, lihatlah pencapaiannya membawa Milan menduduki posisi ketiga malah tidak dihargai Berlusconi, yang lagi-lagi mencecar taktik 4-2-fantasia Leo, yang lewat sepak bola full attack-nya itu malah membuatnya sempat digosipkan akan menangani tim nasional Brasil. Keputusan Leo memilih Inter ketimbang tim lain yang menawarinya tentu atas dasar balas dendam yang manis kepada Berlusconi, yang tentunya mengambil konsekuensi dimusuhi Milanisti.
Apa yang berusaha saya katakan? Tidak lain, ini semua
politik. Balik lagi ke situasi sekarang, Allegri bisa jadi adalah korban. Allegri
bukanlah orang yang memutuskan penjualan pemain, karena itu keputusan
manajemen. Manajemen memutuskan untuk melakukan overhaul tanpa mengganti pemain kunci dengan pengganti sepadan, yang memang bijak
dari kacamata finansial maupun regenerasi masa depan tapi tidak bagus dari sisi
prestasi masa kini.
Bukannya saya membela Allegri, hanya mengatakan bahwa ini
tidak semata kesalahan Allegri. Lalu apakah saya juga menyalahkan manajemen? Hahaha
sangat bodoh jika menyalahkan manajemen yang telah memberi lebih dari 20 gelar
juara bagi klub.
Milan memang mengalami hasil buruk menghadapi lawan-lawan
yang memiliki kualitas pemain yang berada dibawah mereka. Memang benar. Tapi masalah
Milan tidaklah sesederhana itu, lagi-lagi saya harus tegaskan bahwa Milan
kehilangan pemain-pemain yang memang menjadi roh permainan , baik di lapangan, di
tempat latihan maupun di ruang ganti. Milan hanya butuh waktu, dan waktu itu
menjadi barang mahal bagi Allegri atau siapapun pelatih yang timnya mengalami
krisis hasil.
Nikmati sajalah keadaan ini, dan nikmati saja Plastic Fans lain mencela-cela tanpa
arah. Ini hanya sepak bola, ada saatnya tim yang kita dukung berada diatas dan ada saatnya berada dibawah.