Pada awal musim 2015-16, pelatih
Milan Sinisa Mihajlovic menggunakan formasi favoritnya yaitu 4-3-1-2. Ia menempatkan
Keisuke Honda di belakang duet penyerang yang diisi Carlos Bacca dan Luiz
Adriano. Posisi gelandang bertahan diisi oleh Nigel De Jong yang juga bertindak
sebagai kapten, yang dipercaya hingga laga kedua melawan Empoli. Setelah laga
derby pertama melawan FC Internazionale, Mihajlovic mulai mempercayakan posisi
gelandang kepada kapten utama, Riccardo Montolivo. Hal ini juga didasari
performa gemilang Montolivo dalam derby meski laga tersebut berakhir dengan
kekalahan Milan.
Formasi 4-3-1-2 masih digunakan Mihajlovic
hingga laga pekan ketujuh melawan Napoli. Hasilnya, Milan menderita tambahan
dua kekalahan dari Genoa dan Napoli. Sementara laga melawan Palermo dan Udinese
berhasil dimenangi dengan skor tipis.
Selepas kekalahan memalukan 0-4
dari Napoli di San Siro yang membuat posisinya terancam, Mihajlovic melakukan
beberapa perubahan. Selain memasang Alex untuk menggantikan Cristian Zapata di
jantung pertahanan, pelatih berusia 47 tahun ini juga mengganti formasi menjadi
4-3-3. Dalam formasi ini, Giacomo Bonaventura ditempatkan sebagai sayap kiri
dengan peran wide playmaker. Di sisi
kanan, Alessio Cerci dimainkan sebagai inverted
winger mendukung penyerang tengah Bacca.
Dengan formasi 4-3-3 dan
dipasangnya Alex, terjadi perbaikan signifikan dalam lini pertahanan. Namun Mihajlovic
belum terlalu puas. Masih berada di bawah ancaman pemecatan, ia lalu mengambil
keputusan yang amat berani dan dianggap nekat oleh publik, yaitu menurunkan
penjaga gawang remaja, Gianluigi Donnarumma menggeser Diego Lopez sejak laga
kandang melawan Sassuolo.
Donnarumma ternyata menjadi
kepingan puzzle terakhir pertahanan
ideal Milan versi Mihajlovic. Di samping memiliki teknik yang mumpuni, ia juga
memiliki refleks yang baik dan kematangan yang tentunya amat mengagetkan banyak
orang. Donnarumma pun ditahbiskan bukan hanya sebagai kiper masa depan Milan,
tapi juga penerus Gianluigi Buffon di timnas Italia.
Namun demikian, Mihajlovic masih
belum menemukan formula yang tepat untuk mempertajam serangan Milan. Maklum dalam
laga-laga awal tersebut, Milan tercatat sebagai salah satu tim dengan jumlah
tembakan ke gawang paling sedikit di Seri A, padahal mereka memiliki seorang
predator sekelas Bacca. Dengan konversi pemanfaatan peluang yang tinggi meski
tanpa dukungan mumpuni, Bacca masih mampu mencetak lima gol dalam 10 laga.
Setelah menggunakan formasi 4-3-3
sebanyak enam laga dengan hasil tiga kemenangan, dua imbang dan sekali
kekalahan atas Juventus, Mihajlovic akhirnya mengganti formasi ke 4-4-2 sejak
laga pekan ke-14 melawan Sampdoria. Dengan formasi ini, dua pemain berkarakter
playmaker, Bonaventura dan Honda, ditempatkan sebagai gelandang sayap yang
mengapit duet Montolivo bersama Juraj Kucka dan Andrea Bertolacci.
Di depan, M’Baye Niang juga mulai
dipasang sebagai rekan duet Bacca. Dalam laga perdananya sebagai penyerang
kedua, Niang berhasil mencetak dua gol dan sebuah assist saat melawan
Sampdoria. Hasil-hasil positif memang belum terlalu terlihat. Milan ditahan imbang
Carpi dan Hellas Verona, lalu kalah melawan Bologna pada awal tahun 2016. Posisi
Rossoneri pun semakin tertinggal dari para penghuni papan atas. Buntutnya,
Mihajlovic mendapat ultimatum pemecatan untuk kali kedua.
Ancaman ini dihadapi Mihajlovic
dengan lebih tenang, karena ia sebenarnya telah menemukan formasi dan susunan
pemain yang paling ideal. Benar saja, selepas kekalahan dari Bologna, Milan
melaui sembilan laga berikutnya tanpa kekalahan, termasuk kemenangan atas
Fiorentina dan Inter, juga menahan imbang Roma dan Napoli di kandang mereka.
Lima kemenangan dan empat hasil imbang akhirnya kini semakin mendekatkan Milan
pada posisi keempat dan kelima, dan bahkan kini hanya berselisih enam angka
dari peringkat ketiga yang sementara ini ditempati Fiorentina. Ini masih belum
menghitung keberhasilan Rossoneri melaju ke babak final Coppa Italia untuk kali
pertama sejak tahun 2003.
Di tengah optimisme ini,
terjadilah sebuah situasi tidak menguntungkan, yaitu cederanya Niang.
Konyolnya, cedera engkel dan pundak yang diderita penyerang berusia 21 tahun
ini tidak didapat di lapangan, melainkan akibat kecelakaan mobil. Meski telah
menyumbang delapan gol di semua ajang kompetisi, Niang pun harus menepi
setidaknya dalam waktu dua bulan ke depan.
Situasi ini amat disayangkan.
Setelah hanya dianggap sebagai penyerang berpotensi, Niang mulai membuktikan
bahwa potensi itu memang nyata adanya. Leicester City yang telah memimpin Liga
Primer Inggris pun menyatakan minat. Niang merupakan sosok sentral di balik
hasil-hasil impresif Milan selama ini. Kecepatan dan skill-nya amat klop
dipadukan dengan ketajaman Bacca. Andai saja Niang memiliki konversi peluang
yang lebih baik, rasanya ia akan dianggap sebagai penyerang papan atas. Sekarang,
sang pemain keturunan Senegal harus menepi, dan Mihajlovic tentu harus
memikirkan penggantinya.
Mihajlovic harus memilih satu
dari empat pemain. Jeremy Menez kembali setelah hampir setahun mengalami
cedera, begitu pula dengan Balotelli dan Adriano. Kevin-Prince Boateng juga
kapabel untuk diturunkan sebagai second striker. Tapi masalahnya, tidak ada
satu pun dari mereka yang sudah benar-benar fit, karena mereka telah cukup lama
absen dari lapangan.
Pilihan yang tidak mudah bagi
Mihajlovic, karena jika ingin mempertahankan formasi 4-4-2, Mihajlovic hanya
memiliki Balotelli sebagai penyerang paling fit. Namun sebagaimana diketahui,
Balotelli sempat membuat Mihajlovic murka dengan tingkah indisiplinernya pada
taktik.
Jeremy Menez adalah alternatif
lain bagi Mihajlovic. Di samping memiliki skill yang amat tinggi, Menez juga
memiliki kemampuan untuk menjadi pembeda hasil pertandingan. Meski dianggap
belum fit, ia mampu mencetak dua gol dalam kemenangan Milan atas Alessandria
pada laga semifinal Coppa Italia. Hanya saja, di manakah Menez bermain dalam
skema Mihajlovic?
Musim lalu, Menez memang diberi
kebebasan penuh oleh pelatih Pippo Inzaghi, sehingga ia menjalani musim terbaik
sepanjang karir dengan torehan 16 gol di Seri A meski prestasi Milan melempem. Menez
dibolehkan bergerak ke sayap, kotak penalti lawan, hingga dipercaya sebagai
eksekutor tendangan penalti.
Namun zaman sudah berbeda. Permainan
Milan di bawah Mihajlovic tidaklah sama dengan Inzaghi, dan Mihajlovic bukanlah
tipe pelatih yang menyukai pemain egois dan memperlambat tempo permainan
seperti Menez. Terlepas dari talentanya yang tidak perlu diragukan, tidak
jarang kita menyaksikan keputusan Menez yang terlalu asik menggiring bola dan
tidak mengoper kepada kawan yang posisinya lebih bebas. Ditambah lagi tingginya
kemungkinan bola direbut lawan yang membuat hilangnya momentum.
Seburuk-buruknya situasi, Milan
sudah terlalu jauh melangkah untuk kembali mundur dan menyerah. Dua maverick inilah yang boleh jadi akan menentukan nasib Milan musim ini. Baik Balotelli
maupun Menez semestinya beranggapan bahwa inilah kesempatan terbesar mereka
untuk unjuk kemampuan. Adalah tugas mereka untuk menggunakan imajinasi guna membongkar
rapatnya penjagaan lawan, dan melepaskan Bacca untuk mencetak gol kemenangan.
Seperti itulah storyline yang diharapkan pada perjalanan Milan di fase terakhir kompetisi ini, bukan?
No comments:
Post a Comment